_BERSUKACITALAH & MENURUTSERTAKAN DIRI UNTUK MENGHADIRKAN SERTA MEMPERTAHANKANNYA_

Wednesday, February 8, 2012

DATANG KEPADA TUHAN? (Yesaya 40: 21-31)

0 comments


Menelisik Kitab Yesaya kita menemukan beberapa hal yang penting yakni:
  1. Proto Yesaya. Dalam pasal 1-36 tercantum nubuat-nubuat yang pada umumnya (pasal 13-14; 24-27; 33-35 yang mungkin ditambahkan kemudian) diucapkan oleh Yesaya bin Amos, seorang dari kalangan atas, yang hidup di Yerusalem antara 740 dan 700 selagi Assur berpengaruh di Palestina. Nabi Yesaya menentang kebijakan luar negeri raja Yehuda yang bersekutu dengan Mesir menghadapi Assur, dan menuntut agar Umat Allah (bangsa Israel) mengharapkan kekuatan daripada Allah saja. Kalau tidak maka Yehuda akan musnah (bd. Yesaya 8:5ff)
  2. Deutro Yesaya. Pada pasal 40-55 firman Allah dialamatkan kepada orang-orang buangan di Babel beberapa tahun sebelum kerajaan Babel jatuh ke tangan Raja Parsi (Persia), Koresy (538 sM). Raja Koresy disebut sebagai “orang yang diurapi” karena Allah memakainya untuk melepaskan bangsa Israel kembali ke negeri asalnya.
  3. Teutro Yesaya. Nah, pada pasal 56-66 pada umunya membawa firman Allah kepada umat yang telah pulang dari pembuangan dan yang hidup di bawah kuasa Parsi di Tanah Perjanjian itu.
Tentang Pasal 40-55 dialamatkan kepada orang-orang buangan di Babel:
  1. Siapakah orang-orang buangan itu? Menurut suatu catatan pada penutup kitab Yeremia (52:28-30), ada 4.600 orang Yehuda dibawa ke Babel dalam tiga gelombang antara tahun 598 dan 582 sM. Ada kemungkinan ini adalah jumlah kaum prianya saja, sehingga jumlah jiwa keseluruhan dapat mencapai 15 sampai 20 ribu orang. Mengingat bahwa anggota keluarga ikut dipindahkan. Orang-orang buangan ini terdiri dari semua golongan masyarakat yang ada di Israel. Di Babel mereka diizinkan untuk mendirikan rumah dan bertani/beternak dab berdagang. Hanya untuk kehidupan agama dan budaya dibatasi oleh pemerintahan Babel. Dan pada waktu-waktu tertentu mereka harus melaksanakan kerja rodi untuk pembangunan kota Babel. Pasti, sama dengan semua orang yang pernah mengalami penjajahan dan dibuang, mereka mengingat-ingat akan kebesaran bangsanya pada masa silam dan menginginkan kuasa Tuhan untuk membebaskan mereka.
  2. Bagaimana ceritanya hingga orang-orang Yehuda terbuang? Sejak abad ke delapan, kerajaan-kerajaan kecil di daerah Palestina dan Syria terjepit antara negara besar yang berganti-ganti meluaskan daerah pengaruh dan kekuasaannya. Demikianlah Kerajaan Selatan (Yehuda) mengalami pembuangan antara tahun 598 dan 582 sM oleh negara Babel yang memperluas kerajaannya yang berpusat di tepi sungai tigris dan efrat (Irak sekarang). Sedangkan Kerajaan Utara (Israel) jatuh ke tangan Assur dan mengalami pembuangan pada tahun 722 dan menandai berakhirnya cerita tentang sejarah Israel (Harry Wendt, Jalan Ke Tahta, Crossways International, 2005).
  3. Tahun 539 SM, Koresy Raja Persia menaklukkan Babel, dan memasukkan Babel menjadi bagian dari kerajaanya. Pada tahun-tahun Koresy berpengaruh inilah Yesaya (kedua) membawa firman Allah kepada orang-orang buangan di Babel antara 546 dan 538 sM. Pada saat itu orang Yahudi sudah menderita selama kurang lebih 40 tahun lamanya di bawah kuasa Babel.
Ada tiga janji atau jaminan yang Allah nyatakan bagi bangsa itu sebagai tanda berkatNya yang akan terus tercurah atas kehidupan mereka turun temurun, namun telah hilang sekaligus dari kehidupan mereka, yakni: Bangsa Israel sebagai bangsa pilihan dengan Bait Suci dimana Allah suka tinggal telah musnah; Allah sebagai tempat perlindungan abadi (bd. Yesaya 37:33-37; Mika 3:11 dan Yer. 7:4,10) telah sirna; dan Tahta Kerajaan runtuh, meskipun Allah pernah berjanji bahwa Ia akan berdiri untuk selamanya (bd. I Samuel 7: 12-16; Mzm. 89: 30-38 dan I Tawarikh 22:10). Oleh para nabi yang kemudian muncul pada abad ke tujuh dan keenam, malapetaka ini dilihat sebagai hukuman yang Tuhan sendiri jatuhkan atas umat yang telah melanggar kehendakNya. Penilaian ini kemudian dibenarkan juga oleh orang-orang Yahudi di Palestina (bd. Kitab Nudub = Pembukaan kitab Yeremia 1: 13-15; 4:8, 13, 16 dan cerita di dalam kitab Yehezkiel).

Datang kepada Tuhan?
Yeremia dengan jelas menggambarkan kondisi bangsa itu, “mereka kehilangan semangat” (bd. Yeremia 4:9). Benarkah Allah kemudian berdiam atas kehancuran bangsa pilIhanNya itu dan membuat mereka menjadi tidak berdaya? Tentu jawabannya TIDAK. Dalam Yesaya 40: 21-31 inilah, Yesaya membawa firman Tuhan yang memberikan pemulihan dan untuk membangkitkan bangsa Israel pada masanya dan bagi jemaat Tuhan hari ini dari ketidak berdayaan, kehancuran, penderitaan yang didera, dan semangat hidup yang sudah pupus.

Setiap orang punya alasan saat hendak atau sedang melakukan sesuatu. Ada banyak motif yang menyebabkan orang berlaku. Bahkan kuantitas dan kualitas pekerjaan seseorang akan turut ditentukan oleh motivasinya. Kita bisa begitu rajin dan giat bekerja, namun ada kalanya kita kehilangan semangat untuk melakukannya. Bisa saja penyebab di antaranya kehilangan semangat, vitalitas, tujuan, disorientasi, dukungan dari orang-orang di lingkungan kita bekerja, dll. Inilah yang pernah dialami bangsa Israel. Mereka mengalami keraguan, kehilangan semangat, motivasi, dan kehilangan kasih Tuhan atas kehidupan mereka. Bahkan mereka menganggap mereka sudah dilupakan Tuhan (Yesaya 40:27). Hal ini semakin diperparah dengan sulitnya kehidupan semasa pembuangan dan hancurnya bangsa besar yang mereka selalu agung-agungkan.

Ayat 21, “tidakkah kamu tahu, dengar, dan mengerti siapakah Allah itu?” Begitulah Yesaya kemudian datang secara tegas dan keras bertanya dengan gaya retorisnya mempertanyakan kembali kepada bangsa Israel tentang pengenalan mereka akan Tuhan mereka. Yesaya seolah kecewa dengan kondisi apatis, tanpa daya, kehilangan semangat dan merosotnya keteguhan kehidupan bangsa itu (Itu juga yang dipertanyaan bagi kehidupan jemaat sekarang di tengah pengalaman yang sama dengan bangsa Israel pada zamannya).

Mengalami kondisi sedemikian tentulah sangat sulit dan bisa berbahaya. Mari sekilas melihat apa yang terjadi dengan bangsa ini. Tidak jauh berbeda sepertinya, bahwa sebahagian besar masyarakat yang berjumlah lebih kurang 200 juta jiwa ini sudah kehilangan semangat hidup yakni hidup positif dan membangun. Tidak hanya dari kalangan kecil, bahkan sepertinya mayoritas dilakoni oleh kalangan menengah ke atas. Bangsa ini sudah kehilangan semangat hidup, disorientasi hidup (karakter), dan mengalami kekaburan makna berbangsa dan bernegara yang Pancasilais dan berdasarkan UUD ’45. Lihat saja dari indikasi-indikasi kecil yang kerap dipertontonkan bagi kita, misalnya semakin menurunnya kepercayaan masyarakat atas para elit pemimpin mereka baik di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan bahkan di lingkungan keagamaan, Ogahnya atau malasnya masyarakat untuk berperan aktif dalam membangun perpolitikan bangsa yang jujur, adil dan berwibawa (pemilu yang tidak menghadirkan kandater (para kandidat pemimpin-red) dengan kendaraan wibawa, kapabilitas, kejujuran, dapat dipercaya dan jiwa melayani, melainkan berkendarakan besar-besaran uang, tentu ini juga melibatkan masyarakat), kriminalitas yang terus menunjukkan angka kenaikan mulai dari yang dilakukan orang dewasa hingga anak-anak remaja, dan semakin langkanya hidup yang berjiwa toleran dan saling menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Ini semua tentu sudah lebih dari cukup menunjukkan bahwa bangsa ini juga sudah kehilangan semangat hidupnya. Mau tidak mau dengan kondisi yang tidak berubah, bangsa ini akan mengalami collapse dan bermuara pada kepunahan suatu bangsa. Bangsa ini membutuhkan pemulihan dari Tuhan lewat kesaksian hidup orang-orang percaya.

Mari perhatikan jika ini juga terjadi dalam kehidupan pribadi kita? Sama seperti yang dialami Ayub namun diakhir cerita ia kemudian mampu memenangkan “pertarungan” itu. Ayub 17: 1, “semangatku patah, umurku habis, bagiku hanya tersedia kuburan...”. Ini yang kerap terjadi dewasa ini dalam kehidupan orang-orang percaya. Bahwa ditemukan semakin melemahnya semangat juang, vitalitas iman, tujuan dan arah hidup, bahkan terjadi kekaburan prinsip hidup kekristenan. Semua dampak dari tawar-menawar kepentingan “perut” yang ingin berkelebihan, bukan berkecukupan (bd. Ibrani 13:5a, “cukupkanlah dirimu dengan apa yang engkau miliki...”). Eksesnya tidak hanya di ranah masyarakat dan berbangsa, melainkan juga merembes pada kehidupan persekutuan di dalam gereja. Lihat saja persekutuan di gereja yang makin hari bukan makin menjadi berkat melainkan tak jauh beda kondisinya dengan kehidupan bangsa ini. Di dalamnya di temukan kuantitas anggota jemaat yang semakin berkurang memberikan diri untuk pengembangan gereja, semakin menurunnya kepercayaan atas kapasitas pelayanan di gereja, semangat persekutuan semakin tereduksi oleh kepentingan dan kepongahan individu-individu yang haus nama dan prestise, mau tak mau gereja akhirnya disibukkan dengan bolak-balik perbaiki turun mesin,  dan tak jalan-jalan (maju-red). Bisa saja akhirnya gerejapun ikut-ikutan collapse dan terseok-seok menuju kepunahannya (perhatikan pengantar di atas terhadap sejarah punahnya bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah).

Pada dasarnya Allah menghendaki bahwa kehidupan kekristenan sebagai kehidupan yang tidak sekedar hidup. Melainkan penuh dengan gairah dan semangat hidup yang baik dan benar di hadapan Allah. Tentu semangat itu bersumber dari adanya Roh Kudus yang menaungi kehidupan iman kekristenan kita. Inilah causa yang menggerakkan orang-orang kristen untuk berbuat baik dan benar bahkan berkarya besar dalam hidupnya untuk mengisi kehidupan di sekitarnya.

Lewat firman Tuhan Yesaya 40:1-13, kita diingatkan bahwa:
  1. Segala kendala dan tantangan hidup yang kita temukan di setiap pertapakan langkah hidup yang terkadang memaksa kita untuk ekstra berjuang di dalam iman kepada Kristus. Dan bagi yang lemah daya juangnya bisa terseret dan tenggelam di “manisnya” kehidupan dunia. Ibaratnya di tengah pola hidup pragmatis dewasa ini, makan makanan dengan atau tanpa peksin (penyedap rasa) yang gencar diiklankan agar ibu-ibu memasak menggunakan peksin. Memang rasa makanan akan jauh kurang nikmat jika tanpa peksin, tentu butuh “perjuangan” alat perasa tubuh kita agar kemudian lambat laun menjadi nikmat. Akan tetapi, nilai perjuangan itu akan dibayar dengan perolehan kesehatan tubuh yang baik dan berdampak pada umur panjang dan kesukaan dalam menjalani hidup. Sebaliknya jika makan makanan dengan peksin, tentu akan menambah nikmat cita rasa makanan itu, dan tak perlu perjuangan si alat perasa kita, namun hasilnya kesehatan yang terseok-seok dan bermuara pada penderitaan oleh sakit penyakit dan umur pendek. Dalam perjuangan hidup di dalam iman kristen juga tidak jauh bedanya, dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan untuk tetap setia dan berlaku benar dan baik, di tengah tawar-menawar kepentingan “perut” yang disediakan dunia ini.
  2. Kita akan tampak dan dijadikan lemah oleh dunia ini, namun seperti yang dikatakan Paulus bahwa sebab jika aku lemah aku akan menjadi kuat di dalam kasih Allah (2 Korintus 12:9). Lihat juga pengalaman Yesus Kristus di Taman Getsemani (Luk. 22: 39:46). Yesus begitu lemah dan tak kuat untuk menahan tanggungjawab pengutusannya dari BapaNya, namun Ia setia, dan kemudian memperoleh kekuatan di dalam kasih BapaNya.
  3. Janji Allah bahwa Ia tidak akan pernah meninggalkan dan membiarkan kita sendiri (Ibr. 13:5b). Sebab Ia tidak akan pernah menjadi lemah dan lesu untuk menolong kita di atas kelemahan kita. Yesaya 40:29, “Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambahkan semangat kepada yang tidak berdaya”.
  4. Terakhir adalah, ingatlah jika beban hidup melanda, jika putus asa dan kesedian menerpa, datang kepada Tuhan dan nantikanlah kebaikannNya, dengan demikianlah kita akan mendapat kekuatan yang baru (Yesaya 40:31). Sebagaimana lirik dari lagu pujian Kidung Jemaat No. 439: 1-4, begitulah janji Tuhan bagi setiap orang percaya yang datang kepadaNya di dalam segala kondisi dan perjuangan hidup. Datang Kepada Tuhan Yang Memberi Kekuatan dan Semangat Hidup sebab perubahan bangsa ini terletak dari nilai perjuangan iman orang-orang percaya dan semangat hidup yang dimilikinya yang bersumber dari kasih Kristus akan menguatkan anak-anak Tuhan untuk hadir menjadi pribadi dan karakter yang mengubahkan kehidupan bangsa ini. Amen.
READ MORE - DATANG KEPADA TUHAN? (Yesaya 40: 21-31)

KENAL KAH TUHAN PADA KITA? (1 Korintus 8: 1 – 13)

0 comments

“ALLAH MENGENAL & MENGAKUI KITA 
DI DALAM NYATANYA KASIH KITA KEPADA KEHIDUPAN”

Hari ini kita menemukan banyaknya prilaku anggota masyarakat secara umum yang sepertinya hidup dengan motto: hidup semau gue. Tidak jarang kita membaca atau menyaksikan siaran televisi yang mempertontonkan hal itu. Pejabat teras negara yang korup seenak perutnya, warga yang penuh arogan menghakimi saudaranya yang berbeda agama dengannya, hukum yang meruncing ke bawah (masyarakat miskin) namun tumpul bagi konglongmerat dan penguasa, politik huru-hara untuk mengalihkan perhatian rakyat, sesama warga dan pengurus gereja yang sulit berdamai dan hidup dalam persekutuan indah untuk melayani Tuhan dengan benar dan baik, dan ragamnya prilaku yang mencerminkan gaya hidup di atas. Pertanyaannya, bolehkah orang-orang kristen mengikuti gaya hidup yang demikian?

