_BERSUKACITALAH & MENURUTSERTAKAN DIRI UNTUK MENGHADIRKAN SERTA MEMPERTAHANKANNYA_

Friday, December 10, 2010

3 Ajakan Keselamatan: Pembebas, Pembaharu & Pembawa Damai! Siapkah Kita?

0 comments
Matius 22: 1 – 4
Perumpamaan di atas mempunyai ciri sebuah alegoria, sama seperti perumpamaan-perumpamaan sebelumnya (lih. Matius 21: 33-41), dan memiliki maksud yang sama. Raja yang disebut ingin menyatakan keberadaan Allah, sedangkan perjamuan kawin menggambarkan kebahagiaan di zaman Mesias, dan Anak Raja itu tidak lain adalah Mesias sendiri. Hamba-hamba yang disuruh raja ialah para nabi dan rasul (zaman sekarang bisa saja para rohaniawan) dan para undangan yang tidak mengindahkan undangan atau menganiaya hamba-hamba raja itu adalah orang Yahudi (bc: yang menolak kedatangan Mesias di dalam Yesus Kristus), sedangkan mereka yang dikumpulkan dari jalan adalah orang berdosa dan kaum kafir yang kemudian percaya dan bertobat. Siapa yang menanggapi undangan harus memakai pakaian pesta perkawinan, artinya: hidup yang dibalut tidak dengan pakaian bagus dan mewah melainkan hidup yang memakai pakaian dari cara hidup yang berkenan di hadapan Allah sebagai wujud hidup di dalam Terang dan Kasih Yesus Kristus (Gal. 5:22).

Refleksi
SAMBUT BAIK ANUGERAH ALLAH
Dalam kehidupan sehari-hari kita, atau pengalaman saya ketika sebagai mahasiswa tatkala menerima undangan apalagi dari seorang yang terhormat dan terkenal, tentunya akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi saya. Untuk hal-hal tertentu saya akan mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh dan bahkan akan menjadwalkannya dengan tanda khusus di agenda saya, malah bisa jadi saya akan menggeser acara-acara lain supaya bisa menghadiri undangan tersebut. 

Namun, miris jika kita berangkat dari perumpamaan yang dituliskan Matius kepada kita saat ini lewat nats Evanggelium di Minggu II Trinitatis kali ini. Seorang raja yang mengundang banyak tamu untuk menghadiri pesta perkawinan anaknya, namun tidak seorang pun tamu yang diharapkan hadir pada perjamuan itu. Ada saja alasan mereka untuk menolak undangan itu. Masing-masing mementingkan urusan mereka dan bahkan ada yang dengan kasar menganiaya serta membunuh utusan-utusan yang menjemput mereka (ayat2-6). Jelas sikap mereka yang seperti ini tidak hanya meremehkan raja, tetapi juga sama sekali tidak mengindahkan niat dan maksud baik sang raja. Jika melihat keadaan ini secara makro, yakni dari sisi norma sistem Kerajaan, maka tindakan mereka Ini sama saja dengan memberontak kepada raja. Alhasil, tidak ada hukuman yang lebih pantas selain daripada dilucuti dari permukaan wilayah kerajaan sang raja (ayat 7). 

Pada akhirnya, undangan perjamuan kerajaan disebarkan lagi kepada orang yang berbeda, yakni setiap orang yang bukan tamu terhormat raja. Raja mengalihkan jamuannya, namun sekali lagi, banyak di antara para undangan yang tidak meresponsnya dengan tepat atau asal-asalan. Mereka datang tanpa mempersiapkan diri baik-baik. Mereka datang dengan sembarangan (ayat 11-12). Seakan-akan perjamuan kerajaan yang khusus raja persiapkan tidak lebih daripada makan di warung kaki lima atau acara makan sekadarnya. Lihat saja dampaknya, orang-orang itu pun harus menerima amarah raja (ayat 13). 

Jemaat Tuhan yang kekasih, kisah di atas adalah realitas iman yang kerap kita jumpai dalam kehidupan beriman kita saat sekarang ini, dimana dunia dengan segala pernak-perniknya membutakan mata kita akan arti sebuah kasih. Bahkan tidak jarang, kemudian mengkerdilkan totalitas hidup kita dalam memberlakukan kasih yang sampai kepada. Lihat saja, tidak jarang sekarang kita menjumpai sulitnya seorang anak untuk mengucapkan terimakasih atau menganggap sepele pertolongan orang lain kepadanya. Hal ini adalah contoh-contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari kita. Demikian juga, sebagian banyak orang telah memperlakukan kasih Allah yang diberikan secara cuma-cuma untuk menyelamatkan hidup manusia (Roma 3:24) tanpa rasa syukur dan terkesan tidak mau tahu atau gampangan. Jemaat Tuhan, Allah itu Kasih (lih. 1 Yohanes 4:16), namun bukan berarti kebaikan dan anugerah Allah bisa diperlakukan secara murahan. Kebaikan dan anugerah Tuhan mahal harganya dan tentunya menuntut perlakuan yang sepadan, yakni melalui pola hidup kita sebagai anak-anak Tuhan. Hidup di dalam Kasih dan ketaatan terhadap Firman Tuhan. 

Untuk itu, Yesus melalui perumpamaan ini memperingatkan dengan keras bahwa anugerah Allah tidak boleh dipermainkan. Anugerah Allah memang diberikan cuma-cuma tetapi bukan berarti murahan. Setiap orang yang menyepelekannya akan membayar mahal, yaitu ditolak Tuhan. Jemaat Tuhan, mari sambut dengan baik AnugerahNya dengan kerendahan hati.

PERSIAPAN DIRI, MENENTUKAN HASIL!
Sebagian besar orang akan merasa terhormat dan tidak akan melewatkan kesempatan berharga bila termasuk tamu undangan suatu perjamuan besar yang diadakan tokoh besar, apalagi bila perjamuan tersebut diadakan oleh seorang raja bagi pernikahan anaknya (lihat saja tradisi Negara Inggris tatkala mengadakan pesta pernikahan sang pangeran, banyak orang yang berbondong-bondong untuk hadir dan terlibat di dalamnya). Tetapi hal ini tidak terjadi dalam perumpamaan di atas. Dapat dikatakan bahwa respons para tamu undangan benar-benar mengecewakan raja, walaupun raja mengundangnya beberapa kali dengan suguhan yang menggiurkan (3-4). Tak terpikir oleh kita bagaimana mungkin orang-orang tidak mengindahkan undangan raja yang biasanya dipadati para pengunjung dari segala pelosok, yang ingin menyaksikan betapa meriah, kemilau, dan sesuatu yang lain dari pada pesta biasa. Betapa mengherankan respons tidak mengindahkan mereka hanya karena aktivitas sehari-hari mereka, bahkan sampai mereka bertindak kelewatan terhadap para utusan yang memberikan undangan atas nama raja (5-6). Jemaat Tuhan, hal ini menunjukkan dan menggambarkan bahwa demikianlah sering kali kita jumpai kedegilan hati manusia, bahkan undangan Allah yang telah berinisiatif menemukan manusia pun, ditolak oleh manusia. Akan tetapi, hasilnya dapat kita lihat betapa fatalnya keadaan orang yang tidak membuka sedikit pun hatinya bagi undangan Allah (7).

Ketidakhadiran para tamu undangan tidak menyebabkan kegagalan pesta tersebut, karena raja mengundang orang- orang yang dianggap tidak layak oleh manusia tetapi dilayakkan hadir oleh raja (9-10). Namun, naas bagi mereka yang meskipun telah masuk ke pesta perjamuan itu dengan tanpa persiapan sama sekali, mereka juga mendapati diri mereka memperoleh hukuman dari sang raja (11-12). Jemaat Tuhan, apa artinya? Lewat perumpamaan ini, kita mau diajak untuk sungguh-sungguh MEMPERSIAPKAN diri kita bagi Tuhan. Ketika kita telah dan mau menyambut “undangan”Nya, maka kita pun harus berani membayar harga, yakni berani meninggalkan gaya hidup lama yang bersifat duniawi dan mengenakan manusia baru. Sulit memang, tapi menjadi keharusan bagi kita jika mau hidup di dalam “perjamuan”Nya.

AJAKAN KESELAMATAN KRISTUS TUHAN BAGI KITA
Undangan Tuhan Yesus bukan saja bagi orang-orang dalam perumpamaan yang dikisahkan oleh Matius, melainkan juga bagi kita saat sekarang ini. Sikap tidak mau tahu, gampangan, sepele, bahkan terkesan bodoh dan jahat seperti yang dilukiskan dalam perumpamaan ini bisa juga merupakan sikap dan tindakan beriman kita di tengah carut marut kehidupan berbangsa dewasa ini. Jemaat Tuhan, Menjadi Kristen bukan sekadar mengaku atau menerima tradisi Kekristenan yakni beribadah ke gereja, merayakan hari-hari besarnya, dan yang lainnya. Namun, Menjadi Kristen berarti menyambut undangan Allah dalam Tuhan Yesus secara sangat pribadi, bukankah Firman Tuhan mengingatkan kita untuk bertindak lebih dari itu yaitu sebagai pembebas, pelaku perubahan, dan pembawa damai. Ikut dan menjadi pembebas bagi mereka yang berada dalam kungkungan kebodohan, kemiskinan, dan yang terpenjara oleh nafsu duniawi seperti terpenjara oleh karena ketergantungan obat-obat terlarang dan bahaya HIV/AIDS oleh karena pergaulan bebas. Sebagai pelaku perubahan yang mengubah cara berpikir dan bertindak buruk atau negatif terhadap sesama menjadi orang-orang yang bertindak dengan dorongan hati nurani. Mengubah prilaku kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan mejadi prilaku yang menghargai dan mengasihi sebagai rekan sekerja dan sepadan yang Allah ciptakan untuk semua laki-laki. Pembawa perubahan juga berarti menjadi pembaharu dalam tatanan kehidupan masyarakat. Lihat saja, maraknya korupsi di tengah-tengah kehidupan berbangsa, semuanya terjadi tentunya tidak begitu saja. Ada “bibit-bibit” korup yang telah tertanam sejak lama dan tinggal menunggu waktu penuaiannya saja, yang tentunya juga pertumbuhan bibit-bibit itu didukung oleh keadaan lingkungan di sekitarnya. Di dalam ajakan keselamatan, kita diajak untuk berperan serta “menyiangi” bibit-bibit korup pada diri orang-orang di sekitar kita, mulai dari lingkungan keluarga hingga lapisan masyarakat tempat kira berada. Dengan begitu tidak akan ada lagi tempat subur bagi pertumbuhan bibit-bibit korup (bc: mental-mental korup) di tengah kehidupan berbangsa kita. “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu: “Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang MELAKUKAN kehendak BapaKu di Sorga” (Matius 7:21). Bukankah ajakan keselamatan mengajak kita untuk MELAKUKAN? Ya, melakukan, bukan sekedar berucap.