Seputaran tahun 44 SM silam di Korintus[1], sebagai kota pelabuhan yang berkembang dengan budaya dan pengetahuan di atas rata-rata daerah-daerah di sekitarnya juga mengalami gaya hidup yang sama. Dimana jemaat Tuhan hadir di tengah heterogennya budaya dan agama, menemukan diri mereka harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya sederhana namun dapat menyesatkan dan merusak kehidupan rohani mereka.

Beberapa di antara pertanyaan-pertanyaan itu berkaitan dengan makanan dan gaya hidup. Yakni bolehkah orang kristen makan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala? Sebab ada kebiasaan makanan (daging) yang telah diberikan kepada berhala dijual kembali di warung-warung di sekitar kota itu. Dan, bolehkah orang kristen ikut dalam pesta dan makan bersama di dalam kuil berhala? Sebagaimana kebiasaan orang-orang korintus di waktu-waktu tertentu untuk berkumpul dan pesta bersama di dalam kuil-kuil berhala.

Demikianlah, Paulus menjawab dan menasehati orang-orang kristen di korintus lewat suratnya yang pertama tentang bagaimana semestinya orang-orang kristen berlaku atau menanggapinya. Pemikirannya dapat ditemukan secara luas dalam 1 Kor. 8: 1 – 10:33, Paulus menjawab perdebatan yang dimunculkan orang-orang korintus tentang daging “makanan” dan kegiatan-kegiatan lainnya yang mempertaruhkan antara kebebasan seseorang dan “pengetahuan” dan sikap hidup menahan diri (baca_toleransi) di dalam kasih Kristus.

Paulus mengakui bahwa orang-orang koristus adalah masyarakat yang berpengetahuan dan maju. Oleh karena itulah Paulus menjawab mereka dengan beranjak dari asas-asas umum yang mengena dengan kehidupan orang kristen yakni bahwa orang kristen adalah pribadi yang bebas, tetapi oleh pertimbangan-pertimbangan kasih Kristus yang dinyatakan dalam dirinya penggunaan kebebasannya menjadi dibatasi.[2]

Pada ayat 1:
Berangkat dari prinsip KASIH yang mesti dipraktekkan orang kristen di setiap zaman Paulus menyatakan bahwa orang percaya di dalam pengetahuan yang dimilikinya haruslah bertindak dengan kasih. Di dalam bertindak dengan kasih maka orang percaya akan dapat menahan dirinya atau menyangkal dirinya yang merupakan lawan dari sikap mempertahankan hak dan kebebasan pribadi di atas kebaikan untuk semua. Dengan menahan diri maka orang percaya dengan sendirinya akan mampu membatasi dirinya yakni membatasi kebebasannya sebagai pribadi yang bebas (freewill). Dengan demikian ia dapat menyingkirkan atau tidak mengikutsertakan dirinya terlibat pada segala kegiatan yang dapat menyakiti pribadi sesamanya. Penggunaan pengetahuan tanpa kasih akan bermuara pada kesombongan dan penghancuran sendi-sendi kemanusiaan, sebaliknya dengan kasih maka pengetahuan akan menjadi senjata pertama untuk membangun peradaban yang baik dan indah.

Pada ayat 2-3:
Setiap orang yang memaksakan haknya di dalam pengetahuan yang dimilikinya pada akhirnya akan melemahkan orang-orang di sekitarnya. Dan, sesungguhnya menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan. Tidak ada pengetahuan yang sempurna, namun di dalam kasih Allah ia disempurnakan untuk kebaikan kehidupan manusia. Jika kasih menjadi pertimbangan atas pelaksanaan pengetahuan maka kita akan menolak tindakan yang merugikan dan melemahkan orang lain. Demikianlah Allah mengenal dan mengakui kita di dalam kasih yang kita nyatakan terhadap kehidupan di sekitar kita. Benar kita memiliki pengetahuan (ei denai to = mengentahui sesuatu). Tetapi pengetahuan yang tidak dilandaskan kasih (agape) akan mudah menimbulkan kecongkaan, berpikir licik, jahat, dan destruktif. Sesungguhnya pengetahuan yang dilandaskan kasih akan mendorong setiap orang untuk mengutamakan, mengedepankan dan mengindahkan kebaikan demi orang lain. Dengan begitu Allah akan mengakui kita sebagai milikNya (houtos egnostai hup eutoo).

Pada ayat 4-6:
Di dunia benar banyak berhala[3] yang mengatasnamakan “allah” namun sesungguhnya mereka tidak berada dalam kebenaran Allah. Allah yang benar hanya ditemukan di dalam pengenalan yang benar dan baik di dalam Kristus. Si Iblis akan menuntun orang-orang yang lemah imannya kepada Kristus untuk terikat di dalam banyak berhala dan meninggalkan kebenaran di dalam Allah. Perhatikan bahwa iblispun percaya kepada Allah yang Esa (Yak. 2:19) namun mereka tidak berlaku benar di dalam Allah. Jika orang-orang percaya hanya percaya kepada Allah, itu tidaklah cukup. Hidup dan berjuang di dalam kebenaran Allah itulah yang diharapkan dari kita dan yang membedakan kita dari iblis. Dengan begitu di tangah banyaknya “allah dan berhala” di dunia ini, kita hanya percaya pada satu Allah di dalam Kristus Yesus.

Pada ayat 7-8:
Bukan makan atau tidak makan makanan yang dipersembahkan kepada berhala atau baik tidaknya hidup kita yang menetukan keberadaan kita di hadapan Allah. Namun, rasa bersalah dan telah merasa ternodalah yang membuat kita akhirnya semakin menjauh dari Allah dan kebenarannya ditambah oleh bujuk rayu si iblis dalam hidup kita. Perhatikan laku hidup Adam dan Hawa setelah mereka tahu kesalahan mereka dan telah menodai perjanjian mereka dengan Allah (Kej. 3: 10ff).

Pada ayat 9-12:
Berhati-hatilah terhadap pengetahuan yang kita miliki. Jangan biarkan pengetahuan di dalam kebebasan yang Allah berikan di dalam Kristus menjadi batu sandungan dan melemahkan orang-orang percaya lainnya. Sesungguhnya dengan begitu kita sudah jatuh ke dalam kesalahan ganda dalam hidup kita yakni kepada sesama juga kepada Kristus. Bagaimana bisa? Karena saudara (adelphos) kita yang masih membutuhkan tuntunan dan olehnya Kristus telah mati akhirnya menjadi binasa karena mengikuti sikap hidup kita yang semestinya dapat menjadi teladan baik bagi mereka. Darah Kristus yang tertumpah menjadi sia-sia oleh pengetahuan kita yang tak dapat menjadi tuntunan dan teladan bagi saudara-saudara kita.

Pada ayat 13:
Paulus merangkumkan semua jawabannya atas perdebatan orang-orang korintus terhadap orang-orang percaya di korintus bahwa segala sesuatu baik makanan atau kegiatan apapun itu yang selagi itu membuat saudara kita masuk ke dalam kebinasaan oleh karena dosa (menjadi batu sandungan), Paulus dengan tegas katakan “aku tidak akan melakukannya atau memakannya”. Inilah sesungguhnya nilai toleransi di dalam indahnya kasih yang telah kita rasakan dari Kristus Tuhan kita.

Maka, bolehkah orang kristen ikut-ikutan dengan gaya hidup semau gue di tengah zaman yang semakin ngawur? Sebagaimana Paulus lewat firman Tuhan mengajari dan mengingatkan kita, tentu jawabannya “aku tidak akan turut melakukannya”. Kasih Kristus mengajari kita hidup untuk menahan diri (toleransi) dengan mengindahkan kebaikan demi orang lain di dalam pengetahuan yang kita miliki. Sesungguhnya demikianlah kita menyatakan kasih kepada Allah yang telah mau mengenal dan mengakui kita sebagai milikNya. Terpujilah Tuhan!


[1] Kota Korintus yang dikirimin surat oleh Paulus bukanlah kota Korintus Kuno melainkan kota yang telah dibangun kembali oleh Julius Caesar pada tahun 44 SM setelah dihancurkan Romawi pada tahun 146 SM, yang kemudian dikenal sebagai pusat provinsi Romawi yakni Akhaya dibawah kepemimpinan Gubernur Galio. Kota ini dikenal dengan perkembangan pendidikan, budaya dan agama-agama hellenis (penyembahan kepada dewa-dewi). Tidak hanya itu, dampak negatif dari penyembahan dewi asmara (akrokorintus) dan dewa-dewa Romawi lainnya, kota ini di zaman Aristofanes kemudian dikenal sebagai kota abmoral terlebih dalam seksual yang juga banyak melibatkan orang-orang kristen di korintus.
[2] Oleh Marthin Luther kebebasan orang kristen disebutkan sebagai berikut: bahwa orang kristen bebas dari segala ikatan dan bukan hamba siapapun. Namun, orang kristen orang yang terikat. Artinya, orang kristen bebas dari segala sesuatu dan tidak menjadi hamba siapapun sebab di dalam Kristus orang percaya telah dibebaskan dan beroleh kebenaran. Tetapi, karena tubuhnya masih penuh hawa nafsu, maka ia harus dikekang dengan perbuatan yang baik dan benar di dalam aturan kasih Kristus. Namun, perbuatannya itu tidak mendatangkan/mengandung pahala atau amal atau agar memperoleh keselamatan. Sebab di dalam Kristus orang percaya telah memperoleh keselamatan. Itulah yang memampukannya berlaku benar dan baik di dalam kasih Kristus.
[3] Berhala pada konteks kekinian dapat dikonotasikan kepada haus kuasa, materialistis, perjinahan, kesombongan, ketamakan, dendam, iri, dengki, permusuhan dan sikap hidup destruktif
READ MORE - KENAL KAH TUHAN PADA KITA? (1 Korintus 8: 1 – 13)

Monday, August 1, 2011

Yohanes 6: 30-35: Kenyang Menerima Roti Hidup Bukan Berarti Tidak Ada Penderitaan

0 comments
Peristiwa itu...(ayat 29-35)
Kehendak Allah agar manusia datang dan percaya kepada Anak Manusia yang Dia utus supaya manusia memperoleh keselamatan. Namun, orang banyak itu, (mewakili banyak manusia yang mengalami pengalaman eksistensi yang sama sebagai manusia di tengah suatu bangsa lintas waktu, hingga saat ini) mempertanyakan kepada Anak Manusia itu, “Apa yang dapat Dia perbuat kepada mereka agar percaya kepadaNya?”.  Tidak hanya itu saja, merekapun memperbandingkan kehidupan para nenek moyang mereka ketika bersama Musa. Nenek Moyang mereka memperoleh makan Manna (Keluaran 16: 1-36) yang diyakini mereka turun dari Sorga oleh karena Musa. Lalu, apa lebihnya dengan Anak Manusia itu sehingga mereka harus percaya kepadaNya? Begitulah, akhirnya Anak Manusia memberikan penegasian dan jawab dari pemberbandingan dan pertanyaan orang banyak itu, bahwa bukan Musa yang memberi para nenek moyang mereka makan dengan roti dari Sorga, melainkan BapaNya yang telah mengutus Anak Manusia itu sendiri. Dan sekarang lewat Anak Manusia itu juga akan memberikan Roti Hidup bagi setiap orang yang datang dan percaya kepadaNya. Nah, jika begitu berikanlah kami Roti itu selamanya (biar kami percaya kepadaMu, Anak Manusia, bagaimana?), kata orang banyak kepada Anak Manusia itu. “Akulah Roti Hidup itu. Siapa yang datang dan percaya kepadaKu tidak akan lapar dan haus lagi”, aku Anak Manusia yang tak lain adalah Yesus Kristus (yang oleh orang banyak itu kenal sehari-hariNya adalah Yesus anak Yusuf si Tukang Kayu, orang miskin dan juga tidak memiliki akses kepada penguasa. Pokoknya samalah seperti mereka, orang banyak itu).

Itulah dialog yang terjadi di Kapernaum. Antara Yesus dan banyak orang yang menjadi “musafir” dengan mengarungi perairan Yam Kinnet, dari Galilea menuju Kapernaum untuk mencari dan akhirnya menemukan Yesus untuk mengalami kembali banyak karya mujizat Yesus yang membuat mereka kagum dan bersenang hati. Selain pengalaman baru bagi penglihatan mereka yang selama ini hanya menikmati pertunjukkan penderitaan oleh kehadiran penjajahan Kaisar Romawi di tanah pertiwi mereka, apa yang dibuat Yesus juga membuat mereka dapat merasakan kekeyangan dari rasa lapar akan makanan. Yang selama ini hasil tanah dan air mereka tidak dapat mereka nikmati dengan merata sama seperti saudara-saudara sebangsa mereka yang hidup mewah dan berkelebihan yang dilindungi oleh kekuasaan para penjajah karena teralienasi oleh keterasingan sosial dan identitas sebangsa dan setanah air, sedarah dan bersaudara.