Sabda Bahagia: “Berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9), Jemaat Tuhan, ikut di dalam keselamatan Kristus dan berada dalam perjamuanNya, berarti kita juga diajak untuk menjadi pembawa damai. Membawa damai yang terpancar dari dalam diri. Sudahkah kita memiliki damai, di tengah hirup pikuk kehidupan yang semakin terasa sesak? Ajakan keselamatan, menuntun hidup kita untuk dapat senantiasa hidup di dalam damai dengan kondisi hidup yang bagaimanapun jua, di tengah “aksesoris” zaman yang terus silih berganti. Maka, dengan demikianlah kita dapat berdiri teguh dan tidak goyah (1 Korintus 15:58) sebagai manifestasi dari kedamaian dalam diri kita yang pastinya akan terpancar dan boleh dinikmati banyak orang. Tuhan memberkati dan memampukan kita. Amin.
READ MORE - 3 Ajakan Keselamatan: Pembebas, Pembaharu & Pembawa Damai! Siapkah Kita?

Monday, November 15, 2010

"Aku Mau Berdamai"

0 comments
I Korintus 3: 1-9

Satu persoalan besar dari jemaat di Korintus adalah usahanya untuk mengalami berkat Allah sementara tetap menolak untuk memisahkan dirinya dari cara-cara dunia yang jahat. Para gembala sidang dan pemimpin gereja di Korintus mengizinkan orang yang mengaku diselamatkan bergabung dengan jemaat tanpa meninggalkan perbuatan jahat mereka. Jemaat Korintus membiarkan hal-hal berikut di dalam persekutuan mereka: perpecahan yang mementingkan diri, filsafat dunia yang sesat, iri hati dan pertengkaran, kesombongan, percabulan, perkara-perkara hukum yang sepele, kehadiran dalam pesta pora penyembahan berhala, dan penolakan pengajaran rasuli. Karena jemaat di Korintus gagal untuk mengerti bahwa kebenaran rasuli, kasih, dan standar rohani itu mutlak perlu, maka mereka menyalahgunakan karunia Roh dan "Perjamuan Tuhan", dan memutarbalikkan berita Injil.
Yesus sendiri mengingatkan bahwa jemaat manapun yang membiarkan kebiasaan dunia yang berdosa atau penyimpangan kebenaran alkitabiah memasuki persekutuannya akan ditolak oleh Dia dan akan kehilangan tempatnya dalam kerajaan Allah. Roh mengajak gereja semacam itu untuk bertobat dengan tulus, memisahkan diri dari dunia, dan "menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah". Dengan demikianlah, jemaat Tuhan dapat hidup di dalam keharmonisan (kerukunan), baik sesama jemaat, jemaat terhadap pelayan, dan pelayan menghadapkan sesama pelayan.

PERIHAL PERIKOP
Aku tidak seperti diriku.
Mungkinkah ini terjadi pada kita? Bukankah makna diri adalah sebagaimana diri kita kini dan di sini? Paulus menjawab bisa saja. Contohnya, jemaat Korintus. Mereka tidak lagi menjadi diri mereka, tetapi menjadi seperti orang lain. 

Dari perpecahan, iri hati, dan perselisihan yang terjadi di antara mereka (ayat 3), mereka justru tampak "belum dewasa" ( Yun. nepios: "bayi"). Paulus menyebut mereka seperti "manusia duniawi" (Yun. sarkinos); bahkan mereka adalah "manusia duniawi" (Yun. sarkikos). Paulus menggunakan kata-kata di atas dalam nada ironi, agar jemaat Korintus sadar akan adanya kerancuan dalam diri mereka: mereka rohani dan "matang" (Yun. teleios: "dewasa") karena telah menerima Roh dan hikmat Allah (1Kor. 2:10, 12), tetapi seperti bayi dan menjadi manusia duniawi karena hidup seperti manusia biasa yang seperti belum menerima Roh (ayat 4). Sadar, bertobat, dan setia kepada jati diri, ini sebenarnya yang menjadi maksud Paulus bagi mereka. 

Ironi ini makin kentara ketika nyata bahwa bukti keduniawian jemaat Korintus adalah perpecahan karena pro kontra mengenai para hamba Tuhan (ayat 5-8). Mereka duniawi dalam tindakan mereka untuk urusan hal "rohani" yakni membela hamba Tuhan yang difavoritkan. Untuk meluruskan ini, Paulus menggunakan metafora pertanian milik seorang tuan tanah. Paulus, Apolos dan rekan-rekannya hanyalah "anak buah" Allah Sang Pemilik. Sebagai manusia rohani, jemaat Korintus seharusnya mengerti untuk hanya bermegah di dalam Tuhan (1 Kor. 1:31), bukan dengan konyol bermegah dalam para hamba. Sebab, yang terpenting dalam pertumbuhan jemaat hanyalah Allah sendiri (ayat 8). Menjadi diri kita sebenarnya yang  rendah hati, taat, dan asih; yang dalam Roh-Nya sejati menjadikan hidup rohani kita tanpa keangkuhan; adalah pesan bagi gereja-gereja dengan latar denominasi yang berbeda, sehingga dapat hidup berdampingan dan rukun.

Kawan sekerja Allah
Kawan sekerja Allah Umumnya kata "hamba" kita pakai untuk membaha-sakan diri di hadapan Allah. Kita mungkin pernah mendengar arti hamba atau budak dalam PB, yaitu pada sistem perbudakan zaman itu di mana para budak adalah orang-orang yang berstatus sangat rendah, bahkan lebih rendah dari hewan. Tak punya hak, tak mendapat upah, hidupnya dimiliki dan dikontrol tuannya. Paulus memperkenalkan istilah lain untuk memahami arti menjadi seorang yang melayani Allah. Ia menyebut dirinya dan semua yang terlibat dalam penginjilan, misi, penggembalaan, pembangunan gereja, dan berbagai bentuk pelayanan lain, sebagai kawan sekerja Allah, sambil tetap memakai istilah pelayan Tuhan. Dalam perusahaan, "kawan sekerja" atau "partner" biasa juga disebut kolega, atau rekanan. Ini menunjukkan kedudukan yang sangat penting dan terhormat. 

Konsep paradoks ini sebaiknya ada bersamaan dalam diri tiap orang yang terlibat pekerjaan Allah. Kita adalah hamba-Nya karena karunia-Nya yang menyelamatkan membuat hidup kita adalah milik-Nya. Kita adalah kawan sekerja-Nya sebab dalam keajaiban anugerah dan cara Ia mewujudkan rencana-Nya, Ia menjadikan kita rekan-Nya. Jika konsep ini benar-benar kita hayati, pasti radikal praktiknya! Kita tidak bersaing dengan sesama pekerja Tuhan, tetapi bekerja sama! Kita tidak menilai pelayanan dari cara pandang yang lepas dan pecah, tetapi dari perspektif kebersamaan yaitu keutuhan Tubuh Kristus. Kita bersyukur boleh berjuang bersama dan semua yang kita kerjakan saling melengkapi bagi kemuliaan Allah yang nyata.

Jangan pakai akar bila rotan tak ada
Jangan pakai akar bila rotan tak ada. Mengapa? Menurut beberapa orang, karena dalam peribahasa "tak ada rotan akar pun jadi" tersirat bahwa kualitas adalah nomor dua. Seharusnya, bila tak ada rotan langkah yang diambil adalah entah cari rotan ke sumber lain atau rekayasakan bahan alternatif yang sebaik rotan, atau bahkan lebih baik, supaya mutu produk hasil tidak berkurang. Kini Paulus menggunakan metafora pendirian suatu bangunan (ayat 9, "bangunan Allah"). Dalam konteks jemaat Korintus, Paulus menjelaskan bahwa dengan karunia Allah, dirinya telah meletakkan dasar jemaat (ayat 10) yang adalah Kristus (ayat 11). Karena itu, Paulus memperingatkan mereka yang sedang membangun jemaat Korintus di atas dasar itu untuk berhati-hati: jangan membangun jemaat dengan hal-hal yang tidak tahan uji oleh api (ayat 12). Atau, jangan dengan pengajaran dan tindakan jerami hikmat manusia, tetapi dengan pemberitaan hikmat Allah. Ketahanujian inilah yang akan menentukan upah seorang pelayan (ayat 14-15). Sebagai penegasan dan tedensi, Paulus juga menyatakan bahwa jemaat setempat di Korintus adalah bait Allah dan Allah akan membinasakan orang yang membinasakan bait-Nya (ayat 16-17).

Keprihatinan Paulus adalah jemaat lokal harus dibangun konsisten dengan dasarnya yang adalah Kristus. Kehidupan jemaat harus rohani, yaitu berbeda dengan dunia. Perselisihan dan arogansi adalah tanda dari hikmat duniawi; tanda bahwa kontribusi Kristen kepada bangunan kehidupan jemaat tidak tahan uji. Bahkan, kekeraskepalaan untuk terus hidup duniawi dapat bermuara pada penghakiman karena meniadakan fungsi jemaat sebagai bait Allah yakni menghadirkan kesaksian Roh akan kasih karunia Allah bagi sekitar dan menjadi berkat.

PENUTUP
Demikianlah, tidak jarang keadaan serupa banyak kita jumpai dalam kehidupan gereja hari ini. Perselisihan dan pertentangan menjadi momok yang meresahkan terhadap kebangunan gereja, baik secara internal dan eksternal gereja. Lewat surat Paulus kepada jemaat di Korintus di atas, kita belajar bagaimana keharmonisan dalam tatanan kehidupan gereja baik jemaat – jemaat, jemaat – pelayan, dan pelayan – pelayan; dapat terealisasi jika karakter subordinatif  (memperlakukan atasan dan bawahan) tidak dipakai dalam hubungan membangun gereja Tuhan sebagai tanda kita tidak menggunakan hikmat dunia. Namun, secara bersama dan bekerjasama memberikan kontribusi konstruktif dan positif bagi pengembangan gereja Tuhan. Cukuplah kita bermegah di dalam Tuhan, bukan atas pekerjaan kita (1 Kor. 1:31). Menjadi diri kita yang sebenarnya sesuai dengan identitas istimewa yang Allah telah anugerahkan kepada kita adalah jalan satu-satunya untuk dapat hidup berdampingan dan harmonis, yakni  pribadi yang rendah hati, taat, dan asih, yang dalam Roh-Nya menjadikan hidup rohani kita tanpa keangkuhan. Sehingga kita dapat berkata, “Aku Mau Berdamai”. Amin.

READ MORE - "Aku Mau Berdamai"

Monday, September 6, 2010

Ziarah: Pdt. MH. Manullang "Tuan Manullang"

0 comments
PERJALANAN ZIARAH KE MAKAM Pdt. MH. MANULLANG
Pendeta HKI dan Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia 
(SK Menteri Sosial RI No. POL. 677/67/PK, 2 Oktober 1967)
Pdt. Langsung Sitorus (Ephorus HKI 2010-2015) ketiga dari kiri, bersama dengan rombongan
Perjalanan ziarah selanjutnya, Ephorus di dampingi Istri bersama dengan rombongan di antaranya Pdt. S. Nainggolan, STh, Pdt. N. Sinaga, STh dan Pdt. K. Sirait, STh, Pdt. F. Simamora, STh dan Pdt. L. Simamora (Pendeta Resort HKI Tarutung Barat), dilaksanakan pada Kamis, 26 Agustus 2010 ke makam Pahlawam Perintis Kemerdekaan RI dan Pendeta Pejuang HKI, Pdt. MH. Manullang di Tarutung, setelah terlebih dahulu menghadiri acara pengambilan janji dan syukuran Bupati (Bapak Drs. Maddin Sihombing, Msi) dan Wakil Bupati (Bapak Drs. Marganti Manullang) Humbang Hasundutan. Rombongan di sambut hangat oleh keluarga besar di antaranya cucu dari Pdt. MH. Manullang, Amang St. SMT. Manullang (Sintua di HKI Siualuompu), yang kemudian dijamu makan bersama. Di sela-sela makan bersama, amang St. SMT. Manullang banyak berkisah mengenai riwayat dan perjuangan Pdt. MH. Manullang dan yang kemudian diperluas oleh Amang Ephorus.
Sekilas mengenai riwayat dan perjuangan Pdt. MH. Manullang. Tokoh yang memiliki nama lengkap Mangihut Mangaradja Hezekiel Manullang, disapa dengan “Tuan Manullang”, lahir di Tarutung, 20 Desember 1887 dari ayah Singal Daniel Manullang dan ibu Chaterine Aratua br. Sihite, dan meninggal di Jakarta, 20 April 1979 (dimakamkan di Tarutung). Pendidikan beliau Sekolah Raja di Narumonda, Porsea, Tapanuli Utara dan Senior Cambridge School, Singapura, 1907- 1910. Tentang karirnya di antaranya adalah Pendiri dan penerbit surat kabar Binsar Sinondang Batak (BSB), 1906; Guru Sekolah Methodist, 1910; Pendiri organisasi social politik Hatopan Kristen Batak (HKB); Pendiri dan Pemimpin Redaksi surat kabar Soara Batak (1919-1930); Memprakarsai Persatuan Tapanuli (1921) dan Persatuan Sumatera (1922); Kepala dinas propaganda Jepang tahun 1943-1945; Pendeta HKI ditabiskan pada tahun 1940; dan pernah dipenjara di Cipinang 1922-1924 akibat tulisannya menentang penjajah Belanda. Penghargaan yang telah diterima dari Pemerintahan Indonesia pada tanggal 2 Oktober 1967 dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia.

Pendeta Mangaradja Hezekiel Manullang telah membantu melayarkan suatu perahu, yang didalamnya Batak dan Indonesia menyatu, untuk mengarungi dunia menuju dunia yang baru. Itu perahu, yang dia turut memberi namanya Huria Kristen Indonesia, suatu gereja yang baru, sampai akhir zaman akan laju. Dari dia orang dapat tahu, berpolitik dan berpartai bukan suatu hal yang tabu, pendeta pun bisa menjadi pelaku, asal demi bangsa, kerukunan dan kemajemukan yang menyatu dan kalau perlu menjadi abdi negara pembawa damai yang bahu-membahu. Perjuangan beliau yang sengat dirasakan adalah penolakkannya terhadap aneksasi tanah Batak, suaranya yang menolak penyingkiran orang Batak di tanah leluhurnya, pasti tidak akan pernah redup dan masih relevan hingga sekarang. Dengan semangat beliau, dapat kita katakan sekarang, Tanah Batak adalah milik orang Batak. Register-register yang dibuat Belanda dulu, bukan legitimasi bagi pengusaha maupun pemerintah zaman sekarang untuk mencaplok tanah Batak. Seruan beliau: “ula tanom ulang digomak, ulando” berlaku juga sekarang. Para pemilik modal (kapitalis) tidak boleh menguasai sejengkalpun tanah Batak, tetapi mereka harus membantu orang Batak “mangula tanona” (mengolah tanahnya). Orang Batak tunduk pada pemerintah yang mengayomi tanah Batak, dan bukan yang merampas atau menjajah tanah Batak.

Penulis bersama dengan St. SMT. Manullang (Cucu dari Pdt. MH. Manullang)
Sebagai seorang yang lahir dalam suatu keluarga ‘pahlawan,’ dan kepahlawanan sang ayah ditingkatkan oleh sang anak. Dengan menonjolkan sang ayah sebagai ‘perwira intel raja Sisingamaraja’ yang didutakan ke Peanajagar dekat Tarutung. Ompu Singal Manullang (melalui pendidikan keluarga) berhasil menanamkan jiwa ‘merdeka’ dalam diri Mangihut Hezekiel Manullang. Dari kecil Pdt. MH. Manullang dipersiapkan mengemban makna nama ‘baptis’ yang diberikan missionaris kepadanya. Karakternya diharapkan seperti Hezekiel Alkitab, dan sang tokoh diharapkan ‘mengikut’ (mengihut) karakter itu dan nantinya berjuang di tengah bangsanya dengan cara damai tanpa kekerasan; memperbaiki dan mempersatukan bangsanya yang telah ‘berserak-serak’ (seperti di pembuangan). Kemudian dia mendapat nama Mangaraja, suatu nama kehormatan, baik di Angkola, maupun di Toba. Nama itu mendekatkan sang tokoh kepada rajanya (Singa-Mangaraja), tetapi tidak melangkahi rajanya. Dia bisa ‘mangaraja’ tetapi sang raja yang meng-singa (merancang). Nama itu menempatkan dirinya dengan baik di tengah kaum ‘hula-hula-nya’, kaumnya Batak-Toba, dan negeri yang kepadanya dia mengabdi. Nama itu juga, dengan didukung oleh kepintaran yang dimilikinya, memungkinkan sang tokoh dipanggil ‘Tuan Manullang’, yang bermkna lebih hormat dibanding dengan gelar-gelar tuan yang dilekatkan kepada berbagai ‘kakek-moyang’ orang Batak (seperti Tuan Mauli, Tuan Sorbadibanua, Tuan Sihubil). Nama panggilan ini, yang menjadi semacam ‘identity card’, menyamakan dirinya dengan kaum sibontar mata.
Pdt. MH. Manullang digambarkan sebagai pemuda yang merdeka, gesit dalam belajar dan erat dalam bergaul, suaranya didengar di kalangan kelasnya. Beliau mampu menggerakkan kawan-kawannya untuk ‘demo’ memprotes hal-hal yang dipandang kurang beres menurut ukuran kekristenan yang sudah tertanam dalam dirinya mulai dari rumah dan jemaat yang mendidiknya. Beliau murid Sekolah Anak Raja (SAR) di Narumonda, tetapi mampu juga menguasai ilmu jurnalisme dan cetak-mencetak. Walau tidak tamat, tetapi mendapat bekal menunjukkan dirinya sebagai penggerak yang didorong oleh ketidak-puasannya melihat kondisi bangsanya. Itu yang terjadi pada dirinya setelah dipecat dari SAR, beliau menjadi aktivis, yang berhadap-hadapan bukan dengan pendeta pribuminya, melainkan dengan pendeta Eropa yang memicingkan mata melihat pribumi ingusan. Penerbit BSB menjadi tampilan orang yang berjiwa ‘merdeka’. Orang tuanya, yang berjiwa merdeka, ingin agar puteranya mendapat pendidikan yang sesuai jiwanya, ‘merdeka’, sehingga dia dikirim belajar ke Singapura. Pendidikan Methodist lebih menerampilkannya, tetapi rupanya sanubarinya telah dirasuk ‘kemerdekaan Kristen’ yang diajarkan kaum Lutheran. Dia menjadi perintis beberapa jemaat Methodist di Jawa, tetapi di matanya terpampang ancaman derita yang akan dialami bangsanya, Batak, sewaktu melihat derita penduduk Jawa yang sudah lama dijajah Belanda. Di Jawa dia sudah menyadari perlunya; Pendidikan untuk semua, dan pendidikan harus terjangkau oleh rakyat semiskin apapun. Walaupun dia membawa keluarga ke Jawa, tampaknya panggilan kampung halaman lebih kuat.
Photo bersama Ephorus dan Rombongan bersama dengan Keluarga Besar
Pdt. MH. Manullang menjadi penggerak kesadaran kemerdekaan bangsanya. Sang Tokoh memilih Balige menjadi tempat awal perjuangannya di tanah leluhurnya, dan menjadikan Balige sebagai sentra pergerakannya. Dia memberi contoh, bahwa seorang terpelajar harus dapat menafkahi diri dan keluarganya dengan usahanya sendiri, dan usaha itu dapat dibuat berdampak kemajuan dan menyadarkan bangsa untuk pergerakan nasional. Dia cermat melihat perkembangan situasi dan gerak-gerik penjajah. Semangat ‘kemerdekaannya’ menggelegak, sehingga dia dapat merubah kumpulan koor “Hadomuan” yang dimasukinya/dipimpinnya di Balige menjadi tempat mendiskusikan situasi ‘tanah air orang Batak’ dan menjadi alat yang menyuarakan bahaya yang telah mengancam tanah Batak, dan menjadi gerakan politik yang diberi nama HATOPAN KRISTEN BATAK. Pemimpin gereja di Balige setuju atas gerakan itu sehingga tidak ada keberatan sewaktu pendirian organisasi ini dilakukan tanggal 21 September 1917 di gereja Batakmission Balige. Para Zendeling pada mulanya melihat rencana Belanda mengkonsesi tanah Batak kepada kaum pemilik modal. Itu jelas selagi ketua HKB dipegang oleh guru Polin Siahaan, dan Mangaradja Hezekiel Manullang hanya sebagai wakil ketua. Para Zendeling mulai gusar dan mulai menolak HKB setelah MH Manullang menjadi ketua pergerakan ini pada Kongres HKB tanggal 25-28 Januari 1918. Kegusaran itu dilatarbelakangi oleh pengenalan mereka tentang sang tokoh yang sudah berani mengatakan tidak setuju kepada pendapat Zendeling, sejak dia sekolah di SAR Narumonda. Ternyata HKB berhasil menyadarkan orang Batak, bahwa darah kemerdekaannya harus dipelihara dan diperjuangkan, dan mulai bergerak untuk itu dalam berbagai lini kehidupan termasuk lini kehidupan kegerajaan.
Meskipun Pdt. MH. Manullang tidak ikut dalam pendeklarasian tiga gereja mandiri di Sumatera tahun 1927 (Huria Cristen Batak/Huria Kristen Batak, Punguan Kristen Batak, dan Mission Batak), tetapi perjuangan/pergerakan yang dirintis beliaulah yang mendorong para pencetus gereja mandiri tersebut mendeklarasikan kemandiriannya. Tuan Manullang masuk menjadi hamba TUHAN di Huria yang sesuai dengan semangat perjuangannya. Jiwa nasionalisnya kemudian ditunjukkannya melalui peranannya menuntun Huria Cristen Batak, yang menahbiskannya menjadi pendeta tahun 1940 dan menempatkannya melayani di Siaualompu Tarutung, untuk menyesuaikan diri dengan semangat perjuangan nasional Indonesia. Beliau tahu bahwa HChB merupakan dampak dari demam kemandirian yang sudah tercanang di Tanah Batak, yang sedikit banyak sebagai imbas pergerakan HKB yang pernah dipimpin sang tokoh. Dengan penuh kesadaran beliau menempuh jalan masuk menjadi pendeta di Huria mandiri ini. Beliau tahu banyak pergolakan di huria yang dimasukinya, tetapi dia tidak ikut mencampurinya. Tetapi sewaktu tiba masanya, bersamaan dengan waktu sesudah NKRI diproklamasikan, dia ikut menuntun Huria yang dilayaninya tersebut memasuki ‘suasana’ nasional yang mulai bersinar. Maka walaupun tidak dicatat terlalu banyak tentang peranannya di sinode HChB yang diadakan di Jemaat HChB Patane Porsea tanggal 16-17 Nopember 1946, dapat dipastikan bahwa sang tokoh menuntun Huria mandiri ini (HChB) mengubah namanya menjadi Huria Kristen Indonesia (HKI).
Mungkin semangat itu sebagai pencapaian sementara cita-citanya yang menginginkan adanya Gereja Raya di Tanah Batak atau di Indonesia. Pengalaman dipenjarakan Jepang (1942) dan panggilan tugas di pemerintahan Jepang (kepala dinas propaganda Jepang) tahun 1943-1945 membuat sang tokoh tidak dapat ditempatkan menjadi pendeta yang penuh waktu di resort HKI. Tetapi setiap minggu beliau melayani, berkhotbah di Jemaat HKI di mana beliau berada. Beliau menjadi penopang pucuk pimpinan HKI yang dipimpin oleh Pdt. Thomas Josia Sitorus mulai pada tahun 1946 dalam menghadapi perkaranya dengan FP Soetan Maloe yang terus memimpin HChB yang tidak mengakui keputusan sinode HChB di Patane Porsea. Walaupun berperan sebagai abdi negara di zaman kemerdekaan, Pdt. Mangaradja Hezekiel Manullang terpilih juga menjadi anggota Pucuk Pimpinan HKI tahun 1955-1959 dan 1959-1960. Sewaktu beliau sudah berdomisili di Medan tahun 1950 dan bekerja sebagai patih (sampai pensiun 31 Maret 1958) beliau terus membantu perkembangan jemaat-jemaat HKI Medan. Setelah beliau pindah ke Jakarta agar bersama keluarga puteranya sejak tahun 1967, beliau mendaftar menjadi anggota jemaat HKI di HKI Pulomas yang sudah berdiri sejak 2 April 1967 (gereja HKI tertua di Pulau Jawa), dan kemudian ikut menggerakkan berdirinya HKI Cililitan yang berdiri tanggal 30 Agustus 1970. Beliau menjadi gembala yang menasihati jemaatnya agar utuh bila terjadi riak-riak dalam kehidupan jemaatnya.
Prasasti Penghargaan kepada Pdt. MH. Manullang oleh Pemerintah Indonesia
Di bidang pendidikan, Pdt. MH. Manullang dapat disebut sebagai penopang untuk kemajuan lembaga pendidikan yang diselenggrakan gereja. Tuan Manullang adalah tokoh yang berpendidikan tinggi dan punya pengalaman pendidikan di luar negeri. Gereja yang dimasukinya juga adalah gereja yang harus mendidik putra-putrinya secara mandiri. Di awal HChB, sekolah-sekolah HChB terkenal sebagai sekolah-sekolah liar (wilde school). Kehadiran Tuan Manullang di pemerintahan Republik ini membuat pengurusan sekolah-sekolah itu menjadi sekolah-sekolah bersubsidi. Sebagai Abdi Negara yang menjalankan misi damai, demi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Dan di zaman mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan sekarang ini, mudah-mudahan cita-cita beliau tentang “Gereja Raya” dapat diterjemahkan gereja-gereja masa kini dalam usaha menyatukan (bahkan kalau perlu melebur) gereja-gereja Lutheran yang ada. Semangat perdamaian di tengah-tengah bangsa, harus ditularkan menjadi semangat perdamaian di seluruh gereja-gereja yang ada, sehingga sekat-sekat denominasi bisa terhapus.
Menjelang masa-masa tuanya dan ujung hidup Pdt. MH. Manullang, oleh Jemaat jenazah beliau diberangkatkan Siyakuompu, sesudah beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir di Jakarta tanggal 20 April 1979, setelah menerima perjamuan Kudus di Rumah Sakit Cikini Jakarta, dan kemudian disambut jemaat HKI bersama semua pendeta HKI di Silindung di Siualuompu untuk memberikan penghormatan terakhir dan menghantar beliau ke tangan Allah Bapa dalam Tuhan Yesus Kristus. Tanggal 7 Mei 1979, jemaat HKI Siualuompu yang dilayaninya dalam awal kependetaannya (1941/dua tahun setelah jemaat ini berdiri tanggal 7 Mei 1939) memberikan tanda penghormatan dan surat penghargaan atas jasa-jasa beliau dalam membangun HKI. HKI harus melihat akhir hidup sang tokoh, dan terus bergumul untuk melanjutkan cita-citanya. (dikutip dan disesuaikan dari catatan Amang Ephorus, Pdt. L. Sitorus, MTh dalam bedah buku TUAN MANULLANG ditulis oleh Dr. PTD. Sihombing, M.Sc., S.Pd di Jakarta 24 Mei 2008).
Akhirnya Ephorus berpesan diakhir acara ziarah kepada yang hadir dan HKI secara umum untuk mengingat setiap para tokoh-tokoh gereja HKI terdahulu dan bersama melanjutkan perjuangan dan cita-cita mereka. Kegiatan ziarah kemudian diakhiri dengan bernyanyi dan berdoa yang langsung dipimpin oleh Amang Ephorus. Sebagai dokumentasi diikuti dengan foto bersama di depan makam dan dilanjutkan dengan foto bersama dengan keluarga besar di depan rumah yang dulunya sebagai tempat tinggal Pdt. MH. Manullang bersama orangtua dan sanak keluarga lainnya. (yph)
READ MORE - Ziarah: Pdt. MH. Manullang "Tuan Manullang"