Awalnya...
Tentang Galilea (tempat yang mengawali semua peristiwa dialog ini, Yohanes 6:1-15) merupakan daerah ekspor perikanan yang termasyur di seluruh daerah kekaisaran Romawi. Terletak di pinggiran Danau Galilea. Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru Danau Galilea dikenal dengan banyak nama. Bilangan 34:11 disebut dengan Kineret (wilayah suku Naftali, Zebulon, dan Isakhar; suku yang terkecil dan hampir dianggap tidak ada); Yosua 12:3 dikenal dengan Kinerot, dan dalam Lukas 5:1 dan Yohanes 21:1 disapa dengan Genesaret dan Tiberias. Dalam bahasa Ibrani familiar dikenal sebagai Yam Kinneret. Bermuaranya Sungai Yordan dari sebelah Utara membedakan Danau Galilea yang dikenal juga dengan Laut Galilea dengan panjang 21 km dan lebar 11 km yang berada 211 m di bawah permukaan laut dengan Laut Mati. Danau ini mengandung air tawar sehingga memungkinkan untuk usaha perikanan di sepanjang pesisirnya. Meskipun begitu, menurut catatan Markus di beberapa wilayahnya ada juga perbukitan, di bagian Timur daratannya berlereng-lereng dan berjurang (Markus 5:13). Hanya saja, soal kesejahteraan masyarakatnya tidak merata. Masyarakat kemudian dinilai atas kuat dan lemah; kaya dan miskin; dan minoritas dan mayoritas. Begitulah akhirnya, ketika Yesus mengawali karya keselamatanNya di Galilea, Dia berjumpa dengan banyak orang-orang yang terasingkan dari kehidupan sosial masyarakat. Golongan masyarakat yang tidak memiliki hak kepemilikan atas hasil bumi pertiwinya sendiri banyak dijumpai oleh karena keterbatasan akses mereka dengan penguasa negeri (sepertinya hampir tidak jauh berbeda dengan yang dipertontonkan di negeri ibu pertiwi ini). Kayaknya juga, istilah The Survival of The Fittest (yang bertahan adalah yang kuat) menjadi motto penduduknya dengan sokongan para penjajah Romawi, hingga hari ini hampir sama dengan yang terjadi di bumi pertiwi bangsa tercinta, Indonesia dengan kaum elit politik, pengusaha, teknokrat dan elit-elit lainnya penguasa bangsa ini yang menjadi “penentu” bagi jutaan nasib rakyat yang tidak beruntung oleh segala keterbatasannya. Sadar tidaknya kita, dengan bercermin dari keadaan realitas bangsa ini sepertinya Tuhan sudah menjadi “pengangguran” di atas ciptaanNya sendiri, sama dengan jutaan penduduk negeri ini yang bau, miskin, pengangguran, tidak berpendidikan, sakit-sakitan di atas melimpahnya hasil bumi pertiwinya yang tidak dapat dinikmati dengan merata sebagai dampak dari kealpaan rasa kemanusiaan para elit penguasa negeri ini. Sebenarnya Tuhan bukan mati, melainkan nganggur (God is not Death, but God is Unemployed). Bagaimana Tuhan tidak nganggur, karena sudah langka manusia di negara ini yang tidak lagi mau taat dan setia dalam melakoni perannya sebagai patner Tuhan melestarikan, memperadabkan, dan mengisi dengan mengembangkan keindahan bumi ini dengan segala isinya.

Kesamaan konteks yang ada dalam teks uraian Yohanes ini dengan keberadaan bangsa kita hari ini, menghantarkan banyak orang itu (orang Galilea, yang juga mewakili gambaran orang-orang dari negeri ini) mencari Yesus bukan karena mereka percaya bahwa Yesus adalah Anak Manusia yang Allah utus itu lewat banyaknya karya Yesus yang sebelumnya mereka telah rasakan. Melainkan mereka bela-belain mencari Yesus hingga ke Kapernaum semata-mata dengan satu tujuan agar mereka tidak lapar lagi. Kebutuhan mereka terpenuhi. Pokoknya tidak lapar lagi (bdn. Yohanes 6:26). Setelah itu bolehlah untuk percaya kepada Yesus bahwa Dia adalah Anak Manusia yang di utus Allah. Bahkan untuk melakukan apa yang dideskripsikan Yesus dalam ayat 27-29 dengan senang hati akan dilaksanakan. Hingga tetes darah  terakhirpun jadilah, yang penting memperoleh manna yang sama dinikmati para nenek moyang mereka (bdn. ayat 30).

Kemudian...
Adalah tabiat manusia untuk terlebih dahulu memperhitungkan dan mencari keuntungan dari apa yang akan dikerjakannya. Apa dulu yang diterima baru ada ketaatan, kepatuhan, loyalitas, dan kebersaudaraan. Lihat saja pengalaman M. Nazzaruddin (yang akhir-akhir ini mengalahkan ketenaran Presiden SBY) dengan Anas Ubaningrum, dari saudara bahkan teman sejati menjadi musuh besar karena telah pecah kepentingan dan keberuntungan dalam “bagi-bagi” APBN (untuk APBN, masih katanya, belum terbukti demi hukum, atau memang tidak akan terbukti; ecek-eceknya biar semua aman)  untuk kepentingan masing-masing.

Demikianlah orang banyak itu datang kepada Yesus. Lewat dialog dengan Yesus diperlihatkan kepada kita sekarang bahwa mereka datang bukan karena percaya, melainkan karena keinginan pemenuhan kebutuhan mereka; nah setelah ada untung, kalau mau percaya ya silahkan saja. Untuk percaya harus dibayar dengan apa dulu yang mau diberikan Yesus, kira-kira begitulah tuntutan mereka. Percaya sama dengan bekerja harus ada syaratnya, untung atau rugi. Sangat disayangkan, bahwa mereka bekerja (mencari Yesus jauh-jauh) untuk makanan yang akan habis, bukan untuk makanan yang bertahan hingga kepada hidup yang kekal (ayat 27). Padahal Yesus mau mereka (dan kepada kita saat sekarang ini) adalah datang kepada Yesus  dan percaya Dialah Anak Manusia dan memperoleh keselamatan.

Hidup Beriman...
Sesungguhnya kehidupan beriman tidaklah demikian. Ada deal-deal (kesepakatan-untung rugi) baru percaya atau tidak. Kehidupan beriman kita adalah sepenuhnya buah dari pekerjaan Allah yang mau memberikan diriNya untuk ditemukan oleh manusia dengan segala keberdosaannya. Dan oleh kebersediaan kasihNya kita boleh percaya dan memperoleh keselamatan yang dibawa oleh Anak Manusia, Yesus Kristus. Semua itu adalah pekerjaan Allah di dalam anugerah yang diberikan kepada kita. Bukan karena syarat-syarat yang kita tawarkan kepada Allah, sehingga kita diselamatkan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Hidup dalam keselamatan di dalam Yesus Krisus itulah yang dengan anugerahNya menghantarkan kita pada berkehidupan yang tidak akan merasakan lapar dan haus lagi. Sebagaimana dinyatakan Yesus, bahwa Dialah Roti Hidup itu, siapa yang datang dan percaya tidak akan lapar dan haus lagi (ayat 35).

Tentang Roti Hidup dan Kita...
Menerima Yesus sebagai Roti dan Hidup berarti hidup dalam keselamatan. Hidup dalam keselamatan berarti hidup berkelimpahan alias tidak kelaparan. Apakah benar hanya dengan datang dan percaya kepada Yesus kita tidak akan kelaparan? Ya. Tetapi, bukan berarti manusia tidak membutuhkan lagi makanan, tetap butuh. Hanya saja, dengan datang dan percaya kepada Yesus, manusia tidak lagi dikuasai oleh makanan. Hidupnya bukan lagi semata-mata untuk mencari makanan dan menjadi kenyang (bdn. ayat 26b). Hidup tidak lagi sebatas kenyang, melainkan hidup untuk pekerjaan Allah. Artinya, hidup sebagai Imago Dei. Hidup sebagai Patner Allah di dalam pekerjaan Yesus, Anak Manusia yakni menjadi rekan sekerja Yesus mewujudkan keharmonisan derap langkah kehidupan seisi bumi.

Bagaimana? Dengan datang dan percaya kepada Yesus, hidup manusia tidak lagi sebatas untuk pemenuhan kepentingan perut dan nafsu (pakaian mahal, tempat tinggal menjulang ke tanah (untuk mengimbangi rumah-rumah yang menjulang ke langit dewasa ini dengan pelbagai kelengkapannya yang serba lux, prestise dengan status sosial superior, dan kekuasaan). Melainkan menjadi patner Yesus yang ikut serta untuk menguasai alias mengusahakan bumi (Kejadian 1:28) dengan di antaranya: menjadi teman bagi orang-orang yang tidak beruntung oleh keabsenan keadilan di setiap sendi kehidupan bangsa ini; menjadi teman bagi mereka yang teralienasi oleh hilangnya kepekaan sosial terhadap sesama; menjadi pribadi-pribadi dengan tangan dingin untuk menimalisir kerusakan lingkungan hidup – jika tidak lagi dapat untuk diperbaharui; menjadi pribadi-pribadi yang menjadikan kerukunan di tengah keluarga, masyarakat dan terutama di Gereja sebagai nafas hidup keberimanan; dan menahan diri untuk menjadi penguasa-penguasa baru yang tak pernah puas akan hak kepemilikannya, melainkan membiarkan diri menjadi pengawal keharmonisan peradaban kehidupan.

Inilah Roti Hidup itu, yang dengan menerimanya manusia yang datang dan percaya pada Yesus tidak akan mengalami kelaparan dan kehausan lagi. Bagaimana bisa? Sebab semua yang di dalamNya akan selalu merasa berkecukupan dengan kepemilikan yang diberikan Allah, tanpa lagi harus menambahinya dengan usaha-usaha yang ditawarkan si Jahat Iblis lewat setiap kesempatan yang ada pada pekerjaan setiap manusia dimana Allah mengembankannya kepada kita sebagai alat mengusahakan bumi dan isinya. Niscaya dengan begitu, setiap orang akan dapat secara merata menikmati hasil isi bumi sebagai hasil ciptaan Allah yang adalah melimpah dan baik adanya. Mulai dari tukang becak, pemulung sampah dan barang bekas, tukang sepatu di pinggiran jalan, tukang bangunan, penambal ban, hingga pejabat teras pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta tidak lupa para ustad dan pendeta. (Untuk yang terakhir disebut penting agar tidak ada lagi kedengaran ada yang ribut-ribut hanya persoalan mutasi tempat pelayanan, hingga perebutan status sehingga berdampak pada “mangkirnya” tujuan utama tugas dan kewajibannya sebagai para punggawa kehidupan spritual di tengah hidup beriman jemaat Tuhan. Sebab, sesungguhnya rentannya kuasa kejahatan termanifestasi di tengah-tengah masyarakat dan bangsa ini tak lain ekses dari keringnya kehidupan beriman yang bermuara pada terendapnya kekuatan moral untuk mengatakan tidak pada usaha-usaha kejatahan. Sepertinya perlu reorientasi atas eksistensi keberagaman keberagamaan di tangan para pemimpinnya di Tanah Ibu Pertiwi ini. Sudahkah hadir terutama sebagai landasan kehidupan bermoral atau malah menjadi alat pemuasan perut dan nafsu). Maka, tidak ada lagi penilaian manusia terhadap sesamanya atas lemah dan kuat; besar dan kecil; minoritas dan mayoritas dan banyak lagi perbandingan nilai-nilai yang dianut masyarakt di tengah bangsa ini yang tidak jarang menimbulkan kekerasan horinzontal.

Menerima Roti Hidup adalah Cinta tanpa Syarat...
Cinta tanpa syarat itulah menerima Roti Hidup. Untuk datang dan percaya supaya menerima Roti Hidup itu, tentunya bukan didasarkan oleh tawar-menawar dengan Allah. Yang dibutuhkan adalah kesadaran bahwa Allah telah dengan inisiatifNya saja berkenan untuk ditemukan manusia dengan keberdosaannya dan kemudian menerima keselamatan. Dengan adanya kesadaran sedemikian itu, maka akan menghadirkan kebersediaan diri manusia untuk selalu berupaya mencari dan menemukan Yesus sebagai Roti Hidup (pekerjaanNya) di setiap dimensi kehidupan manusia. Itulah manifestasi syukur dan respon manusia atas Anugerah yang Allah berikan. Dengan begitu, mencari dan menemukan Yesus bukan lagi untuk “kenyang” versi orang banyak di Galilea di zaman Yesus itu sebagai sebuah syarat. Melainkan, untuk memperoleh kekeyangan spritual di dalam keselamatanNya. Tentunya “keyang spritual” akan menghantarkan manusia tidak menjadi manusia yang lapar akan pemenuhan hawa nafsu semata di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi menjadikan manusia yang bersahaja, penuh keharmonisan, pemersatu. Pokoknya bisalah menghadirkan manusia-manusia yang hidup di dalam Roh seperti yang Yesus kehendaki lewat tulisan surat Paulus kepada jemaat Galatia (Galatia 5:22-26). Diberkati untuk memberkati. Itulah kenyang untuk mengeyangkan di dalam karya keselamatan Yesus yang adalah Roti Hidup itu.

Menerima Roti Hidup: Keyang bukan berarti tidak ada penderitaan...
Datang dan percaya Yesus sebagai Roti Hidup sama dengan kenyang dan tak haus lagi. Bukan berarti tidak ada penderitaan. Malah akan semakin banyak dan rumit. Sebab, mencari dan menemukan Yesus bukan berarti bebas dari penderitaan oleh karena hiruk pikuk dan tantangan kehidupan, himpitan hidup, kekecewaan hidup, disharmonisasi, kepahitan hidup, dan ketidakbersahajaan hidup yang bisa saja terakumulasi menjadi chaos (kekacau balauan) hidup. Menerima Roti Hidup bukan untuk terbebas dari semua itu. Melainkan inilah kebahagiaan itu, yakni bersama-sama dengan Kristus diikutsertakan berjuang mengatasi semua kekacauan hidup itu. Menjadikan kita mampu bertahan dan tidak goyah (Kisah Para Rasul 15:28) dengan apa yang diperhadapkan dunia dengan hegemoninya yang jikalau tidak kuat bisa membuat kita menderita neorosis hingga psychosis (Neorosis merupakan keruwetan hidup (jiwa) yang tidak dapat dikontrol oleh manusia karena ia tidak mengetahui penyebabnya. Misalnya marah-marah, bernyanyi dengan nyanyian itu-itu saja tanpa disadari, ngomong tentang itu-itu saja, keresahan tak menentu dll. Psychosis merupakan neorosis akut yakni kegilaan, sakit jiwa).