Thursday, April 8, 2010

NASEHAT UNTUK KITA!!!

0 comments

ROMA 12: 9 – 13 
“NASEHAT UNTUK HIDUP DALAM KASIH”
 
PENGANTAR
Paulus menulis surat ini untuk menjelaskan pengertiannya tentang agama Kristen dan tuntutan-tuntutannya yang praktis untuk kehidupan orang-orang Kristen. Setelah menyampaikan salamnya kepada orang-orang dalam jemaat di Roma, dan memberitahukan kepada mereka tentang doanya bagi mereka, Paulus mengemukakan tema suratnya ini: "Dengan Kabar Baik itu Allah menunjukkan bagaimana caranya hubungan manusia dengan Allah menjadi baik kembali; caranya ialah dengan percaya kepada Allah, dari mula sampai akhir" (Rom. 1:17).

Setelah itu Paulus menguraikan temanya itu. Hubungan manusia dengan Allah menjadi baik kembali kalau manusia percaya kepada Yesus Kristus. Kemudian Paulus menguraikan tentang hidup baru yang dialami oleh manusia kalau bersatu dengan Kristus. Hidup baru itu tumbuh karena adanya hubungan yang baru dengan Allah. Orang yang sudah percaya kepada Yesus, hidup damai dengan Allah, dan Roh Allah membebaskan dia dari kekuasaan dosa dan kematian. 

NASEHAT UNTUK KITA
Saudara-saudara yang kekasih di dalam Yesus Tuhan, istilah ‘tulus’ dalam bahasa inggris disebut sincere. Berasal dari dua kata latin yakni: sine (tanpa) dan cere (lilin). Dulu para tukang kayu biasa melapisi hasil akhir perabotan dari kayu yang hendak dijual dengan lilin. Apabila ada lubang atau cacat dari hasil pekerjaan tangannya, maka akan tertutupi dengan lilin sehingga tampak mulus dan bagus. Namun, selang beberapa waktu, panas matahari akan melelehkan lilin itu dan menampakkan kondisi yang sesungguhnya. Itu sebabnya tukang kayu yang hendak menjaga pelanggan dan karya baiknya memberi tanda di setiap hasil pekerjaan tangannya dengan tanda SINE CERE (tanpa lilin). Ia hendak menjamin bahwa produk buatannya asli dan tanpa tipuan.

Demikianlah Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma memberi nasehat untuk hidup di dalam kasih yang benar dan bersumber dari Kristus Tuhan saja (ayat 9-10)…”Kasih itu janganlah pura-pura atau palsu...”. Gelap itu ada karena tidak hadirnya cahaya. Dingin itu ada karena tidak hadirnya kehangatan. Itulah mengapa ada kejahatan di dunia ini. Itu karena kasih belum tersebar merata. Masih banyak orang yang belum merasakan dan menikmati kasih sebab hati yang keras menutup pintu masuk atas kehadiran kasih dalam hidup manusia. Yesus Kristus telah hadir di dunia ini untuk menjadi cahaya dan penuntun jalan hidup manusia. Kehadirannya memberikan kasih dan mengajarkan bahasa cinta bagi umat manusia. Untuk itu janganlah kita hidup dalam kepura-puraan. Kasihilah sesama dengan ketulusan...”bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan” (ayat 13).

Saudara-saudara yang kekasih di dalam Yesus Tuhan, di kota Cremona, Italia, didirikan sebuah museum biola. Di museum itu ada ratusan biola dari berbagai usia bahkan ada yang sudah mencapai usia tiga ratus tahun. Seorang biolis bernama Andrea Masconi  ditugaskan untuk merawat biola-biola. Tiap biola dimainkan setiap harinya selama enam sampai tujuh menit. Tujuannya supaya kualitas suaranya tetap terjaga, ”kayu biola bagai otot manusia. Jika tidak dimainkan bakal cepat kendur dan rusak”.

Demikianlah pesan Paulus kepada kita dalam ayat 11-12; otot rohani kita juga harus dipakai agar tetap berfungsi prima. Hidup kristiani layaknya seorang olahragawan yang terus melatih dirinya dan tidak bermalas-malasan untuk mecapai prestasi yang baik sebagai sang juara. Memang melelahkan namun tanpa melatih otot rohani kita dengan memberikan diri untuk diajar Roh Kudus seperti halnya beribadah, berdoa dan rajin mengikuti persekutuan iman lainnya, niscaya kita tidak akan mampu untuk menghadapi tantangan zaman yang kerap membawa kita kepada dosa dan penderitaan. Lihat saja bagaimana teman-teman kita segenerasi, khususnya sebagai pelajar; banyak yang kemudian jatuh dalam cobaan duniawi seperti penyakit masyarakat (narkoba, seks bebas) dan melawan orang tua demi kepuasaan semu dan pergaulan.

Demikianlah Firman Tuhan lewat pesan Paulus bagi jemaat di Roma dan untuk kita saat ini, marilah menjadi generasi muda yang hidup dalam kasih sejati tanpa kepurapuraan satu terhadap yang lain. Dan bergiat dalam kerajinan untuk melatih ’otot rohani’ kita agar kuat menghadapi tantangan zaman di dalam pengharapan kepada Kristus Tuhan. Amin.
READ MORE - NASEHAT UNTUK KITA!!!

Thursday, March 11, 2010

KRISTUS: RAJA GEREJA

0 comments

YESUS KRISTUS; RAJA GEREJA
PEDOMAN BAGI PARA PEMIMPIN
I. PENDAHULUAN
Kepemimpinan tidak ubahnya perjalanan gerbong-gerbong kereta api dengan kepalanya (mesin : pemimpin) di atas rel yang tampak mengkwatirkan. Setiap gerbong akan mengikuti kemana arah kepala membawanya; dan rel adalah lintasan yang seakan-akan seperti pisau bermata dua, ia tampaknya membawa kepada tempat ”gelap” dan ”terang”. Seorang pemimpin dituntut fokus dan mau berkorban guna menjamin setiap ’gerbong’ tiba kepada tujuannya masing-masing dengan berjalan pada lintasan yang telah dipahami dan sepakati bersama.

II. ISI NATS (1 Tim. 6 : 11 – 16)
Dalam pembahasan Minggu sebelumnya kita sudah mengenal siapa Timotius dan latar belakang hadirnya surat Paulus kepadanya. Pada topik nats Minggu ini, tetap lewat nasehat surat pastoralnya, Paulus dalam pesan penutupnya kepada Timotius kembali berupaya mengingatkan sembari menguatkan Timotius untuk menyadari panggilan Allah atas hidupnya (ay. 11). Lewat ayat ini kita sekarang disadarkan kembali akan identitas kita sebagai milik Allah, untuk itu amat berbeda dengan ’manusia-manusia’ lainnya. Kebedaan inilah yang kemudian mengarahkan hidup kita kepada motivasi yang sesungguhnya sebagai seorang pemimpin. ”...kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan...”; Paulus menguraikan patron bagi kita untuk berlaku sebagai pemimpin.

Dalam 2 Timotius 2:5, Paulus menganalogikan keterpanggilan sebagai ’manusia Allah’ layaknya seorang olahragawan, yang memberikan diri untuk bertanding sesuai peraturan-peraturan yang telah ditetapkan guna memperoleh kemenangan yakni mahkota juara. Demikian juga kepemimpinan digambarkan Paulus sebagai sebuah pertandingan (ayat 12); maka bertandinglah di dalam iman bukan terjebak pada nafsu duniawi sehingga haus kekuasaan, kemewahan dan ketidakadilan. Dengan demikianlah kita berhasil untuk memenangkan mahkota juara yakni hidup yang kekal. Dan juga sebagai bukti dari ikrar keselamatan yang telah Yesus ikrarkan sebelumnya untuk penebusan kita dari maut (ayat 13).

Penegasian Paulus jelas menunjukkan semangat yang dalam atas pemanggilan Allah kepada manusia dan juga pengharapan akan kedatangan Kristus kembali (ayat 14). Paulus menunjunkkan karakter sesungguhnya dari kehidupan beriman; kesetiaan terhadap perintah yang telah ditetapkan sebagai ”rel” oleh Kristus bagi pemimpin Kristen. Hingga penyataan Kristus akan diriNya sebagai Raja atas kehidupan orang percaya (gereja-red) (ayat 15-16).

III. APLIKASI
Hari ini banyak orang percaya kepada Kristus yang menjadi pemimpin atas banyak orang; baik itu mulai dari pemerintahan tertinggi hingga yang paling rendah. Dan masih banyak juga yang mengharapkan bahkan dengan ambisi untuk menjadi pemimpin (mari kita lihat pilkada yang sebentar lagi berlangsung di daerah Toba Samosir). Namun yang ironi adalah tidak sedikit dari para pemimpin yang kemudian kehilangan pijakkan, ”rel” yang sesungguhnya untuk berlaku sebagai pemimpin. Banyak yang melupakan siapa yang memilihnya, yakni Kristus sebagai Raja Gereja (ayat 15-16), khususnya dalam kepemimpinan gereja hari ini. Yesus sebagai kepala gereja kerap terabaikan oleh karena kepentingan-kepentingan duniawi yang mejarah motivasi bertanding di dalam iman yang sesungguhnya di tengah gereja. Alhasil adalah berseraknya korban-korban dari kepemimpinan yang seperti ini; kemiskinan, kebodohan, pengangguran.

Di dalam gereja indikasinya dengan jelas dapat kita lihat; lesuhnya kehidupan beriman dalam sekop gereja dari warga jemaat, skandal, korup, eksodus besar-besaran warga jemaat ke gereja lain bahkan pindah agama (lihat saja maraknya aliran-aliran sekarang ini). Akhirnya, seperti illustrasi dalam pembukaan di atas; kepemimpinan itu layaknya perjalanan kereta api dengan gerbong-gerbong yang berisikan berbagai macam tujuan dari setiap penumpangnya. Pencapaian tujuan dapat terwujud hanya dengan jikalau kepala kereta selaku mesinnya berlaju di atas rel yang telah ditetapkan. Begitulah pemimpin, seyogyanya memimpin dengan berjalan pada ketetapan Allah (ayat 11-12), dan dengan rendah hati membiarkan diri untuk dipimpin oleh Kristus Yesus sebagai Raja Gereja. Memang tampak dilema, karena kita diperhadapkan pada kemewahan dunia dan kesederhanaan di dalam kasih Kristus. Sebab demikianlah kita dipanggil di dalam ikrar iman kita untuk menjadi identitas yang hadir secara beda atas dunia.
READ MORE - KRISTUS: RAJA GEREJA

KEPEMIMPINAN

2 comments

KEPEMIMPINAN: BELAJAR DARI TIMOTIUS
I. PENDAHULUAN
Menilik kepemimpinan sekarang, maka kita mendapati bahwa kekuasaan, kesenangan, dan kemakmuran adalah indikasi keberhasilan. Bukan berarti hal dimaksud adalah sesuatu yang salah, artinya kesuksesan kepemimpinan sejati sewajarnya diukur dengan perubahan positif yang dihasilkan dengan memberi kontribusi bagi kebaikan semua dalam sepektrum suatu kepemimpinan.

II. ISI NATS (1 Tim. 3 : 1 – 7)
Timotius adalah seorang Kristen yang masih muda di Asia Kecil, yang telah menjadi kawan dan pembantu Paulus dalam pekerjaan Paulus. Ayah Timotius seorang Yunani dan ibunya Yahudi. Dalam  Surat Paulus Yang Pertama Kepada Timotius, dibentangkan tiga  hal yang ada sangkut pautnya satu sama lain. Pertama-tama ialah peringatan kepada Timotius terhadap ajaran-ajaran salah yang terdapat di dalam jemaat. Ajaran-ajaran itu merupakan campuran faham Yahudi dan faham bukan Yahudi berdasarkan kepercayaan bahwa semesta alam sudah jahat, dan keselamatan hanya dapat diperoleh kalau orang mempunyai pengetahuan tentang rahasia tertentu, dan mentaati peraturan-peraturan seperti misalnya peraturan tidak boleh kawin,  pantang makanan-makanan tertentu dan lain sebagainya. Kedua, ialah petunjuk-petunjuk kepada Timotius mengenai pengurusan jemaat dan mengenai ibadat. Dijelaskan baginya sifat-sifat orang yang boleh menjadi penilik dan pembantu jemaat. Dan, ketiga Timotius diajar mengenai bagaimana ia dapat menjadi seorang hamba Yesus Kristus yang baik dan mengenai tanggung jawabnya terhadap setiap golongan orang yang menjadi anggota jemaat.

Perjanjian Baru, terutama surat-surat Timotius menyajikan dorongan pastoral Paulus kepada Timotius sebagai pemimpin jemaat Efesus yang bisa dijadikan pondasi hidup kepemimpinan, khususnya di tengah-tengah gereja (1 Tim. 3:1-7). Paulus memberi nasehat kepada Timotius terhadap para pemimpin jemaat untuk memiliki beberapa karakter kunci atas keberhasilan sebagai pemimpin atas jemaat.

Paulus menjelaskan kepada Timotius bahwa suatu kebahagiaan menjadi pemimpin (ay. 1) untuk itulah harta yang indah itu harus dipelihara dengan apapun resikonya. Meski dalam surat-surat pastoral, khususnya dalam Timotius, Paulus tidak memberikan otoritas institusif untuk memimpin gereja namun nasehat Paulus sangat berguna untuk diterapkan dalam kepemimpinan masa kini (ay. 2-7). Ditegaskan pula bahwa meskipun dalam surat Pastoral tidak dijelaskan secara langsung tentang adanya otoritas institusional, namun ada nilai-nilai sikap yang sangat menolong dalam seni kepemimpinan.

Paulus menantang jemaat Tuhan untuk menjadi pemimpin yang berbeda; ia tidak boleh menyerah dengan keadaan yang cenderung memaksa kita untuk menyelewengkan diri atas jabatan kita; ia harus tetap teguh hidup dalam kebenaran Firman Tuhan dan melakukan tugas dan tanggungjawab memimpin pelayanan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Firman Tuhan dan menjaga dirinya untuk tetap menjadi teladan terhadap sesamanya.

III. APLIKASI
Secara khusus dalam kehidupan gereja, baik sebagai institusi maupun pribadi, memiliki tanggungjawab untuk memelihara dan mengembangkan kehidupan yang menjadi berkat di tengah masyarakatnya. Adapun tanggungjawab tersebut demikian merupakan relevansi gereja yang diuji pada kemampuannya dalam mengembangkan serta memelihara kehidupan, mampu menjadi berkat, mampu menjadi garam dan terang dunia.

Tantangan untuk mengembangkan dan memelihara kehidupan, menjadi berkat, mampu menjadi garam dan terang dunia ini menjadi tugas berat orang percaya. Tugas ini diperberat dengan tantangan yang muncul dari dalam maupun dari luar kekristenan. Munculnya gerakan dari organisasi-organisasi fundamentalis yang mengatasnamakan agama tertentu misalnya. Artinya, tantangan kekristenan untuk memelihara dan mengembangkan kehidupan, khususnya di tengah masyarakat Indonesia sangatlah komplek. Demikianlah maka, dibutuhkan kepemimpinan lewat pemimpin-pemimpin Kristen yang ideal; yang tetap hidup benar dan memelihara berita Injil yang telah diterimanya dengan konsekuensi logisnya.

IV. ILLUSTRASI
Seorang pemimpin layaknya alat penunjuk arah angin yang diletakkan di tempat strategis dan paling tinggi di bandara pesawat; menjadi tolok ukur dan panduan bagi navigasi bandara untuk mengizinkan si pilot pesawat lepas landas atau mendarat di landasan pacu; demikian seorang pemimpin dalam memimpin, merupakan patron bagi pengikutnya untuk mengambil keputusan dan melakukannya; hal ini berlaku dimana saja baik dalam keluarga, masyarakat, gereja dan negara.
READ MORE - KEPEMIMPINAN

KEMATIAN YESUS KRISTUS

0 comments

KEMATIAN YESUS

I.       PENDAHULUAN
A. Mengenai Lukas
Injil Lukas adalah kitab pertama dari kedua kitab yang dialamatkan kepada seorang bernama Teofilus (Luk 1:1,3; Kis 1:1). Walaupun nama penulis tidak dicantumkan dalam dua kitab tersebut, kesaksian yang bulat dari kekristenan mula-mula dan bukti kuat dari dalam kitab-kitab itu sendiri menunjukkan bahwa Lukaslah yang menulis kedua kitab itu. Waktu penulisan berkisar tahun 60-63. Lukas adalah seorang petobat Yunani, satu-satunya orang bukan Yahudi yang menulis sebuah kitab di dalam Alkitab. Roh Kudus mendorong dia untuk menulis kepada Teofilus (Teofilus: seorang yang mengasihi Allah) guna memenuhi suatu kebutuhan dalam jemaat yang terdiri dari orang bukan Yahudi. Suatu kisah yang lengkap mengenai permulaan kekristenan. Kisah ini terdiri atas dua bagian: kelahiran, kehidupan dan pelayanan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus (Injil Lukas); dan pencurahan Roh di Yerusalem dan perkembangan selanjutnya dari gereja mula-mula (Kitab Kisah Para Rasul). Kedua kitab ini merupakan lebih dari seperempat bagian dari seluruh PB.  