Menerima Yesus sebagai Roti Hidup artinya denganNya kita akan selalu diyakinkan dan menjadi pemenang yang sanggup bertahan (standhood) menghadapi serangan si Jahat Iblis dengan kegemerlapan duniawi. Tujuan si Jahat Iblis hanya satu, yakni memporak-porandakan kehidupan kita. Mencuri satu persatu berkat-berkat Allah dalam hidup manusia sehingga menimbulkan misalnya rumah tangga yang tak kunjung harmonis, generasi muda jatuh dalam cengkraman Narkoba dan Penyakit sosial masyarakat lainnya, ketidakpuasan akan apa yang dimiliki, perseteruan dalam pekerjaan, perpecahan dalam masyarakat bahkan hingga ketengah-tengah kehidupan gereja, dll.

Roti Hidup yang Menyempurnakan hidup...
Yesus sebagai Roti Hidup menghantarkan kita kepada kesempurnaan hidup. Allah mau kita berhasil menikmati kehidupan yang Dia berikan beserta mengusahakan isi bumi yang Dia ciptakan. Untuk itulah Allah melalui Anak Manusia yang diutusNya, di dalam Yesus, mau memberikan kita Roti Hidup. Maka, mari datang dan percayalah. Terimalah dan “makanlah”, sebab Allah di dalam Yesus akan menyempurnakan hidup kita. Bukankah Allah menghendakinya, yakni supaya setiap orang yang melihat Anak Manusia dan percaya kepadaNya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Anak Manusia membangkitkan orang percaya pada akhir zaman (bdn. ayat 40).

Terpujilah Jahowa di dalam Yesus Tuhan. Amin.
Doa: Mazmur 119: 9-16
READ MORE - Yohanes 6: 30-35: Kenyang Menerima Roti Hidup Bukan Berarti Tidak Ada Penderitaan

Wednesday, July 6, 2011

NOTULENSI SEMINAR KONFESI AUGSBURG 1530 HKI

0 comments

 Para Candidat Pendeta HKI Dalam Seminar Konfesi Augsburg 1530
(notulen: nomor 3 dari kiri barisan berdiri di depan)



Konfesi Augsburg 1530 Artikel II, IV, VI & XX

I. DOSA ASALI – DOSA WARISAN
Sejak kejatuhan Adam, semua manusia yang dilahirkan menurut hakikat manusia, dikandung dan dilahirkan dalam dosa, yaitu bahwa semua manusia penuh dengan nafsu iblis dan keinginan yang jahat mulai dari rahim ibunya, dan tidak mampu secara alamiah mempunyai rasa takut yang benar kepada Allah atau iman yang benar dalam Allah. Pada umumnya, kaum skolastik menolak dosa Asali, atau dosa warisan. Ajaran Pelagius sangat mempengaruhi theologia mereka. Ada 7 pokok ajaran Pelagius yang sesat yaitu: Adam diciptakan untuk mati dan akan mati sekalipun ia tidak berdosa. Kematian bukanlah akibat dosa; KejaTuhan Adam kedalam dosa hanya dia sendiri dan tidak mempunyai akibat bagi keturunannya; Anak-anak yang dilahirkan tidak berdosa; Anak-anak yang tidak dibaptiskan dan meninggal pada masa bayi tetap memperoleh keselamatan; Manusia mati bukan karena kejaTuhan Adam kedalam dosa, dan manusia bangkit dari antara orang mati bukan didasarkan pada kebangkitan Kristus; Hukum Taurat dapat memimpin orang kedalam kerajaan surge sama seperti Injil; dan sebelum Kristus, ada orang yang berdosa.
Dalam Konsili Oikumenis di Konstantinopel tahun 431, ajaran Pelagius dikutuk. Pelagianisme tidak pernah menjadi satu gereja pecahan, namun hanyalah suatu aliran pemikiran theologia dalam gereja. Menurut Yohanes Bonaventura (Lahir 1221 di Tuskang): Dosa Asali adalah nafsu yang melampaui batas, kurangnya kebenaran yang sesungguhnya.Sedangkan menurut Hugo (Uskup di Grenoble, Perancis 1053-1132), dosa Asali adalah ketidaktahuan dalam jiwa dan nafsu dalam tubuh. Maksudnya ialah bahwa sewaktu lahir, kita membawa ketidaktahuan mengenai Allah, ketidakpercayaan, ketidakyakinan, penghinaan, dan kebencian terhadap Allah. Bandingkan: I Kor 2:14 “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya,…” Rom 7:5 “Sebab waktu kita masih hidup di dalam daging, hawa nafsu dosa, yang dirangsang oleh Hukum Taurat, bekerja dalam anggota-anggota tubuh kita…..” Pengakuan akan dosa Asali/warisan, adalah suatu hal penting, sebab kita tidak bisa mengetahui bagaimana besarnya kasih karunia Kristus jika kita tidak mengakui kesalahan kita. Semua kebenaran manusia adalah munafik di hadapan Allah, sebelum kita mengakui bahwa hati kita sendiri sebenarnya kekurangan kasih, takut, dan kurang keyakinan kepada Allah. Kita memperoleh pengampunan dosa hanya oleh iman kepada Kristus, bukan melalui atau oleh sebab kasih atau usaha. Mazmur 32: 1 “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi !” Oleh sebab itu, kita dibenarkan hanya oleh iman. Pembenaran dipahami sebagai “membuat orang tak benar menjadi benar, atau menjadikannya lahir kembali. Kristus telah diberikan kepada kita untuk menanggung dosa dan hukuman kita dan untuk menghancurkan pemerintahan iblis, dosa dan kematian. Oleh karena itu , kita tidak dapat mengenal berkatNya apabila kita tidak mengenal kejahatan kita. Dosa itu diampuni oleh sebab Kristus, Juru Damai. Rom 3: 25 “ Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darahNya…
Pengampunan dosa adalah sesuatu yang dijanjikan oleh sebab Kristus. Karena hal tersebut, hanya dapat diterima diatas iman. Dalam Rom 4: 16, Rasul Paulus berkata : “Karena itulah kebenaran berdasarkan iman supaya merupakan kasih karunia, sehingga janji itu berlaku bagi semua keturunan Abraham….”. Bandingkan Gal 3:18  “Sebab, jikalau apa yang ditentukan Allah berasal dari hukum Taurat, ia tidak berasal dari janji; tetapi justru oleh janjilah Allah telah menganugerahkan kasih karuniaNya kepada Abraham.” Menjadi Kristen adalah menjadi ciptaan baru, menjadi tuan dan hamba sekaligus, menjadi orang yang merdeka tetapi terikat, yang berdosa tetapi dibenarkan (simul iustus et peccator).


II. PEMBENARAN
Bagi Marthin Luther, pembenaran oleh iman pada mulanya merupakan pergumulan dan pengalaman untuk memperoleh kasih karunia Allah. Pertanyaan yang sering muncul dan merupakan pergumulan pribadi yang sangat menyiksanya ialah: “Bagaimana saya memperoleh kasih karunia Allah?” Kita tidak dapat memperoleh pengampunan dosa dan kebenaran di hadapan Allah oleh perbuatan kita sendiri, melainkan kita beroleh pengampunan dosa dan menjadi benar di hadapan Allah karena anugerah Kristus melalui iman percaya kita yang sungguh. Melalui pembacaan surat Paulus kepada Jemaat di Roma, (Roma 1: 16-17) berkata : “…Orang benar akan hidup oleh iman…”. Marthin Luther menemukan pengertian yang baru tentang perkataan Paulus dalam Roma 1: 16-17 “…Orang benar akan hidup oleh iman…”, Marthin Luther mengartikan kebenaran Allah tidak lain daripada rahmat Allah yang menerima orang berdosa serta berputus asa terhadap dirinya tetapi menolak orang-orang yang menganggap dirinya baik. Kebenaran Allah adalah sikap Allah terhadap orang-orang berdosa yang membenarkan manusia berdosa karena kebenaranNya. Tuhan Allah menggunakan kebenaran Kristus kepada manusia berdosa dan karena itu Tuhan Allah memandang manusia berdosa sebagai orang-orang benar. Lebih tegas lagi dikatakan dalam Rom 3: 28 “Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman (sola fide), dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat.”
Bagi Marthin Luther, Injil dan Hukum Taurat adalah dua hal yang sangat berbeda. Hukum Taurat memberitahukan apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang sehingga kita mengenal dosa-dosa kita. Injil mengatakan bahwa dosa-dosa kita telah diampuni dan segala sesuatu telah digenapi. Hukum Taurat berkata “…Bayar hutangmu…!” Sedangkan Injil berkata “…Dosamu telah diampuni…”. (Rom 7: 7-12). Pembenaran oleh iman adalah ajaran yang fundamental bagi Gereja Lutheran dimana “Gereja itu berdiri atau runtuh” (Stantis et Cadentis Ecclisiae). Kita harus terinspirasi dari Marthin Luther yang berani menentang tradisi Gereja Roma ketika Gereja itu nyata-nyata kepadanya bukan lagi alat-alat pelayanan Tuhan untuk membebaskan umatNya. Kebenaran ialah pertama-tama tuntutan pada diri sendiri, dan orang benar adalah penuntutnya sendiri. Hab 2: 4 “…Orang yang benar akan hidup oleh sebab imannya”. Bagi Marthin Luther, kebenaran Allah, berarti ketetapan Allah menjadi benar kepada seseorang melalui imannya. Allah menganugerahkan status benar kepada seseorang melalui imannya. Rom 3: 24 “Dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus” (Sola Gratia). Hanya oleh anugerah.  

III. IMAN DAN PERBUATAN
Orang yang mempunyai iman yang sungguh di dalam Yesus Kristus harus menghasilkan buah-buah dan perbuatan-perbuatan yang baik, dan kita harus melakukan semuanya itu sesuai dengan perintah Allah. Dalam hal ini kita pantas meniru seorang Bapa Gereja Barat yang terkenal, Ambrosius, Uskup Milano. Ambrosius sangat tegas terhadap kaisar-kaisar yang tidak setia untuk membantu Gereja, atau yang tidak berlaku adil kepada rakyatnya. Dia berjuang dengan gigih untuk mempertahankan hak-hak dan kewibawaan Gereja di hadapan kaisar. Tuntutannya adalah agar kaisar menjadi pembela kepentingan Gereja. Apa relevansinya kepada situasi kita sekarang di era globalisasi ini? Sebagai buah iman, perbuatan atau aksi-aksi yang nyata apakah yang sudah dan akan diperbuat Gereja, dan orang beriman, khususnya Gereja Lutheran? Yeremia 29:7, Mengusahakan kesejahteraan kota. Mengusahakan kesejahteraan negeri Indonesia, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu! Tuhan mau dan menghendaki Gereja Lutheran di Indonesia menjadi berkat. Gereja/umat Kristen tidak boleh menjadi persekutuan yang eksklusif, harus inklusif, dan jangan hanya memikirkan kepentingan dan kesulitannya sendiri. Kita harus melihat kesulitan yang dihadapi oleh semua Gereja dan seluruh umat Kristen di Indonesia ini sebagai kesulitan kita sendiri. Menurut Martin Luther, semua orang Kristen mempunyai derajat rohani yang sama, bahwa seseorang yang sudah dibaptiskan telah memiliki jabatan imamat orang percaya. Kita ditahbiskan dengan baptisan oleh imam : kita menjadi imamat rajawi, raja dan imam di hadapan Allah (I Pet 2: 9). Perbedaan yang ada hanyalah perbedaan jabatan dan fungsi, bukan derajat. Peranan warga jemaat HKI dalam kaitan dengan imamat am orang percaya, jika dibandingkan dengan semangat berdirinya HChB/HKI, sudah jauh mundur. Hal ini perlu dikaji kembali agar jemaat HKI adalah jemaat missioner.
Dalam kaitan dengan era globalisasi dan demokrasi di Indonesia, perlu diajarkan sedini mungkin khususnya anak-anak Sekolah Minggu, Remaja, PNB, dan warga jemaat HKI akan arti kebebasan. Para remaja khususnya sudah menyalahgunakan arti kebebasan seorang Kristen. Martin Luther merumuskan kebebasan Kristen dengan dua rumusan yang tampaknya bertentangan sebagai berikut : “Seorang Kristen bebas dari segala ikatan dan bukanlah hamba siapapun. Seorang Kristen terikat pada segala sesuatu dan hamba dari semua orang”. Orang Kristen bebas dari hukum atau Taurat manapun dan tidak terikat pada peraturan yang dikeluarkan oleh siapapun, namun kebebasan itu bukanlah kebebasan “dari Kristus”, tetapi kebebasan “dalam Kristus”. Iman dan perbuatan orang Kristen dalam konteks pluralisme, menekankan bahwa anugerah Allah dalam Kristus adalah universal. Kita sebagai orang percaya yang sudah mengenal Yesus melalui iman dan anugerahNya, terpanggil untuk menyatakannya/mempraktekkannya melalui solidaritas kita terhadap sesame sebagai model kesaksian. Solidaritas berarti juga membangun kekerabatan yang erat dengan sesama, membantu mereka yang menderita dalam konteks multi religious. Hal yang sangat penting juga dalam kerangka hidup berdampingan dengan umat beragama lain harus senantiasa dijaga dan saling menghormati. Mengerti orang lain, agama dan kepercayaannya, menerima mereka dalam kasih Kristus, dan membuka diri dalam kasih dan persaudaraan yang erat. Inilah beberapa hal yang perlu kita renungkan dan lakukan.

Konfesi Augsburg 1530 Artikel I, III, & V

Konfesi Augsburg disampaikan kepada Kaisar Karel V pada tanggal 5 Juni 1530. Perumusan dan penyerahan Konfesi ini dilatarbelakangi dua hal yaitu: adanya persengketaan agama akibat Reformasi dan dipedukannya kesatuanan seluruh pangaeran dan wakil-wakil dari kota otonom  untuk  menghadapi serangan dari tentara Turki. Untuk itu, maka pada tanggal 21 Januari 1530, Kaisar Charles V mengundang Sidang Kerajaan bertemu pada bulan April berikutnya di Augsburg. Pada Sidang Kerajaan itu, kaum Protestan diminta untuk menyampaikan pengakuannya. Dokumen Pengakuan yang disampaikan pada Sidang Kerajaan tanggal 25 Jun 1530 itulah Konfesi Augsburg yang kita kenal sekarang ini. Dalam dokumen itu, dinyatakan apa yang dipercayai oleh kaum Protestan yang terdiri dari 21 Artikel (Artikel 1-21) dan paraktek-praktek gereja yang perlu dikoreksi, terdiri 7 Artikel (Artikel 22-28).
Dengan demikian, maka Konfesi Augsburg ditulis dan dibacakan/disampaikan adalah oleh karena kebutuhan tertentu di dalam sejarah. Konfesi Augsburg disaksikan di hadapan Kaisar Jerman yang sangat berkuasa dan pada saat adanya ancaman yang sangat serius dari Islam (Turki). Konfesi Augsburg adalah Pengakuan Iman Kristen yang lahir dan sangat relevan dalam waktu tertentu dan dalam situasi yang khusus. Oleh sebab itu, maka dokumen ini sangat perlu kita pelajari sebagai satu dokumen historis gereja dan sebagai warisan hidup bagi gereja Lutheran,  yang hidupnya dan imannya dipengaruhi oleh dokumen ini.
Sebagai documen sejarah dan warisan hidup gereja, maka kita harus berusaha mengungkap arti dan maksud yang sangat pokok (vital) dari artikel-artikel Konfesi Augsburg ini bagi kehidupan kita sekarang ini. Apakah yang dikatakan oleh Konfesi ini kepada kita saat ini, dan jika ya, mungkinkah dapat menolong kita untuk rnenyaksikan iman kita lebih jelas. Sekarang, tidak ada lagi Kaisar Jerman yang sangat berkuasa atas kita dan tidak ada lagi ancaman dari Turki. Akan tetapi, masalah kepercayaan dan kemanusiaan, yang memperoleh perhatian dalam Konfesi Augsburg pada waktu kelahirannya, masih tetap kita hadapi sekarang ini. Sampai dimanakah hal-hal ini dapat kita perluas, sesuai dengan konteks dan masalah yang kita hadapi sekarang ini? Satu hal yang tidak bisa kita lupakan, bahwa dokumen ini bukanlah hasil studi yang sungguh-sungguh dari pada teolog-teolog terkemuka. Dokumen ini adalah hasil dari perjuangan iman yang luar biasa. Para penandatangan dokumen ini (pada waktu itu) mengetahui, bahwa dengan membubuhkan tanda tangannya pada dokumen pengakuan ini, kedudukan, harta, bahkan hidup mereka berada dalam bahaya.

I. ALLAH
Dalam Artikel I Konfesi Augsburg ini, Gereja Lutheran pada abad ke 16 menyatakan dengan jelas "Siapakah Allah" yang mereka percayai dan sekaligus memperkenalkan "Siapakah mereka yang disebut Lutheran" dengan cara menghubungkan pengakuan mereka dengan dokumen pengakuan gereja di masa lalu. "Sesuai dengan keputusan Konsili Nicea pada tahun 325, kami dengan sehati berpegang dan mengajarkan bahwa ada satu hakikat illahi, yang disebut Allah, dan ada tiga pribadi dalam satu hakikat illahi ini, setara dalam kuasa dan sama-sama kekal; Allah Bapa, Allah Anak, Allah Rohkudus..." (Theodore G. Tappert, Buku Konkord, terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: BPK­GM, 2004, hal. 36). Para penandatangan dokumen ini, yaitu para elektor, pangeran, dan penguasa setempat dalam Kerajaan Jerman pada waktu itu, bukanlah teolog-teolog. Oleh sebab itu, kita meragukan apakah mereka bisa mengerti istilah-istilah teknis teologia (misalnya, "homoousios") yang ada dalam pengakuan ini. Akan tetapi, pengertian mereka yang kurang sempurna tentang istilah-istilah teknis teologia yang ada dalam pengakuan ini, bukanlah pertanda pengertian mereka berkurang terhadap isinya. Khususnya, pada saat mereka menghubungkan pengakuan ini dengan pengakuan Kristen mula-mula, dan mendaftarkan mana ajaran-ajaran yang ditolak, karena dianggap sesat, sangat membantu untuk memperkenalkan siapakah mereka di hadapan Kaisar yang berkuasa dan di hadapan lawan-lawan mereka. Para penandatangan pengakuan ini, tidak melupakan teologia yang mereka warisi. Mereka mengetahui asal mereka, mereka mengenal dan menghormati "nenek moyang mereka" di dalam iman.
Konfesi Augsburg Artikel I ini, berbicara tentang sifat manusia yang suka melupakan asal-usulnya (" theological amnesia") karena menginginkan sesuatu yang baru. Masalah seperti ini masih sering kita temui sekarang ini. Kita hidup dalam zaman dimana banyak orang bergabung dengan gereja kristen, teolog atau bukan, yang mempercayai, bahwa kita harus mendirikan apa yang relevan pada zaman kita ini dengan cara melupakan masa lalu. Menjadi modern bagi para penganut ini ialah mendirikan yang baru dan melupakan masa lalu. Teologia seperti ini adalah teologia yang paling tidak relevan. Jika anda tidak mengenal siapa anda (mis. nama dan asal-usul anda), maka anda tidak akan memiliki arti apa-apa bagi orang lain. Menjadi modern, bukanlah melupakan masa lalu, tetapi mengunakannya dengan kreatif pada masa kini. Philip Melanthon penyusun Konfesi Augsburg ini, bersama dengan para ahli klasik ternama pada waktu itu, sadar betul akan hal ini. Mereka menyadari makna kekeristenan masa lalu, sebagai syarat masa kini, dan kebenaran pada masa yang akan datang, dinyatakan dalam artikel I pada Konfesi Augsburg ini. Kesetiaan kita kepada Konfesi Augsburg, adalah dengan menggunakan masa lalu, lebih dari 480 tahun yang lalu sejak Konfesi ini dibacakan di hadapan Kaisar, secara kreatif pada masa kini dan pada masa yang akan datang. Dari pada memproklamirkan Allah yang baru, atau tidak ada Allah, atau Allah mati, kita berusaha menyaksikan Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, Bapa Yesus Kristus, Allah yang sesungguhnya dan Allah yang Esa, yang di dalam-Nya kita hidup, bergerak, dan berada. Dengan mengakukan iman kita kepada Allah, bukan berarti kita berusaha menggambarkan Allah, akan tetapi menyatakan pemujaan kita kepada-Nya atas penciptaan, pemeliharaan dan atas seluruh berkat dalam hidup kita. Kita bersekutu dengan orang Yahudi dan orang Kristen segala abad menyatakan: "Jikalau bukan TUHAN yang memihak kepada kita, biarlah Israel berkata demikian..dst (baca Maz 124)

II. ANAK ALLAH.
Konfesi Augsburg dalam artikel III ini, menyatakan kepada kita bahwa Yesus adalah Kristus. Dia adalah model manusia yang diinginkan oleh Allah. Allah menginginkan supaya manusia di dunia mengikuti  model Yesus sebagai manusia. Manusia tidak hanya  sekedar “individu” yang lebih tinggi atau mulia dari binatang, khususnya dalam perkembangan mental. Dalam Konfesi Augsburg dinyatakan bahwa Allah menunjukkan apa arti manusia yang sesungguhnya yaitu manusia Yesus, yang benar-benar lahir dari perempuan dara Maria, menderita, disalibkan, mati dan dikuburkan, akan tetapi pada waktu yang sama Dia adalah model manusia yang dipilih oleh Allah. Yesus Kristus sebagai model "manusia" yang dipilih oleh Allah, benar-benar berbeda dari model-model manusia yang ada di dunia (yang sering dijadikan masyarakat menjadi modelnya).
Yesus Kristus sebagai model manusia pilihan Allah, disaksikan dalam Konfesi Augsburg sbb: "Supaya melalui Rohkudus Dia menguduskan, memurnikan, meneguhkan dan menghibur semua orang yang percaya kepadaNya, supaya Ia mengaruniakan kepada mereka kehidupan, setiap anugerah dan berkat, dan supaya Ia melindungi serta menjaga mereka terhadap iblis dan dosa" (Theodore G. Tappert, Buku Konkord, terjamahan ke dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2004, hal. 38). Rumusan pengakuan di atas menjelaskan bahwa model manusia yang dari Allah untuk manusia ini, memiliki kuasa tidak hanya untuk menginspirasi manusia meniru Dia, akan tetapi juga memiliki kuasa untuk merobah mereka yang percaya kepadaNya. Allah menjadi manusia tidak hanya berarti, kita mengenal bagaimana manusia yang sesungguhnya, tidak juga hanya berarti bahwa kita dapat mengenal model manusia yang harus kita teladani, tetapi model manusia Allah ini bekerja dan berkuasa mentransformasi kita kepada pribadi yang seharusnya, menurut Allah, jika kita percaya kepadaNya. Yesus adalah model manusia yang berkuasa atas segala ciptaan. Yesus tidak hanya mengajak kita menjadi manusia yang sama dengan Dia, akan tetapi juga memampukan kita untuk menjadi manusia seperti Dia, jika kita percaya kepadaNya. Konfesi Augsburg mengingatkan kita bahwa Yesus yang adalah model manusia, Dia juga memiliki kuasa untuk mentransformasi kita sesuai dengan apa yang Dia rencanakan, asal kita percaya kepadaNya.

III. JABATAN PELAYAN
Pengetahuan kita akan Berita Injil yang mengatakan bahwa: Anugerah Allah bukan karena jasa kita melainkan oleh jasa Yesus Kristus", melahirkan semangat untuk memberitahukanya kepada orang lain. Semangat ini dinyatakan secara lebih jelas di dalam Konfesi Augsburg, bahwa Allah mengadakan jabatan pelayan untuk memberitakan Injil kasih Allah kepada seluruh manusia.Di dalam melaksanakan tugas pelayanan mengabarkan Injil ini, ada beberapa bahaya yang perlu kita cermati. Pertama bahaya dimana pelayan menjadi wakil warga jemaat melakukan tanggung jawabnya sebagai orang Kristen (klerikalisme). Pada abad ke 16, abad lahimya Konfensi Augsburg ini, terjadi klerikalisme di Gereja. Klerikalisme ini dilaksanakan oleh satu cabang institusi keagamaan. Institusi keagamaan ini bertindak menjadi pelaksana tanggung jawab kekeristenan menggantikan warga jemaat yang diwakilinya. Warga Jemaat membayar pejabat gereja untuk berdoa dan melakukan misa atas nama orang yang membayar. Sama halnya seperti penasehat hukum. Penasehat Hukum berdiri, bertindak, menggantikan kliennya berhubungan dengan masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh kliennya. Semakin ahli Penasehat Hukumnya, semakin aman kliennya berhadapan dengan masalah-masalah hukum, dan sudah barang tentu, semakin mahal pula tarifnya.
Klerikalismo (menyerahkan pengurusan kehidupan iman kepada kelompok profesional keagamaan) pada abad ke 16 dilawan oleh para Reformator. Akan tetapi, masalah ini tidak hanya terjadi pada abad ke 16 saja. Masalah seperti ini masih terjadi sampai saat ini. Masih banyak dari warga gereja yang berfikir bahwa "pelayan gereja" itu sebagai "Perwakilan" mereka. Sebagai perwakilan, mereka mengharapkan pelayan gereja itu dapat mempercayai, atau melakukan, apa yang seharusnya mereka percayai, dan lakukan sebagai orang Kristen. Dengan demikian, Warga Jemaat mengharapkan Pelayan gereja membebaskan mereka dari seluruh tanggung jawab ini dan untuk itu mereka bersedia membayar gaji pelayan gereja.
Konfesi Augsburg menyatakan, bahwa Allah mengadakan Jabatan Pelayan untuk memberitakan Injil kasih karunia Allah, sehingga manusia dapat beriman. Jabatan Pelayan ada untuk kepentingan manusia, dan sebagai alat Tuhan, sampai akhir zaman. Jabatan pelayan adalah jabatan untuk memberitakan Injil dan melayankan Sakramen. Melalui pelayananan atau sarana ini, "Allah memberikan Rohkudus yang menimbulkan iman dalam diri orang-orang yang mendengarkan Injil itu, bilamana dan di mana Dia kehendaki" (Theodore G. Tappert, Buku Konkord, terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2004, hal. 38). Jabatan Pelayan ada, adalah untuk keselamatan manusia. Jabatan Pelayan yang terpisah dari pelayanan kepada manusia, lepas dari pengaruhnya bagi mereka yang menerima Sakramen dan mendengarkan Firman Tuhan, tidak berarti apa-apa. Bahaya yang lain terhadap Jabatan Pelayan ialah apabila ada warga jemaat atau pelayan yang merasa bahwa mereka memiliki akses langsung kepada Tuhan melalui pengalaman mistik. Mereka tidak tergantung lagi pada kesaksian para Nabi, para Penginjil, dan para Rasul.
Konfesi Augsburg menegaskan bahwa Jabatan Pelayan sebagai jabatan memberitakan Injil dan melayankan Sakramen adalah pelindung yang melindungi kita terhadap cobaan-cabaan yang ada dalam waktu kita sekarang ini. Ini berarti, bahwa Pemberitaan Injil tidak tergantung kepada kehebatan seseorang berbicara, (mis seperti kemasukan roh, dsb) atau kepada kepintaran seseorang. Pemberitaan Injil hanya tergantung kepada Injil itu sendiri, kepada Berita Sukacita tentang apa yang telah dikerjakan Allah di dalam Yesus Kristus. Selanjutnya, Konfesi Augsburg juga menyatakan, bahwa bukan tahbisan atau kemampuan berbicara seseorang yang menjamin bahwa isi pemberitaannya adalah berita Injil. Kita hidup dalam abad di mana banyak orang yang menerima tahbisan atau teolog kristen yang isi pemberitannya hanya kata-kata yang enak didengar, bukan berita Injil. Posisi seseorang di dalam Gereja atau perilaku seseorang yang "alim", bukanlah menjamin kemurnian pemberitaannya. Yang menjamin kemurnian pemberitaan ialah Injil itu sendiri.
Kita telah berusaha melihat artikel I, III, & dari Konfesi Augsburg dengan mata kita yang hidup dalam abad 21 ini. Naampak bagi kita bahwa situasi kehidupan dan budaya manusia pada abad 16, pada waktu Konfesi Augsburg ini disusun dan diikrarkan jauh berbeda dengan situasi kehidupan dan budaya kita sekarang ini. Masalah yang dihadapi oleh Gereja pada ab 16 di Jerman, tidak begitu jelas bagi kita sekarang ini. Pertanyaan yang sama kita ajukan kembali. Apakah dokumen Konfesi Augsburg ini memiliki arti yang cukup signifikan bagi kita sebagai Gereja sekarang ini? Apakah yang dapat kita pelajari dari Konfesi Augsburg ini untuk kita sekarang ini? Apakah manfaatnya bagi pelayanan kita sebagai Pelayan di Gereja HKI?
Dalam Tata Liturgi Penahbisan Pendeta HKI, belum dikatakan secara eksplisit bahwa Pendeta yang menerima tahbisan berjanji akan melaksanakan Konfesi Augsburg. Yang dikatakan dalam Tata Liturgi Penahbisan itu ialah memberitakan Injil dan melayankan sakramen yang benar sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan yang tertulis dalam PL dan PB. Akan tetapi, Gereja HKI telah menyatakan dalam Sinodenya, sebagaimana tertulis di dalam Tata Gereja HKI sbb: "HKI berpedoman kepada Pengakuan Iman Apostolicum, Niceanum, Athanasianum, dan Konfesi Augsburg 1530" (Tata Gereja HKI tahun 2005, Pasal 6). Ini berarti, bahwa kita sebagai Warga HKI, non Pendeta atau Pendeta telah menjadikan Konfesi Augsburg ini sebagai Pengakuan Iman kita secara pribadi. Dan sebagai Pendeta, kita telah mengikrarkan bahwa kita akan melaksanakan "jabatan pelayanan" kita sesuai dengan Firman Tuhan dan Konfesi Augsburg. Kita telah menerima Konfesi Augsburg sebagai ringkasan penjelasan Firman Allah yang benar dan kita telah mengikatkan diri kepadanya. Karena Konfesi Augsburg itu dirumuskan sesuai dengan Firman Allah, dengan demikian kita telah mengikrarkan bahwa kita akan membaca dan menafsirkan Alkitab sesuai dengan Konfesi Augsburg, kita akan mengkhotbahkan, mengajarkan Konfesi Augsburg sebagai "doktrin umum (publica doctrina)" Gereja HKI. Kita telah mengikatkan diri kepada Konfesi Augsburg sebagai dokumen yang menyatakan kebenaran Firman Allah.
Dalam perjalanan waktu, sejak Konfesi Augsburg ini, ada banyak Pendeta dan Guru yang merasa terganggu karena harus mengikatkan diri kepada Konfesi Augsburg ini. Mereka menganggapnya sebagai legalisme yang mengekang kebebasan mereka sebagai Pendeta atau Guru di bawah Injil. Akan tetapi, sebaliknya bahwa di dalam kesetiaan kita kepada Konfesi Augsburg di sana kita akan mengalami kebebasan yang sangat indah. Konfesi Augsburg memberikan kepada kita fokus dan arah Alkitabiah dan Teologia, yang kita sebut fungsi normatif dari Konfesi itu, yang kita apllikasikan tidak hanya pada waktu berkhotbah atau mengajar saja, tetapi di dalam seluruh pelayanan kita. Konfesi Augsburg menyatakan kepada kita, mengapa kita ada sebagai Pendeta di Gereja, apa perhatian utama kita, dimana sumber kekuatan kita berada. Konfesi Augsburg menyediakan bantuan dan bimbingan kepada kita untuk menentukan sikap yang benar terhadap pelayanan yang kita kerjakan dan mengatasi masalah-masalah yang kita hadapi setiap hari di dalam melaksanakan tanggung jawab kita sebagai Pendeta. Ada banyak Pendeta mengalami krisis identitas, mengalami goncangan iman, karena berusaha mencari rumusan teologia yang dibutuhkan pada saat-saat tertentu, akan tetapi, tidak demikian dengan kita. Konfesi Augsburg diberikan kepada kita sebagai anugerah, bukan hanya sebagai contoh teologi sesaat, tetapi karena hanya dia teologi yang benar, teologia salib, dan hanya kata-kata pengampunan, keselamatan, damai dan pengharapan yang dikerjakan oleh Allah dalam Yesus Kristus.