Ketika ia menulis Injilnya, gereja bukan Yahudi belum memiliki Injil yang lengkap atau yang tersebar luas mengenai Yesus. Matius menulis Injilnya pertama-tama bagi orang Yahudi; sedangkan Markus menulis sebuah Injil yang singkat bagi gereja di Roma. Orang percaya bukan Yahudi yang berbahasa Yunani memang memiliki kisah-kisah lisan mengenai Yesus yang diceritakan oleh para saksi mata, juga intisari tertulis yang pendek tetapi tidak suatu Injil yang lengkap dan sistematis (lih. Luk 1:1-4). Jadi, Lukas mulai menyelidiki segala peristiwa itu dengan saksama "dari asal mulanya" (Luk 1:3). Lukas mengerjakan penelitiannya di Palestina sementara Paulus berada di penjara Kaisarea (Kis 21:17; Kis 23:23--26:32), dan menyelesaikan Injilnya menjelang akhir masa itu atau segera setelah ia tiba di Roma bersama dengan Paulus (Kis 28:16).

Injil Lukas mulai dengan kisahan masa bayi yang paling lengkap (Luk 1:5--2:40) dan satu-satunya pandangan sekilas di dalam Injil-Injil mengenai masa pra remaja Yesus (Luk 2:41-52). Setelah menceritakan pelayanan Yohanes Pembaptis dan memberikan silsilah Yesus, Lukas membagi pelayanan Yesus ke dalam tiga bagian besar: pertama: pelayanan-Nya di Galilea dan sekitarnya (Luk 4:14--9:50); kedua: pelayanan-Nya pada perjalanan terakhir ke Yerusalem (Luk 9:51--19:27); dan ketiga: minggu terakhir-Nya di Yerusalem (Luk 19:28--24:43).

II.    ISI NATS (Lukas 23: 26-32)
Penjahat yang dijatuhi hukuman mati harus membawa sendiri salib yang berat itu ke tempat eksekusi. Begitulah Yesus melaksanakan proses hukumannya sebagai terdakwa penjahat atas hukum agama dan politik yang dikritisinya pada masaNya. Setelah pergumulan rohani yang berat di Taman Getsemani, tanpa sedikit pun waktu untuk tidur atau beristirahat, dan setelah semua penderitaan yang dialami di depan pengadilan Pilatus dan Herodes, Kehadiran Simon dari Kirene tidak terlepas dari ketidak berdayaan jasmani Yesus untuk memikul salib-Nya terus; maka Simon dipilih untuk membawa salib itu (ayat 26). Bdn. nubuatan Mikha, dia meratapi kebobrokan dalam masyarakat di mana dia hidup. Kekerasan, ketidakjujuran, dan kebejatan merajalela di kota itu. Sedikit sekali orang yang sungguh-sungguh saleh (ayat Mi 7:2), dan kasih keluarga nyaris tidak ada lagi (ayat Mi 7:6).

Perjalanan Yesus menuju Bukit Tengkorak diiringi tangis para pengikut-Nya (ayat 27). Namun di tengah penderitaan-Nya itu, Yesus menegur mereka agar tidak menangisi diri-Nya. Mereka seharusnya menangisi diri mereka sendiri karena Yerusalem kota tempat tinggal mereka, akan ditimpa kehancuran dahsyat sebagai akibat penolakan Israel terhadap kehadiranNya(ayat 28). Yesus bukan tidak berterima kasih atas simpati yang mereka tunjukkan, tetapi Dia ingin menyampaikan betapa parah malapetaka yang akan mereka alami. Begitu parahnya keadaan saat itu hingga seorang ibu mandul, yang oleh bangsa Israel dianggap kena kutuk, akan mensyukuri keadaannya sebab ia tidak perlu melihat penderitaan anaknya dalam masa sulit itu (ayat 29-30). Maka Yesus memberi perbandingan, jika Dia yang tidak bersalah saja diperlakukan begitu buruk oleh tentara Roma, apalagi bencana yang akan mereka alami nanti ketika keruntuhan Yerusalem tiba (ayat 31). Keadaan itu digambarkan Yesus layaknya “kayu hidup” dan “kayu kering”; yang berbuah dan yang tidak menghasilkan buah.  Itulah peringatan Yesus yang terakhir kalinya sebelum Dia meneruskan perjalanan menuju salib bersama dua orang kriminil lainnya.

III. APLIKASI
Ignatius yang berasal dari Syria, bishop dari Antiokhia, murid Rasul Yohanes,  yang hidup antara tahun 50-115 M, dalam perjalanannya dihukum mati sebagai martir dengan diadu dengan binatang buas, menulis tentang Kristus: "Dia disalibkan dan mati di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Dia benar-benar disalibkan dan mati di hadapan penghuni sorga, penghuni bumi dan bawah bumi…”. Apa arti kematian Yesus Kristus bagi manusia? Pertanyaan ini penting karena kematian Yesus bukanlah satu peristiwa umum di antara begitu banyak peristiwa kematian dalam sejarah umat manusia. Tentu saja ada orang yang beranggapan bahwa kematian Yesus tidak mempunyai signifikansi apa-apa. Atau, kalaupun ada, signifikansinya hanya bersifat teladan moral dari seorang pejuang dan guru moral yang berani mati demi memegang teguh pada prinsip dan pengajaranNya. Pandangan-pandangan demikian biasanya berangkat dari asumsi bahwa kematian Yesus tidak diikuti kemudian oleh kebangkitanNya. Namun kita percaya, sebagaimana disaksikan oleh Perjanjian Baru, Yesus bukan saja mengalami kematian. Namun, Dia juga dibangkitkan oleh Allah. Karena itu, kematian Yesus menemukan makna signifikansi baru. Tanpa kepercayaan kepada kenyataan kebangkitan Yesus, kematianNya memang akan menjadi satu peristiwa yang meaningless atau tak bermakna secara teologis.

Dalam terang kebangkitan Yesus tersebut, bagaimana kita dapat memaknai kematianNya? Sebenarnya banyak makna teologis dan implikasi spiritual yang dapat kita eksplorasi dari peristiwa kematian Yesus. Bahkan salib, simbol kematian Yesus itu, adalah jantung pengajaran dan spiritualitas Kristen. Kematian Yesus memiliki pelbagai makna diantaranya adalah substansial-soteriologis dan demonstratif-eksemplaris.

Kematian Yesus dapat kta pahami sebagai "korban", bukan dalam arti victim, tetapi sacrifice, pengorbanan. Dengan menggunakan istilah ini, Perjanjian Baru, khususnya kitab Ibrani, ingin mengungkapkan bahwa kematian Yesus adalah penggenapan terhadap bentuk-bentuk korban yang terdapat dalam Perjanjian Lama. Dalam PL, banyak ritual persembahan korban, antara lain korban pendamaian, yang dilakukan oleh seorang Imam Besar. Kematian Yesus adalah korban yang sempurna dan dipersembahkan oleh seorang Imam Besar yang sempurna, yakni diriNya sendiri. (Ibrani 9: 11-12). Jadi, Yesus adalah Imam Besar yang datang kepada Allah dengan membawa korban dan korban itu adalah diriNya. Karena itu korban persembahan Yesus adalah korban yang sempurna. Dalam konteks inilah maka Paulus bicara mengenai kematian Yesus sebagai "jalan pendamaian"(Roma 3: 25) sebagaimana korban PL adalah suatu simbol jalan pendamaian manusia dan Allah.
Melalui kematian tersebut, tersedia suatu dasar ilahi bagi Allah untuk mengampuni manusia-manusia berdosa. Bagaimana Allah yang benar dan kudus dapat mengampuni manusia yang berdosa, sedangkan dosa adalah suatu kondisi dan tindakan manusia yang "melukai" kemuliaan Allah? Di sinilah letak jasa kematian Yesus. Yesus melalui kematianNya, membayar penuh "hutang-hutang" manusia yang telah mencederai kemuliaan Allah. "Ia mengampuni segala pelanggaran dengan menghapuskan surat hutang, yang oleh ketentuan-ketentuan hukum mendakwa dan mengancam kita (Kolose 2:13b-14). Bagaimana pengampunan itu dapat terjadi? Dalam konteks ini, kita perlu pahami bahwa bahwa pengampunan itu dimungkinkan oleh kematian Yesus sebagai kematian yang menggantikan kita (substitutionary). Seharusnya manusialah yang dihukum oleh keadilan Allah. Tetapi Yesus menggantikan manusia, memikul dosa manusia, dan menerima penghukuman tersebut, (bd. Gal 3:13). Dalam kematianNya Yesus mewakili umat manusia. Yesus adalah representasi manusia di hadapan Allah;” Ia adalah Pengantara dari suatu perjanjian yang baru" (Ibr. 9:15). Tetapi untuk mendapatkan bagian dalam perjanjian tersebut, untuk dapat menikmati "keterwakilan” kita di dalam kematian Yesus, kita perlu “berpartisipasi” suatu isitilah yang sering digunakan Paulus untuk menggambarkan "kesatuan spiritual" antara manusia dan Yesus Kristus, yang dapat diartikan sebagai percaya, menerima dan mendapat bagian dalam kematian dan kebangkitanNya (bnd Rom 6:6,8; 8:1).
Kematian Yesus adalah suatu demokrasi kasih Allah yang tertinggi kepada manusia. Makna demonstratif dan eksemplaris ini memang tidak boleh dilepaskan dari makna substansial yang disebutkan diatas, karena ada kecenderungan menjadikan kematian Yesus sebagai suatu teladan moral. Tetapi makna ini perlu dikaji karena memang kematian Yesus menjadi suatu "display" teragung dari kasih Allah kepada manusia, seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma 5:8," Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa."(But God demonstrates his own love for us in this: While we wer still sinners, Christ died for us). Kita dapat sangat tergetar oleh kisah Abraham mempersembahkan Ishak, anak tunggalnya, kepada Allah di gunung Moria. Tetapi dalam praktek agama-agama lain pada waktu itu, persembahan demikian bukanlah sesuatu yang sangat luar biasa. Yang jauh lebih luar biasa dan tak terkatakan adalah kisah Allah yang mempersembahkan dirinya kepada manusia. Yesus bukan hanya seorang manusia. Tetapi Dia adalah Anak tunggal Allah. Bahkan lebih dari itu, Dia adalah Allah itu sendiri, Pribadi ke-2 dari Allah Tritunggal. Dan dia mati untuk manusia; bahwa Allah mati bagi manusia. Yohanes mengatakan "Allah adalah kasih,"(1 Yoh 4:8). Apakah yang paling jelas mendefinisikan pernyataan iman tersebut selain peristiwa salib? Yohanes sendiri menegaskan hal ini dalam ayat berikutnya."Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan ditengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus AnakNya yang tunggal ke dalam dunia supaya kita hidup olehNya."Dan setiap kali bertanya, apakah Allah mengasihi kita, apakah Dia memperhatikan kondisi hidup kita, kisah kematian Yesus kiranya dapat mendemonstrasikan kembali betapa Dia mengasihi kita.
Kristus telah wafat bagi kita agar kita dapat berperan sebagai anak-anak Allah yang efektif untuk membawa pembaharuan dalam kehidupan ini. Dengan demikian melalui kematian Kristus, karya keselamatan Allah secara esensial dan substansial telah memperdamaikan seluruh umat manusia dengan Allah dan sesamanya. Perenungan kita pada masa sengsara Yesus tak cukup hanya tentang kedahsyatan penderitaan yang Yesus pernah tanggung. Penderitaan Yesus seharusnya membangkitkan keinsafan tentang betapa lebih mengerikan penderitaan orang yang tidak hidup serasi dengan salib Yesus, karena tidak mungkin luput dari murka Allah. Oleh karena itu, nyatakanlah syukur kita terhadap pengorbanan-Nya dengan menyalibkan sifat dosa kita tiap saat.