 Konfesi Augsburg 1530 Artikel XXVIII

Kuasa Para Uskup
Gereja Katolik mengatakan bahwa Paus, uskup-uskup/ Bishop, kardinal-kardilal dan ahli-ahli teologia tidak mungkin salah. Seluruh keputusan mereka tidak mungkin salah. Ketidakmungkinan salah mereka itu bukanlah sesuatu yang datang kepadanya dengan inspirasi atau ilham tetapi dengan pertolongan Tuhan. Paus, bishop mutlak benar.. Setiap keputusan Paus, bishop tidak mungkin salah. Para uskup mempunyai kuasa untuk memerintah dan memperbaiki secara paksa untuk membimbing rakyatnya mencapai tujuan kebahagiaan yang kekal. Kuasa memerintah membutuhkan kuasa menghakimi, menetapkan, membedakan, dan menegakkan apa saja yang perlu atau berguna bagi tujuan di atas. Ini disebut sebagai hak istimewa dari gereja dan para imam. Akibat pemahaman yang sedemikian, beraneka ragam tulisan mengenai kuasa para uskup/ bishop, bahkan ada yang mencampuradukkan kuasa para uskup dan kuasa duniawi.

Akibat Pemahaman Ketidakmungkinan Salah Paus, Uskup-Uskup/Bishop   
Perkataan bahwa Paus, bishop tidak mungkin salah/ mutlak benar membuat para uskup/ bishop memperkenalkan bentuk-bentuk ibadat baru dan membebani hati nurani dengan kasus-kasus yang dikhususkan bagi mereka serta melakukan pengucilan sewenang-wenang, mengangkat dan menurunkan raja-raja dan kaisar-kaisar menurut kehendak mereka sendiri, membuat dan menentukan undang-undang, membatalkan undang-undang negara atau melemahkan ketaatan pada pemerintah. Mereka menuntut ketaatan yang lebih besar atas peraturan mereka daripada atas Injil. Hal ini membuat banyak keributan, pemberontakan dan peperangan dahsyat.Dengan kata lain banyak keputusan mereka pada akhirnya menjadi menunjukkan kuasa pedang/kekerasan, dan akibatnya muncul perlawanan/pemberontakan dengan kekerasan.

Kuasa Para Uskup Menurut  Konfessi Augsbur 1530
Konfessi Augsburg membedakan dua kuasa yaitu antara kuasa pedang dan wewenang, yang rohani dengan duniawi. Hal ini diambil berdasarkan perintah Allah yang menghendaki agar para pemenrintah dan penguasa dihormati dan dijunjung tinggi sebagai dua pemberian Allah yang tertinggi di dunia ini (Roma 13:2-3).
Kuasa/ jabatan Keuskupan/ bishop kuasa para pemegang kunci gereja adalah kuasa/ jabatan yang berdasarkan Injil yaitu kuasa untuk memberitakan Injil, mengampuni atau menyatakan dosa ataupun menyatakan dosa orang tetap ada, menilai ajaran-ajaran dan menghukum ajaran yang bertentangan dengan Injil serta mengucilkan orang-orang yang secara nyata telah berbuat jahat dari persekutuan Kristen, serta melaksanakan dan melayankan sakramen-sakramen (Mat 16:19; Yoh 20:21-23) kepada orang banyak atau perseorangan. Semua itu jangan dilakukan dengan kuasa manusiawi, melainkan Firman Allah saja.  Alat ukur untuk semua itu adalah Firman Allah.
Dengan jalan demikian Allah memberikan hal-hal dan karunia-karunia kekal, bukan yang lahiriah, yakni kebenaran kekal, Roh Kudus dan hidup yang kekal. Karunia-karunia itu hanya didapat melalui pemberitaan Injil dan sakramen-sakramen (Rom 1:16).. Kuasa itu sama sekali tidak mencampuri urusan pemerintah ataupun urusan duniawi. Berdasarkan ini, para pendeta jemaat dan gereja-gereja wajib patuh kepada para uskup/ bishop sesuai dengan perkataan Kristus (Luk 10:16) Namun bila mereka yang terpilih secara resmi itu mengajarkan/ menetapkan hal-hal yang bertentangan dengan Injil, Allah memerintahkan kita supaya jangan patuh pada hal-hal yang demikian (Mat 7:15; Gal 1:8; 2 Kor 13:8). 
Kuasa itu adalah untuk membangun dan bukan untuk meruntuhkan. Para uskup tidak berkuasa untuk mengadakan atau menetapkan apapun yang bertentang dengan Injil. Kuasa itu bukan untuk membebankankan umat dengan berbagai peraturan/ tuntutan yang menjerat hati nurani manusia sehingga seakan meletakkan kuk pada tengkuk umat (Kol 2:16, 20-23. Dalam hal ini Injil jelas menyatakan bahwa perhambaan kepada hukum tidak perlu untuk pembenaran.

Peraturan-Peraturan Gereja dapat menimbulkan Kekerasan
Para uskup/ bishop dan pendeta boleh membuat peraturan-peraturan agar segala sesuatu yang dilakukan di gereja berjalan dengan tertib. Peraturan itu bukan sebagai sarana untuk memperoleh anugerah Allah atau menebus dosa-dosa, atau menggikat hati nurani orang dengan menganggap hal-hal itu sebagai ibadat-ibadat yang perlu kepada Allah; apabila diabaikan maka ia akan berdosa, meskipun tanpa menimbulkan sandungan. Peraturan dibuat demi kasih dan damai. untuk menghindarkan kekacauan dan kelakuan yang tidak pantas dalam gereja (misalnya 1 Kor 11:5). Dan bagi yang tidak melakukannya bukan berarti mereka telah berdosa dan kehilangan anugerah Allah. Peraturan dibuat untuk menghindarkan dari batu sandungan.
Dalam peraturan yang sedemikian, orang Kristen layak patuh pada uskup/ bishop dan pendeta. Dalam semuanya itu kita diingatkan untuk lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia. Selama pemahaman tentang kebenaran iman dan kemerdekaan orang Kristen tidak diajarkan dan diberitakan dengan jelas dan murni, maka selama itu juga akan tetap ada perdebatan yang salah tentang perubahan hukum misalnya tentang upacara ibadat, makanan dan minuman, darah, hari-hari suci dan lain sebagainya. Perdebatan-perdebatan dengan kata-kata/ ucapan-ucapan tersebut merupakan pintu masuk bagi sebuah kekerasan.

Kuasa Pemerintah/Duniawi
Kuasa duniawi berurusan dengan hal-hal yang jauh berbeda dengan Injil. Kuasa duniawi tidak melindungi jiwa, akan tetapi dengan pedang dan hukuman lahiriah, melindungi tubuh dan harta milik terhadap kuasa lain. Kedua kuasa itu tidak dapat dicampuradukkan (bnd Yoh 18:36: Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; Luk 12: 14; Fil 3:20; 2 Kor 10:4-5). Kedua kuasa itu (dunia dan kuasa uskup) dihormati sebagai pemberian Allah yang tertinggi di dunia ini.

Relevansi 
Jabatan bishop, pendeta akhir-akhir ini adalah suatu jabatan yang diincar-incar, dan bahkan bagaikan suatu perebutan. Mengapa? Ada beberapa anggapan yang salah tentang jabatan itu. Ada yang berpikir bahwa jabatan bishop, pendeta adalah jabatan strategis dan yang mempunyai hak istimewa. Dilantik menjadi bishop, pendeta sama berarti mendapatkan kuasa yang besar, dimana ia merupakan penentu terhadap keputusan-keputusan, peraturan-peraturan di dalam gereja. Hal itu  ada benarnya namun perlu diketahui kuasa bishop, pendeta adalah kuasa yang datang dari Tuhan. Kuasa itu adalah kuasa yang berdasarkan Firman Tuhan (Mat 16:19; Yoh 20:21-23; Markus 3: 14: kuasa untuk menyertai Yesus dan memberitakan Injil; kuasa untuk membangun iman yang benar bukan meruntuhkannya).
 Sepertinya beberapa dekade terakhir ini di beberapa gereja tidak jarang lagi tampak terjadi kekerasan demi mendapatkan “kuasa bishop”. Kekerasan-kerasan itu dimulai dengan ucapan, yang berkembang menjadi perdebatan bahkan sampai kepada  baku hantam. Belajar dari keadaan tersebut, para pendeta, calon pendeta saat ini diajak untuk lebih berhati-hati lagi dalam berkata-kata. Para pendeta, calon pendeta diajak untuk memurnikan motivasi dan tujuan menjadi seorang pendeta, sehingga tidak terjebak pada pemahaman yang salah tentang kuasa pendeta, bishop, tidak terjebak pada penyalahgunaan kuasa pendeta, bishop. Penyalahgunaan kuasa tersebut juga sering berdampak pada kekerasan terhadap sesama pendeta, sesama pelayan, bahkan akibat kuasa bishop tersebut banyak pendeta, pelayan menjadi lebih takut, taat kepada bishop daripada kepada Tuhan.   
Perdebatan tentang perubahan hukum atau peraturan masih sering tampak di gereja-gereja. Masing-masing gereja menyatakan bahwa merekalah yang benar dan yang beroleh anugerah Allah karena mereka memegang peraturan dengan baik dan benar, dan menyalahkan gereja yang lainnya. Perdebatan itu menyinggung perasaan orang lain dan mengganggu pada hati nurani. Para bishop, pendeta perlu berhati-hati dalam menyikapi hal yang sedemikian, karena hal-hal yang sedemikian dapat mengundang hal-hal yang lebih serius dari perdebatan yaitu kekerasan. Kekerasan sering terjadi akibat perkataan yang mengandung dan yang mengundang. Selayaknyalah para bishop, pendeta,calon pendeta bersikap lebih bijak lagi untuk menanamkan iman dan pembenaran dengan benar dan murni.     
Dosa atau kebenaran tidak bergantung pada makanan, minuman, pakaian, dan hal-hal yang serupa itu (lih Mat 15:11; Rom 14:17).  Kol 2:20-23 menunjukkan bahwa semua itu adalah barang yang dapat binasa, hanya suatu tradisi  dan hanya untuk kepuasan daging. Untuk itu, uskup/ bishop, pendeta tidak mempunyai kuasa untuk menciptakan tradisi/ peraturan di luar Injil seakan-akan hal itu dapat meraih pengampunan dosa atau sebagai tindakan ibadah yang berkenan kepada Allah sebagai kebenaran. Dan para uskup/ bishop juga tidak mempunyai kuasa untuk mengatakan bahwa yang tidak melakukannya sudah berdosa. Hati disucikan oleh iman dan tidak boleh membebani orang dengan kuk (Kis 15:9).

 
Konfesi Augsburg 1530 Artikel XXI, XXIII & XXIV

Bagaimana menumbuhkan, merawat dan mengembangkan gereja? Setiap kita harus dilatih untuk hal ini. Strategi ini yang dibutuhkan gereja saat ini apalagi di Indonesia yang membutuhkan kantong-kantong kristen lebih banyak lagi. Tidak hanya di Indonesia di dunia juga sangat dibutuhkan. Sistem kita sekarang ini jika dipertahankan maka ke depan banyak pendeta yang menganggur. Keadaan saat ini tidak ada lagi 20 jemaat yang bisa dibuat resort baru. Kita harus memiliki suatu sistem pelayanan baru yang berorientasi pada pelayanan. Orientasi kita selama ini masih belum kepada pelayanan masih persekutuan. Jadi bagaimana mengubah dan siapa yang mengubah sistem ini? Kebanyakan orang batak maju karena dipaksa.
Banyak yang jadi kreatif karena dipaksa oleh kondisi. Dengan kondisi gereja saat maka ke depan kita harus memaksa diri untuk membuka pelayanan-pelayanan baru. Makanya saya kurang setuju dengan prinsip yang ada saat sekarang ini di kalangan pelayan gereja kita bahwa misi yang ke dalam diutamakan dan yang keluar biar Tuhan yang menentukan, “...yang di dalam ini saja kita kerjakan sudah baik itu”. Padahal sekarang kita harus diperhadapkan dengan bagaimana menerobos kebijakkan pemerintah yang kurang bersahabat. Banyak yang sudah mau dipanen tapi sedikit yang memanen. Kita harus berubah dari orientasi persekutuan menjadi penginjilan keluar. Ini yang mau kita bahas yakni tentang bergereja.
Jika kita mendengar kata gereja apa yang muncul dibenak kita? tempat ibadah, jemaat, pelayan, persekutuan, organisasi/manajemen/birokrasi, ajaran, kerohanian, musik dan banyak lagi. Mari baca kitab Kejadian 1:26 “Berfirmanlah Allah, baiklah “kita” menciptakan manusia agar mereka berkuasa....”, yang mau kita bahas adalah adanya istilah “kita” yang menjadikan manusia itu. Istilah “kita” ini pertama sekali muncul dari kronologis penciptaan. Siapa itu “kita”? Karena yang berfirman adalah Allah maka jelas itu adalah Allah, namun yang bersama dengan Allah siapa? ada Roh Allah, siapa itu “kita”? Anak Allah, belum ada. Malaikat Allah, tidak pernah Allah bersama-sama dengan malaikat menciptakan sesuatu. Allah dengan diriNya, diriNya yang bagaimana? Jadi kalau Roh Allah, Yohanes 4:24 “Allah itu Roh” dan kita balikkan lagi Roh Allah. Kalau Allah itu Roh kemudian kita katakan Roh Allah, Roh Kudus, Roh Penghibur dan macam-macam lagi. Jika Allah itu Roh, kemudian ada Roh Allah, Roh Kudus yang mana lagi? Jadi, kalau istilah “kita” yang dipakai pada diri Allah dalam kitab Kejadian, inilah yang dipakai gereja kemudian untuk menimbulkan atau menciptakan istilah Trinitas. Ini menjadi dasar Trinitas.
Kemudian ketiga-tiganya diperhadapkan kepda kita dengan karya masing-masing dan ada di dalam Allah yang didasarkan dari istilah “kita” dalam Kitab Kejadian. Jadi, sebagaimana Yesus menyebutkan diri sebagai Anak Allah, Juruselamat yang diproklamasikan dan adanya Roh Kudus itu keluar dari istilah “kita” yang sejak awal penciptaan sudah dinyatakan Allah. Karena Allah itu Roh, ajaran Llutheran tidak pernah mengatakan bahwa dengan Roh Kudus itu maka semua keAllahan Allah ada di dalamnya, roh kudus tidak disebut dengan Allah bapa. Yesus Kristus terang-terang menyatkan bahwa Bapa lebih dari Aku, Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku, dan Aku bukan Bapa. Jadi jelas Yesus Kristus menyatakan dirinya bahwa Dia adalah Anak. Istilah Anak karena apa? Bukan karena Yesus Kristus lebih kcil dari Allah Bapa, yang kita pahami adalah bahwa Yesus Kristus ada di dalam Bapa dan Bapa di dalam Yesus Kristus, yang melihat Dia telah melihat bapa.
Kedua Matius 18:20, “...dua tiga orang berkumpul di dalam namaKu, disitu aku ada bersama-sama dengan mereka..”; Matius 16:18, “...di atas batu karang ini aku akan mendirikan jemaatKu dan maut tidak berkuasa...”, dipakai istilah jemaat. Nah dari semua perbincangan ini, maka gereja itu ada dua yang dinamakan dengan: INVISIBLE CHURCH DAN VISIBLE CHURCH artinya yang tidak tampak dan tampak. Marin Luther banyak membahas tetang Invisible Church dan diikuti oleh Paul Tillich dengan teologia sistematiknya.
Invisible Church yakni gereja yang tidak nampak, dimanakah itu? Kalau kita bicara soal gereja maka kita bicara tentang persekutuan. Itulah gereja. Kemudian, dalam Pengakuan Iman Rasuli artikel ketiga, jelas menyebut bahwa dalamnya gereja itu adalah persekutuan orang-orang kudus. Dan mengapa harus di-akukan orang kristen? Kenapa tidak cukup di dalam dogma saja, kenapa harus menjadi pengakuan? Kenapa harus dibuat dalam PIR? Kalau pengampunan dosa dan kebangkitan daging itu harus, tapi persekutuan orang-orang kudus kenapa harus dimasukkan? karena adanya perbedaan dari setiap orang-orang kudus ini. itu prinsip atau pemahaman. Saya melihat dari kesatuan pemahaman tentang akan istilah “kita” dalam kitab kejadian bahwa disana ada kesatuan di dalam keAllahan Allah. Ya dimasukkan karena itu beranjak dari istilah “kita” dalam Perjanjian Lama yang merupakan kesaksian tentang kesatuan di dalam persekutuan dengan Allah. Ini adalah ajaran mendasar dari PIR kita.
Di Gereja menjadi pengakuan iman, karena gereja hadir dari adanya persekutuan dengan Allah yang Invisible sehingga menjadi Visible Churh yakni dari Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Inilah yang dimaksudkan dalam Kejadian 1:26 itu. Ini menjadi patron dari gereja yang tampak (visible church). Maka gereja itu bukan hanya gedung, persembahan, organisasi dan lainnya, karena gereja itu dipatronkan kepada persekutuan keAllahan. Marin Luther mengatakan yang dikutip oleh Paul Tilich kemudian, bahwa gereja merupakan penampakan kesatuan dari persekutuan kudus yang di dalamnya adalah Allah Bapa, Anak dan Rohkudus (Trinitas). Kesatuan persekutuan itulah Invisible church. Nah, jika gereja dimulai dengan persekutuan Allah, maka gereja yang tampak harus berpatron kepada Allah yang menjadikan persekutuan itu ada. Karena itu harus di-akukan di dalam Pengakuan Iman, karena persekutuan orang-orang percaya itu di turunkan dari persekutuan keAllahan Allah. Inilah hakekat yang esensi, bukan hanya hakekat yang hakiki tapi esensi yakni yang inti dari pengertian gereja.
Dalam Konfesi Augsburg penjelasannya tidak begitu jelas, gereja disebut persekutuan yang diorganisasikan. Tapi kalau di konkord beberapa hal diuraikan mengenai gereja sebagai patron dari persekutuan Allah yang kemudian dipertentangkan dengan sempalan2 gereja yang sudah ada pada wakltu itu. Invisible Church yang terdiri dari Allah yang Trinitas.
Mengenai tirinitas tidak akan pernah ada kesimpulan yang jelas. Karena pikiran manusia tidak mampu untuk mengambil kesimpulan untuk itu. Dalam dogma seputaran Trinitas tidak akan pernah habis untuk dibahas. Nah, sebenarnya apa Trinitas? Dalam ruang lingkup ahli-ahli agama-agama sudah tiba pada kesimpulan yang bukan hanya agama kristen saja, bahwa Islam sudah sampai pada kesimpulan yang menganggap ajaran Trinitas adalah suatu filosofi yang tidak akan pernah dipecahkan oleh pikiran manusia. Agama-agama lain dengan melihat kenyataan Yesus Kristus naik ke Surga disaksikan banyak orang, maka tidak bisa menolak dan menganggap bahwa itu sekedar mitos atau karangan orang kristen saja. Karena orang-orang yang menyaksikan kenaikkan Yesus Kristus juga tidak semua menjadi kristen, tapi yang jelas mereka adalah orang-orang Yahudi (I Kor. 15) lebih dari 500 orang menjadi saksi. Artinya dulu sudah banyak sekali, apalagi 5000 orang yang dikasih makan itu sudah wilayah yang luas sekali. Dengan adanya 500 orang yang menyaksikan kenaikkan Yesus Kristus maka tidak dapat disangkal lagi bahwa itu sekedar mitos atau karangan belaka. Segala sesuatu yang memiliki saksi adalah absah adanya.
Kita mempercayai bahwa pernah Yesus Kristus memberikan makan 4000 – 5000 orang bukan karena dituliskan tapi karena adanya saksi yang melihatnya. Tanpa dituliskan pun maka berita itu akan turun temurun terkabarkan dan merupakan peristiwa yang benar-banar terjadi. Lazarus benar-benar hidup kembali oleh firman Tuhan itu dapat dipercayai karena adanya saksi, sama seperti Petrus yang menjala ikan itu juga karena adanya yang menyaksikannya. Oleh karena itu, Alkitab ditulis bukan karena karangan manusia belaka, melainkan karena adanya saksi yang mengalami peristiwa yang dituliskan itu. Itu perbedaan kita dengan agama-agama lain. Meskipun dipenuhi oleh mujizat, tapi segala yang dituliskan tentang apa yang dilakukan Yesus Kristus ada yang menyaksikannya. Yesus Kristus tidak pernah melakukan karyanya tanpa ada yang melihat untuk menyaksikkannya.
Bagaimana dengan Markus (penulis Injil pertama) dapat menuliskan tentang Yesus Kristus padahal ia datang 30 tahun setelah Yesus Kristus naik kesorga? Ia dapat menuliskannya karena apa yang dituliskannya adalah merupakan hasil dari kesaksian banyak orang yang beredar seperti layaknya berita di kalangan masyarakat pada waktu itu secara turun temurun. Jadi apa yang tuliskannya adalah berita umum. Kita pahami bahwa dulu orang belum terpikir pentingnya tulisan, bahwa peristiwa yang mereka alami dan cerita yang disampaikan secara turun temurun memiliki makna yang luas di kemudian hari. Maka benar apa yang dikatakan Paulus dalam 2 Tim 3:16 bahwa semua itu diilhamkan kepada para penulis sehingga mereka tergerak untuk menuliskan apa yang disaksikan itu. Sekarang bagaimana dengan Trinitas itu? Siapakah yang menyaksikannya? Yesus Kristus sendiri yang menyaksikannya, Aku satu dengan Bapa, Aku datang dari Bapa, dan Abrahampun telah menyaksikan tentang Aku. Jadi selalu dengan diikuti adanya saksi. Lalu kondisi Trinitas itu bagaimana? Mengapa dianggap kemudian menjadi filosofi yang tidak dapat dipecahkan oleh manusia? Karena otak manusia tidak mampu mencerna kecuali ketika kita dapat memahami makna dari firman Tuhan yang disampaikan dan disaksikan Yesus Kristus.
Kalau kita mengatakan Yesus Kristus itu adalah Anak Allah apakah berarti Yesus Kristus lebih kecil dari Allah? Tentunya tidak. Analoginya dapat sebagai berikut bahwa jika air yang berasal dari sebuah wadah kemudian dipindahkan ke wadah yang berbeda apakah air itu berubah? Tentunya tidak. Air yang telah dipindahkan ke wadah yang berbeda tadi tetap adalah air yang sama dengan air yang ada di wadah pertama dimana air itu berasal. Demikianlah hakikat keAllahan Yesus Kristus, meskipun ia berada di rahim Maria dan kemudian menjadi manusia, keAllahanNya adalah tetap. Dia tetap Allah dengan “wadah” yang berbeda. Bukan berarti Dia lebih kecil dari Allah. Karena Dia tetap bagian dari Allah. Karena ia hadir sebagai manusia, maka ia akan menempuh proses bagaimana manusia sewajarnya. Karena itulah Dia kita katakan 100% manusia dan 100% Allah. Karena Dia dikandung daripada Roh Kudus, maka sesungguhnya Dia tidak memiliki tubuh manusia melainkan fisik keAllahan, 100% manusia karena tubuhnya manusia dan 100% Allah karena Dia bagian dari keAllahan. Itulah inti dari iman kita dan ajaran yang lain-lainnya itu mengalir dari bagian Trinitas.
Dari bagian Invisible Church yakni persekutuan keAllahan yang intinya adalah kekudusan. Dari persekutuan yang Triniti tadi itu dilahirkanlah Visible Church. Karena Allah yang menciptakan maka kita sebut Allah Bapa, Dialah yang menjadi sumber dari segala sesuatu menjadi ada. Dari sini berkembang pertanyaan mengapa Tuhan menciptakan dunia ini? Kalau teologianya Matius supaya ada temanNya. Tuhan menciptakan segala sesuatu karena Dia mau membuat teman. Teman yang bukan berdunia rohani tetapi teman yang berdunia jasmani. Karena itu dikatakan kepada Adam jangan memakan buah pengetahuan karena sekali dimakan ia akan mati. Jika ia tidak memakannya maka ia akan tetap menjadi bagian keAllahan yang berjasmani, berbendawi. Jadi penciptaan yang puncaknya adalah penciptaan manusia sudah direncakan Tuhan supaya ada temanNya. Dalam Efesus 1:4 itu sangat jelas menurut Paulus, dikatakan bahwa sudah disiapkan bagi kamu sebelum dunia ini diciptakan, artinya dalam Master Plan Tuhan maka yang inti dari semua penciptaan adalah manusia yakni persekutuan yang visible yang mengarah kepada hadirnya Kerajaan Allah yang kekal. itulah inti dari semua penciptaan dan puncaknya.
Melalui persekutuan yang Invisible Church itu melahirkan penciptaan sehingga segala sesuatu ada dan telah dipersiapkan menuju Kerajaan Allah yang kekal. Karena itu diulangi dengan pemilihan umat yang dimulai dari Adam dan kemudian ada pengulangan-pengulangan sejak Perjanjian Lama secara terus menerus hingga Perjanjian Baru. Itulah yang diperbuat Invisible Church. Dari sini kemudian lahir keselamatan di dalam Anak. Mengapa disebut Anak? Karena dilahirkan bukan dibuat, itu Pengakuan Nicea yakni diperanakkan dan bukan diciptakan atau dibuat. Kalau diperanakkan berarti dari diriNya bukan oleh tanganNya, seperti penciptaan Adam oleh karya tangan Allah. Karena ini diperanakkan maka berasal dari dalam diriNya sehingga disebut Anak. Keluar dari diriNya bukan terlepas seperti roh sehingga dapat tidak terkendali. Tetapi dimasukkan ke dalam rahim Maria, sehingga istilah Anak Manusia dan Anak Allah itu sungguh-sungguh diemban dalam diri Yesus Kristus. Dan dari keAnakan itu terciptalah penyelamatan supaya kita bisa sungguh-sungguh mencapai Kerajaan Allah yang kekal. Allah yang mencipta itu ada didalam Sorgawi yang rohani.