IV. ILLUSTRASI
Kematian Yesus Kristus bisa diillustrasikan bagaikan tanaman gandum. Jika biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia akan tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Begitu juga dengan tanaman bunga splir; tanaman splir dapat berkembang banyak dan mengiasi taman rumah, jika biji-biji kecil yang ada di atas dedaunannya kemudian mati dan jatuh di atas tanah. Demikianlah, kematian Kristus bagi kita, kematian yang dimotivasi oleh inisiatif kasih terhadap manusia ciptaanNya; untuk memberikan kehidupan baru bagi kita.
READ MORE - KEMATIAN YESUS KRISTUS

KEBANGKITAN TUHAN YESUS

0 comments

KEBANGKITAN TUHAN YESUS
 DASAR MARTURIA GEREJA
I.              PENDAHULUAN
Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu," tulis Paulus dalam 1 Korintus 15:17. Bukti sejarah dan banyaknya hidup yang berubah telah menyaksikan bahwa kebangkitan Yesus adalah sebuah fakta. Kebangkitan Kristus lebih dari sekadar fakta sejarah itu adalah bukti penyelamatan kita. Jika kebangkitan bukan peristiwa sejarah, maka kuasa kematian tetap tidak dikalahkan; Kematian Kristus menjadi tidak ada artinya, dan umat yang percaya kepada-Nya tetap mati dalam dosa; Keadaannya akan tidak berbeda dengan sebelum mendengar nama-Nya. Kebangkitan Kristus merupakan suatu peristiwa yang terjadi di dalam dimensi ruang dan waktu sejarah manusia. Kebangkitan Kristus adalah peristiwa dalam sejarah, dimana Tuhan bekerja di dalam waktu dan ruang tertentu.
Injil Yohanes, khususnya dalam pasal 20:1-29 membahas mengenai kebangkitan Tuhan Yesus. Pasal 20 ini merupakan berita paling mendasar dalam Injil Yohanes yang mengambarkan bahwa Kristus datang untuk memberikan hidup yang kekal. Kematian tidak akan berkuasa atas Dia. Kebangkitan-Nya membuktikan bahwa orang yang percaya kepada-Nya akan memperoleh hidup yang kekal. Dalam pasal 20:19-29 membahas penampakan diri Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya, baik tanpa Tomas (Yoh. 20:19-23) maupun dengan Tomas (Yoh. 20:24-29) yang memberikan kesan atas dirinya sebagai orang yang tidak percaya. Rene Descartes mengatakan: “De Omnibus Dubitandum”, artinya segala sesuatu harus diragukan. Inilah kira-kira sikap hidup dari Tomas. Akan tetapi, baik Tomas akhirnya, maupun seluruh Perjanjian Baru mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan dan yang merupakan juga pondasi bagi misi (marturia-red) gereja.

II.           ISI NATS (Johanes 20: 24 – 29)
Secara keseluruhan mengisahkan peristiwa Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya, termasuk Tomas; Yesus melayani Tomas secara khusus, baik karena keperluan Tomas, maupun supaya suatu kebenaran yang penting dapat disampaikan kepada kita. Peristiwa ini tidak diceritakan dalam ketiga Injil Sinoptik.

Ayat 24: Yesus menampakkan diri kepada murid-muridNya, tanpa kehadiran Thomas. Beberapa pandangan menyebut bahwa kealpaan Thomas dalam persekutuan bersama murid-murid lainnya tidak terlepas dari kesedihan Thomas akan kematian Yesus; yang kemudian mengambil waktu untuk menyendiri.

Ayat 25: Maka kata murid-murid yang lain itu kepadanya, "Kami telah melihat Tuhan!" Tetapi Tomas berkata kepada mereka, "Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya." Tomas menolak kesaksian mereka. Di situ dia salah, dan kesalahan itu penting dalam Injil Yohanes, yang ditulis sebagai kesaksian supaya orang-orang percaya! Kita sudah mengerti dari Matius 28:17; Lukas 24:11, 25, 38, 41; dan Markus 16:11 bahwa iman beberapa murid kurang kuat. Dalam peristiwa ini Tomas mewakili murid-murid yang mempunyai iman yang lemah. Tuntutan Tomas, bahwa ia harus melihat bekas paku pada tangan-Nya dan mencucukkan jarinya ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tangannya ke dalam lambung-Nya menggambarkan karakter khas dari orang Yahudi yang kerap mementingkan tanda.

Ayat 26: Delapan hari kemudian murid-murid Yesus berada kembali dalam rumah itu dan Tomas bersama-sama dengan mereka. Sementara pintu-pintu terkunci, Yesus datang dan Ia berdiri di tengah-tengah mereka dan berkata, "Damai sejahtera bagi kamu!" Adanya pertemuan-pertemuan yang lain tidak dijelaskan. Situasi ini mirip situasi pada hari Minggu yang lalu, tetapi Tomas bersama-sama dengan mereka. Munculnya Tuhan Yesus dan salam-Nya juga sama.

Ayat 27: Kemudian Ia berkata kepada Tomas, "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah." Tuhan Yesus telah mendengar tuntutan Tomas, dan Dia mengajaknya untuk melakukan apa yang dituntut. Dia tidak berkeberatan dengan tuntutan Tomas. Dia siap sedia membuktikan diri-Nya pada seseorang yang tidak mudah diyakinkan. Tomas dituntut juga: jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah. Tomas (serta semua orang yang tidak mau menerima kesaksian lisan) ditegur oleh-Nya yang mengasihi Tomas dengan kasih yang telah dibuktikan di kayu salib.

Ayat 28: Tomas menjawab Dia, "Ya Tuhanku dan Allahku!" Tampaknya Tomas tidak perlu bukti yang dia tuntut! Kata-kata Tuhan Yesus pasti menusuk hati Tomas, karena Dia memakai kata-kata yang dipakai oleh Tomas dalam sikap tidak mau percaya. Pengakuan Tomas ini di beberapa kalangan ditolak oleh para sarjana yang tidak menganggap Alkitab sebagai Firman Allah. Menurut mereka, "evolusi teologi" belum diberi waktu yang cukup lama, sehingga "gereja primitif" belum siap mengucapkan pengakuan yang begitu "tinggi". Meskipun demikian, kita yang menganggap Alkitab sebagai Firman Allah tidak heran bahwa Tomas mengerti bahwa Tuhan Yesus, yang jelas telah mengalahkan maut, adalah Tuhan dan Allah. Dalam konteks ini istilah Tuhan tidak hanya berarti "tuan". Istilah ini dipakai dalam Septuaginta (terjemahan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani) sebagai pengganti nama "Yahweh". Istilah Allah juga sangat jelas. Kita harus mengingat bahwa orang Yahudi hanya mempunyai satu Allah, dan tidak mengakui dewa-dewa. Tomas mengaku Yesus sebagai Allah Abraham, Isak, dan Yakub. Tomas menyembah Dia yang disembah oleh Raja Daud dalam Mazmur 35:23: "...ya Allahku dan Tuhanku!" Dengan demikian dia yang meragukan kesaksian teman-teman sampai memberikan tuntutan yang berlebihan berubah menjadi orang yang mengucapkan pengakuan yang luar biasa. Pemakaian kata ganti orang "-ku" dua kali dalam pengakuan ini menyatakan bahwa ini bukan hanya suatu pernyataan teologis atau liturgis, tetapi pengakuan ini bersifat sangat pribadi bagi Tomas. Dari segi struktur Injil Yohanes, kita mengamati bahwa pasal 1:1 berkata, "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah" dan pasal 1:18 berkata bahwa Firman itu menyatakan Allah. Apa yang dikatakan dalam pasal 1 telah menjadi nyata dalam pengalaman Tomas, agar yang tidak melihat Dia, diajak ikut percaya.

Ayat 29: Kata Yesus kepadanya, "Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya." Tampaknya Dia tidak menegur Tomas, Dia senang bahwa Tomas telah percaya, tetapi Dia lebih senang lagi kalau orang siap percaya tanpa melihat. Tema ini mengedepankan iman, bahwa iman yang timbul karena orang melihat suatu keajaiban adalah baik, tetapi iman walaupun belum melihat adalah lebih baik lagi (bd. Yoh. 1:50; 2:23-25; 4:48; 6:26; 10:38; dan 14:11). Namun di antara semua ayat tersebut, ayat ini mengandung pernyataan yang paling jelas. Tema tersebut terkait erat dengan tema kesaksian (marturia), karena kesaksian dimaksudkan untuk menimbulkan iman bagi mereka yang tidak sempat melihat Tuhan Yesus. Tema kesaksian sangat penting dalam Injil Yohanes yang bertendensi pada pengutusan (Yoh. 20:21-31). Ucapan bahagia ini, sesuai dengan ucapan bahagia yang lain, menyatakan bahwa orang itu diterima oleh Allah, tetapi juga mempunyai suatu nada dorongan. Dalam ucapan bahagia ini mereka didorong supaya sungguh percaya, tanpa menuntut tanda seperti apa yang dituntut Tomas.  1 Petrus 1:8-9, berbunyi: "Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu." Kutipan ini serta Yoh. 20:29 mengingatkan kita bahwa keadaan rohani kita tidak kurang indah dibandingkan dengan keadaan rohani mereka yang melihat Dia. Hoskyns mengutip dari seorang rabi yang menulis sesuatu yang mirip ini pada tahun 250 M: "Seorang petobat lebih dihargai Allah daripada semua kaum Israel yang berdiri dekat Gunung Sinai. Andaikata mereka tidak melihat guntur dan api dan kilat dan gentaran gunung dan bunyi sangkakala maka mereka tidak menerima hukum Taurat ataupun menunduk pada Kerajaan Allah. Tetapi seorang petobat tidak melihat semua itu, namun dia datang dan menyerahkan dirinya kepada Allah dan menerima kuk kehendak Allah. Apakah ada orang yang lebih dihargai daripada orang seperti itu?"
Dari pernyataan akhir Yesus, "Berbahagiaiah mereka yang tidak melihat, namun percaya", menjadi sangat jelas pentingnya iman bagi mereka yang tidak pernah melihat Yesus yang bangkit. Iman yang sama dituntut untuk mereka yang mengaku pernah melihat Yesus yang bangkit. Dengan demikian, kebangkitan Yesus dipandang sebagai objek pengakuan iman untuk semua, baik yang pernah melihat maupun yang tidak pernah melihat Yesus yang bangkit. Berkat iman akan kebangkitan itu para murid mengakui Yesus sebagai Tuhan. Penunjukan "tangan dan lambung-Nya" kepada para murid (ay. 20) mempertegas hubungan Yesus yang tersalib dengan Yesus yang bangkit.

III.         KAJIAN TEOLOGIS
1) Kebangkitan Kristus adalah kebangkitan tubuh
Kebangkitan Kristus adalah sungguh-sungguh kebangkitan tubuh, bukan hanya satu kebangkitan roh atau rohani. Kalau kebangkitan Tuhan Yesus hanya kebangkitan rohani saja, tentu mayat-Nya akan ketinggalan dalam kubur itu. Tetapi ada bukti bahwa kubur itu kosong (Matius 28:6; Markus 16:6; Lukas 24:3,12; Yohanes 20:1,2). Kubur yang kosong itu disaksikan oleh sahabat-sahabat dan musuh-musuh-Nya; yaitu perempuan-perempuan, rasul-rasul, malaikat-malaikat dan prajurit-prajurit Romawi. Ada kebangkitan-kebangkitan lain dalam Alkitab yang sungguh-sungguh merupakan kebangkitan tubuh (Matius 9:18-26; Lukas 7:11-18; Yohanes 11:1-44). Kejadian-kejadian ini juga menunjukkan cara kebangkitan Tuhan Yesus, yaitu secara tubuh. Orang-orang yang telah melihat Dia sesudah kebangkitan-Nya mengenal Dia serta mengakui bahwa Dia mempunyai tubuh yang mereka kenal, yaitu tubuh-Nya yang dahulu. Lubang bekas paku-Nya masih ada (Yohanes 20:27; Lukas 24:37-39).

2) Oleh kebangkitan-Nya semua pengakuan Tuhan Yesus mengenai diri-Nya disahkan dan diteguhkan Tuhan Yesus "dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa" (Roma 1:4). Oleh sebab kebangkitan Kristus maka rasul-rasul mendapat bukti yang baru dan pengertian yang baru yang lebih jelas mengenai diri Tuhan Yesus dan pekerjaan-Nya. Kebangkitan itu telah mempersiapkan rasul-rasul untuk menerima wahyu yang lebih jelas yang diberikan melalui kedatangan Roh Kudus pada hari Pentakosta (Lukas 24:45,49; Yohanes 20:22,23). Dengan kebangkitan Kristus Allah mengesahkan pekerjaan Kristus dan pengakuan Kristus atas diri-Nya; dan melalui kebangkitan itu tujuan dan maksud Kristus dijelaskan kepada rasul-rasul dan murid-murid-Nya. Dalam Matius 12:38-42 dan Yohanes 2:13-22 Tuhan Yesus mengalaskan kuasa-Nya dan kebenaran pelajaran-Nya atas kebangkitan-Nya.

3) Kebangkitan Yesus Kristus adalah batu penjuru iman kristiani. Tanpa itu, kita tak memiliki pengharapan di hidup ini, juga mengenai hidup yang akan datang. Itulah alasan betapa pentingnya mengenali bahwa kepercayaan kita pada kebangkitan Kristus tidak berdasar pada perasaan agamawi atau rumor yang tak berdasar. Kepercayaan kita berdasar pada fakta sejarah dengan bukti kuat yang mendukung. Sebagai fakta sejarah, Kebangkitan Kristus mendorong manusia untuk percaya kepada-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat. Ini bukan sekedar pembicaraan mengenai pengaruh: karakter, contoh dan pengajaran-Nya. Ini mengenai tanggapan manusia terhadap-Nya. Siapa yang percaya kepada kebangkitan-Nya, kemudian mempercayai ketuhanan-Nya, kemudian percaya akan karya penebusan-Nya, kemudian percaya kepada-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat, akan memperoleh penebusan dosa dan diselamatkan. Siapa yang menyangkal kebangkitan-Nya, secara langsung menyangkal ketuhanan-Nya dan menolak karya penebusan-Nya, tidak diselamatkan.

4) Kebangkitan Kristus merupakan alasan bagi persekutuan rohani yang baru.
Tuhan Yesus yang telah dibangkitkan dan dipermuliakan merupakan alasan bagi persekutuan rohani yang baru. Tuhan Yesus adalah Anak Sulung yang lebih utama dari segala yang diciptakan, dan yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati (Kolose 1:15,18,19). Dalam Mazmur 2:7 dan Kisah 13:33 Tuhan Allah bersabda, "Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini". Pada hari apakah Kristus diperanakkan oleh Allah? Tentu pada hari kebangkitan-Nya. Yesus Kristus telah menjadi Anak Sulung di antara banyak saudara (Roma 8:29). Oleh sebab itu kita yang telah percaya pada Dia dan telah dilahirkan kembali, dan beserta dengan Dia, telah menjadi suatu kaum yang baru, yaitu kita yang diangkat anak oleh karena Yesus Kristus (Efesus 1:5). Kaum yang baru itu mendapatkan persekutuan rohani yang baru juga (Efesus 4:24; Kolose 3:9,10). Persekutuan baru itu ada di dalam Jemaat Kristus, yaitu tubuh-Nya.

5) Konsekuensi Pertemuan dengan Yesus yang Bangkit. Pertemuan dengan Yesus yang bangkit melenyapkan ketakutan dan memberi sukacita. Para murid yang berkumpul di ruangan terkunci karena takut akan orang-orang Yahudi (ay. 19) mengalami sukacita ketika Yesus hadir di tengah-tengah me­reka dan mereka melihat Tuhan (ay. 20). Secara implisit, perubahan serupa dialami juga oleh Maria Magdalena yang menangis karena mayat Tuhannya telah diambil orang (ay. 13), tetapi pewahyuan Yesus yang bangkit telah memberinya sukacita, sebagaimana terungkap dalam reaksinya mau memegang kaki Yesus (ay. 17). Pertemuan dengan Yesus yang bangkit memberi damai sejahtera. Damai sejahtera itu tidak seperti yang diberikan oleh dunia, tetapi damai sejahtera yang melenyapkan kegelisahan dan kegentaran hati (Yoh 14:27), yang menghilangkan ketakutan (ay. 19), dan yang memberi sukacita (ay. 20). Pertemuan dengan Yesus yang bangkit memberi Roh Kudus (ay. 22). Yesus yang bangkit menghembusi para murid Roh Kudus yang memberi kehidupan baru, sebagaimana Allah menghembuskan napas hidup kepada manusia ciptaan-Nya (Kej 2:7). Yang dimaksudkan-Nya ialah Roh yang akan diterima mereka yang percaya kepada-Nya; sebab Roh itu belum datang karena Yesus belum dimuliakan" (Yoh 7:38-39). Pada saat kematian-Nya, Yesus menyerahkan nyawa-Nya (Yoh 19:30) dan air dan darah keluar dari lambung-Nya (Yoh 19:34), tetapi pada waktu kebangkitan-Nya, Yesus memberikan Roh Kudus kepada para murid-Nya (Yoh 20:22). Berkat penghembusan Ron itu damai sejahtera dan sukacita tinggal tetap bersama para murid. Berkat penghembusan Ron itu juga para murid ambil bagian dalam kuasa menyatakan karya Allah bagi banyak orang.

6) Pertemuan dengan Yesus yang bangkit mendatangkan tugas perutusan. Maria Magdalena setelah mengenal dan mengakui Yesus sebagai Guru (ay. 16) dan Tuhan (ay. 18) mendapat tugas perutusan untuk menyampaikan berita kepada para murid: "Pergilah kepada saudara-saudaraKu dan katakanlah kepada mereka bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu" (ay. 17). Padawaktu penampakan di Cenaculum pun Yesus mengutus para murid: "Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu" (ay. 21). Pengutusan itu juga bersangkutan dengan pengampunan dosa (ay. 23) sehingga para murid menerima Roh Kudus (ay. 22). Perubahan dari rasa takut menjadi damai dan sukacita karena Yesus yang bangkit berkat pengampunan dosa itulah yang harus diberitakan kepada orang lain. Dengan demikian, kebangkitan Yesus berlaku bagi semua orang, para murid dan orang-orang percaya sebagai sumber damai sejahtera, sukacita, dan penghiburan.

IV. APLIKASI
Di tengah bianglala tahun 2010, HKI secara umum menetapkan tahun ini menjadi tahun MARTURIA (kesaksian) dalam pelayanan gerejawinya. Thema tahun Marturia ini diambil dari Amanah Agung Yesus Kristus ”Pergilah jadikanlah semua bangsa muridKu dan ajarlah mereka (Matius 28: 19-20). Thema ini kemudian diterjemahkan lebih spesifikasi ”Masing-masing warga penuh HKI mengajak satu orang lagi mengikut Yesus dan mengajar mereka”.
Berhubungan dengan tekad pelayanan di atas, maka dibutuhkan daya untuk menunjang momentum ledakan dari pelaksanaannya bagi setiap warga HKI. Di sinilah KEBANGKITAN KRISTUS YESUS sudah seharusnya menjadi daya ledakan bagi implementasi motivasi pelayanan yang terfokus kepada kesaksian (penginjilan) baik ke dalam dan keluar lingkup HKI. Sama dengan para murid pada masa gereja mula-mula, kebangkitan Yesus menjadi batu penjuru bagi iman kristiani; tanpa itu, setiap orang percaya tentunya tidak memiliki pengharapan dalam hidupnya. Siapa yang percaya kepada kebangkitanNya, kemudian mempercayai ketuhananNya, kemudian percaya akan karya penebusanNya, kemudian percaya kepadaNya sebagai Tuhan dan Juruselamat, akan memperoleh penebusan dosa dan diselamatkan, dan sebaliknya. Sebagai Anak Sulung, di dalam Kristus kita diarahkan kepada persekutuan rohani yang baru dengan sebuah tanggungjawab. Pertemuan dengan Yesus yang bangkit melenyapkan ketakutan dan memberi sukacita; untuk kemudian disiapkan dalam suatu perutusan memberitakan karya besarNya atas semua bangsa.
Demikianlah setiap warga HKI menghidupi kebangkitan Yesus sebagai momentum untuk menjadi saksi-saksi Kristus dalam setiap dimensi sosial masyarakat tanpa ada rasa ketakutan dan ragu; sebab Yesus telah menetapkan kita sebagai sumber damai, sukacita dan penghiburan bagi orang banyak.
READ MORE - KEBANGKITAN TUHAN YESUS

ketertarikan para sobat