Dikatakan roh kudus karena Dia adalah Roh yang keluar dari diri Allah dan ditugasi untuk melakukan penghiburan dan lainnya. Diri Allah tetap, sebab dia mengutus RohNya yang keluar dari diriNya sendiri untuk melakukan tugas rohani. Inilah karya dari yang Invisible Church, itulah gereja yang tidak tampak. Diri kita dan doa serta persekutuan kita dengan Allah itu bukanlah gereja yang tidak nampak atau Invisible Church melainkan adalah dampak dari karya Invisible Church keAllahan yang Trinitas. Berangkat dari pengertian ekklesia yang menjelaskan kehadiran orang-orang percaya yang telah keluar dari kegelapan, maka apakah ini masih dapat disebut Invisible Church. Dan jikalau Invisible Church adalah persekutuan keAllahan yang Trinitas masihkah sesuai disebut dengan Tri of God? Yang perlu kita pahami dari Invisible Church itu adalah karya dari persekutuan itu, karya dari persekutuan Allah itu adalah segala sesuatu ada dan terjadi yang mengarah kepada Kerajaan Allah yang kekal.
Kemudian kita membahas Visible Church yakni gereja yang nampak, yakni kita sekarang ini, gereja dengan gedung dan lainnya. Jadi karena gereja itu adalah persekutuan, biarpun istilahnya adalah gereja bukan berarti hanya milik orang kristen tapi yang membedakannya dengan persekutuan yang lain yang dapat disebut juga dengan gereja adalah jika persekutuan itu patronnya adalah Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Karena itu dalam Matius 18 ditekankan bahwa persekutuan itu harus di dalam nama Yesus Kristus, “...di dalam namaKU” itu intinya. Gereja adalah semua persekutuan yang berada di dalam nama Yesus Kristus. Apakah ada persekutuan sebelum zaman Perjanjian Baru? Ada. Bahwa Visible Church dimulai dari Perjanjian Lama dengan istilah qahal yang mana qahal itu adalah persekutuan yang darinya keluar istilah umat Allah the people of god. Oleh Marin Luther menyebutnya persekutuan atas nama Allah. Jadi ketika Abraham dengan Sarah dan Lot dalam persekutuan mengikuti perintah Allah mereka juga disebut qahal, karena berangkat dan berjalan karena perintah Allah. Karena itu hubungan mereka adalah hubungan yang berangkat dari Allah dan diberkati Allah. Peristiwa keluarnya Israel dari tanah Mesir yang selalu berulang-ulang diingatkan kepada bangsa itu juga disebut dengan qahal yang kemudian menjadi umat Allah, bangsa Allah. Karena mereka berjalan atas perintah Allah. ini keterangan Perjanjian Lama yang intinya tetap berangkat dan berasal dari yang Invisible Church.
Kita lihat dampak qahal itu apa? Dari sini ada pemilihan Abraham, Ishak dan Yakub menjadi bapa-bapa leluhur orang percaya. Dalam istilah Providentia yakni pemilihan dan pemeliharaan, misalnya ketika memilih, memberangkatkan dan memelihara Abraham juga dipakai istilah providentia, juga disebut qahal. Kemudian ada berkat yang ditujukan bukan hanya untuk Abraham sendiri malah ia hanya memperoleh sedikit saja. Apakah ketika Tuhan memberkati Abraham menjadi bangsa yang besar, Abraham merasakan dirinya sebagai bangsa yang besar? Tidak pernah. setelah ia tua baru Ishak lahir dan setelah Sara meninggal ia menikah lagi dan memiliki enam orang anak. Dan dari budaknya ada Ismail. Jadi, anak abraham tidak dirasakannya seperti yang dijanjikan Tuhan kepadanya bahwa keturunannya seperti pasir di tepi lautan. Dia tidak sempat merasakannya. Tapi sekarang keturunannya terus berkembang dan menjadi bangsa yang besar. Misalnya semua daerah Mesopotamia menjadi tempat tinggal keturunannya meskipun ia tidak pernah merasakan dan melihat itu. Bangsa Arab keturanan Abraham dari Ismail, Israel dan bangsa-bangsa di sebelah timur. Semua bangsa ini adalah keturunan Abraham meski ia tidak melihatnya lagi. Inilah berkat untuk dunia. Kemudian dampak dari qahal yang tadi itu terjadi pembentukan umat yang berawal dari bangsa Israel dan terus menerus diperbaharui, sehingga kita dapat mengatakan bahwa kita ini adalah umat Iyang baru. Dampak qahal sampai kepada umat dalam Perjanjian Baru. Kemudian kita melihat ada pemujaan terhadap Allah.
Pernah menjadi perbincangan lintas agama di medan dan kita bersyukur sudah tumbuh kesadaran antara umat beragama untuk dapat saling menerima perbedaan yang ada di setiap agama. Kalaupun dikatakan Allah itu tidak satu sudah semakin sedikit orang yang tidak tersinggung artinya setiap agama sudah berani mengatakan ini Allah kami. Maka jika masih ada pendeta yang beranggapan dan menyatakan bahwa Allah itu hanya satu dan ritus-ritus saja yang berbeda maka dia adalah pendeta yang berasal dari kursus tiga bulan Alkitab. Makanya jangan ada pendeta HKI yang mengatakan Tuhan itu sama dan satu serta tujuan dari semua agama itu ke sorga. Tuhan Yesus telah dengan tegas menyatakan bahwa tiada yang dapat sampai kepada Bapa tanpa melelalui aku, itu tidak ditawar-tawar dan berbeda dengan agama lainnya. Islam mengakui Nabi Muhammad rasulnya dan utusan allah. Maka, dari sini saja apakah sama? sudah pasti beda, karena bukan Allah yang diperkenalkan Yesus Kristus adalah Allah yang dikenalkan Muhammad. Jadi kita katakan lagi sama dan satu Tuhan itu? Biarkan mereka mempercayai itu dan kita mempercayai ini. Dan inilah akar sehingga antar umat beragama bisa rukun. Biarkanlah setiap orang menyembah dan percaya kepada Tuhan mereka. Jangan diganggu. Biarkan Allah sendiri yang akan membuktikan kebenaran akan hadiratnya bagi manusia. Perjanjian Lama telah membuktikan bahwa Allah kita itu adalah satu. Ketika bangsa Israel keluar dari mesir maka banyak illah lain yang tunduk kepada Allah Musa, demikian dengan Allah orang Palestina.
Di Perjanjian Baru dampak qahal bahwa terciptanya persekutuan yang dikenal dengan gereja. Bahwa defenisi gereja yang disebut Ekklesia berasal dari dampak adanya istilah Kuriaken. Gereja adalah kuriaken yang berasal dari kata kurios yakni kembali kepada keberadaan pemahaman Invisible Church, persekutuan milik Tuhan. Maka kehadiran gereja tetap diarahkan kepada yang Invisible Church. Kuriaken dimana Allah menjadi Raja atas persekutuan itu dan Yesus Kristus menjadi Kepala yang nyata. Itulah kuriaken yakni gereja yang sesungguhnya. Dari implementasi gereja (kuriaken) tadi maka kemudian muncul ekklesia artinya memanggil orang dari dunia kegelapan untuk masuk ke dalam terang Tuhan. Inilah hasil dari perkerjaan kuriaken itu. Nah, kemudian kalau kita kombinasikan kuriaken dan ekklesia maka kembalilah kepada Pengakuan Iman Rasuli yakni gereja yang kudus dan am. Gereja yang kudus berarti kembali kepada kekudusan Allah tadi, tidak ada gereja jika tidak bepatron kepada yang Invisible Church yang Trinitas. Jika tidak, maka gereja akan menjadi tempat pertengkaran, mencari keuntungan dan gereja dipergunakan sesuai dengan kehendak manusia. Kita dituntut untuk memahami apa gereja itu dan apa yang tejadi di sekeliling kita, apa gereja ini benar-benar gereja yang diharapkan Yesus Kristus. Kita lihat Gereja HKI apakah sudah kudus? Marin Luther menjelaskan bahwa menjadi gereja yang kudus itu yang pertama adalah bahwa umat Allah yang selalu dibentuk, ditempah dan dikeluarkan (diutus) untuk dibela dari kekuasaan musuhnya. Umat Allah yang dibela dan dilepaskan dari musuh, lihat matius 16:18. Kedua adalah memiliki hukum Tuhan yang menghidupi persekutuan itu yakni kasihilah Tuhan Allahmu dan sesamamu dimana semua hukum terangkum di dalamnya (Mat 22: 37-40). Gereja yang berpatron kepada Allah harus punya hukum ini. Ketiga adalah adanya penyembahan kepada Allah. Keempat adanya perjanjian Allah kepada manusia lihat Mat 28: 19-20.
Kembali ke gereja yang kudus dan am, kita ke implementasinya saja. Kita lihatlah diri kita sebagai gereja. Dari tahun 80 sebagai pendeta saya banyak mengalami pengalaman yang bemanfaat, misalnya saja harus bisa rangku-rangkulan dengan agama lain sehingga tercipta keharmonisan. Untuk maju kita membutuhkan tantangan apakah dari diri sendiri atau senior layaknya bola karet jika semakin ditekan maka pantulannya akan semakin tinggi. Jadi jangan benci dengan tantangan. Jika ada disharmoni dengan senior anggap untuk memajukan. Pelayan harus dapat meniti di atas “duri”, “pecahan kaca” dan tidak mudah putus asa. Sebgai pelayan terhadap jemaat, jangan pernah ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab dan usahan selalu hal yang baru. Pelayan juga harus menjaga kekudusannya, Seperti misalnya dengan rokok? Apakah kita bisa menghidupi kekudusan Tuhan dengan merokok? Kekudusan harus dijawab dengan iman, karena dengan begitu akan banyak sekali yang harus dibuang dari kebiasaan buruk kita untuk bisa menjadi kudus.
Barangsiapa yang mau datang kepada Tuhan harus di dalam kekudusan Yoh 4:24. Kita Lutheran sudah banyak dianggap terlalu liberal dalam kehidupan rohani. Pelayan juga harus mampu menjadi berkat dan dirindukan. Dapat bergaul dengan gereja-gereja lain tanpa mengganggu keberadaan mereka. Salah satu kelemahan Gereja Batak dalam penginjilan adalah sulitnya beradaptasi untuk menghargai lingkungan yang berbeda kebiasaanya. Kita sering mempertahankan kebiasaan kita yang pada akhirnya menimbulkan disharmonis. Dalam menjalin hubungan dengan sesama harus tetap ada daya juang untuk memikul salib Yesus Kristus sehingga senantiasa menghadirkan keharmonisan diantaranya dan lingkungan yang lebih luas. Inilah persekutuan yang am dan kudus itu.
Jika gereja adalah persekutuan yang berdasarkan Invisible Church mengapa dalam mendirikan gereja harus ada patokan jumlah orang? Bukankah ketika satu dua orang bersekutu di dalam Yesus Kristus itu adalah Invisible Church dasar dari berdirinya gereja yang tampak? Benar secara prinsip, namun gereja juga penting jika terorganisir dengan baik, jika tidak terorganisir maka bisa tidak terkendali. Yesus Kristus menyuruh kita untuk pergi dan jadilah garam dan terang, maka tidak dibutuhkan organisasi dan bangunan gereja. Garam sifatnya meresap kesemua bagian yang bersama dengannya, begitu juga dengan terang yang akan menyinari dunia. Namun, setelah gereja semakin berkembang luas, maka gereja mulai berpikir harus ada gedung untuk menampung persekutuan orang-orang percaya dan mulai mengorganisir dirinya. Sebelumnya mereka berkumpul dan berdoa di katakombe-katakombe dan di rumah-rumah. Jika bentuk ini diteruskan kita tidak tahu dampaknya bagaimana? Tapi untuk menyebarkan Injil perlu pola menjadi garam dan teran, hanya saja untuk menjadi tertib perlu adanya peraturan. Kapan gereja mulai dengan bangunannya dan terorganisir? Tentunya setelah kita semakin besar. Dari itu maka yang penting dari gereja adalah adanya persekutuan dan kemudian diorganisasikan. Catatan bahwa Organisasi Lutheran tidak ada yang sama satupun atara gereja-gerejanya. Setelah gereja terorganisasi maka ada program kerja yang bertujuan untuk memberitakan Injil Yesus Kristus.
Susahnya sekarang orang banyak berlomba-lomba membangun gedung gereja yang prestisius. Ketika gedung masih kecil tidak ada perkelahian, tapi semakin besar semakin bermunculan ketidak harmonisan karena dipacu oleh kepentingan materi dan keuntungan. Kemudian, pelayanan gerejawi pun terabaikan. Tanpa terorganisirnya gereja dengan baik maka dapat berdampak buruk pada penatalayanan kehidupan gerejawi. Intinya harus berangkat dan berdasarkan kekudusan. Bagaimana orang yang tidak anggota gereja tapi mereka bersekutu di dalam nama Yesus Kristus? Tidak dapat kita campuri. Tapi yang penting adalah bagaimana gereja melaksanakan pelayanannya dengan tetap memperhatikan “iklim” di luar gereja. Kepentingan kita adalah bagaimana peraturan gereja bertujuan untuk kesejahteraan umat di dalam rohani dan jasmani anggotanya dan masyarakat. Tugas bersaksi, bersekutu dan melayani harus tetap dilakukan baik ke dalam dan keluar gerjea. Tentang aliran-aliran kepercayaan, mereka juga harus diorganisasikan agar tidak berdampak negatif, bagaimana kita menyikapinya? Ya semestinya diorganisir sehingga pemerintahpun dapat dimudahkan untuk mengawasinya. Tapi kita juga harus waspada bahwa banyak oknum mengaku kristen untuk merusak citra kekristenan sehingga dibenci. Kepeduliaan kita adalah bagaimana kita berhati-hati dan bekerjasama dengan pemerintah untuk menertibkan kelompok2 aliran sehingga tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarkat.
Berkaitan dengan Perjamuan Kudus, Marin Luther mengatakan bahwa ketika kita menerima roti dan anggur yang disertai firman Tuhan dan diterima di dalam iman maka roti dan anggur adalah tubuh dan darah Yesus Kristus. Bbukan sebagai lambang dan simbol semata.

 Konfesi Augsburg 1530 Artikel XVII
READ MORE - NOTULENSI SEMINAR KONFESI AUGSBURG 1530 HKI

ketertarikan para sobat