_BERSUKACITALAH & MENURUTSERTAKAN DIRI UNTUK MENGHADIRKAN SERTA MEMPERTAHANKANNYA_

Monday, August 1, 2011

Yohanes 6: 30-35: Kenyang Menerima Roti Hidup Bukan Berarti Tidak Ada Penderitaan

Peristiwa itu...(ayat 29-35)
Kehendak Allah agar manusia datang dan percaya kepada Anak Manusia yang Dia utus supaya manusia memperoleh keselamatan. Namun, orang banyak itu, (mewakili banyak manusia yang mengalami pengalaman eksistensi yang sama sebagai manusia di tengah suatu bangsa lintas waktu, hingga saat ini) mempertanyakan kepada Anak Manusia itu, “Apa yang dapat Dia perbuat kepada mereka agar percaya kepadaNya?”.  Tidak hanya itu saja, merekapun memperbandingkan kehidupan para nenek moyang mereka ketika bersama Musa. Nenek Moyang mereka memperoleh makan Manna (Keluaran 16: 1-36) yang diyakini mereka turun dari Sorga oleh karena Musa. Lalu, apa lebihnya dengan Anak Manusia itu sehingga mereka harus percaya kepadaNya? Begitulah, akhirnya Anak Manusia memberikan penegasian dan jawab dari pemberbandingan dan pertanyaan orang banyak itu, bahwa bukan Musa yang memberi para nenek moyang mereka makan dengan roti dari Sorga, melainkan BapaNya yang telah mengutus Anak Manusia itu sendiri. Dan sekarang lewat Anak Manusia itu juga akan memberikan Roti Hidup bagi setiap orang yang datang dan percaya kepadaNya. Nah, jika begitu berikanlah kami Roti itu selamanya (biar kami percaya kepadaMu, Anak Manusia, bagaimana?), kata orang banyak kepada Anak Manusia itu. “Akulah Roti Hidup itu. Siapa yang datang dan percaya kepadaKu tidak akan lapar dan haus lagi”, aku Anak Manusia yang tak lain adalah Yesus Kristus (yang oleh orang banyak itu kenal sehari-hariNya adalah Yesus anak Yusuf si Tukang Kayu, orang miskin dan juga tidak memiliki akses kepada penguasa. Pokoknya samalah seperti mereka, orang banyak itu).

Itulah dialog yang terjadi di Kapernaum. Antara Yesus dan banyak orang yang menjadi “musafir” dengan mengarungi perairan Yam Kinnet, dari Galilea menuju Kapernaum untuk mencari dan akhirnya menemukan Yesus untuk mengalami kembali banyak karya mujizat Yesus yang membuat mereka kagum dan bersenang hati. Selain pengalaman baru bagi penglihatan mereka yang selama ini hanya menikmati pertunjukkan penderitaan oleh kehadiran penjajahan Kaisar Romawi di tanah pertiwi mereka, apa yang dibuat Yesus juga membuat mereka dapat merasakan kekeyangan dari rasa lapar akan makanan. Yang selama ini hasil tanah dan air mereka tidak dapat mereka nikmati dengan merata sama seperti saudara-saudara sebangsa mereka yang hidup mewah dan berkelebihan yang dilindungi oleh kekuasaan para penjajah karena teralienasi oleh keterasingan sosial dan identitas sebangsa dan setanah air, sedarah dan bersaudara.

Awalnya...
Tentang Galilea (tempat yang mengawali semua peristiwa dialog ini, Yohanes 6:1-15) merupakan daerah ekspor perikanan yang termasyur di seluruh daerah kekaisaran Romawi. Terletak di pinggiran Danau Galilea. Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru Danau Galilea dikenal dengan banyak nama. Bilangan 34:11 disebut dengan Kineret (wilayah suku Naftali, Zebulon, dan Isakhar; suku yang terkecil dan hampir dianggap tidak ada); Yosua 12:3 dikenal dengan Kinerot, dan dalam Lukas 5:1 dan Yohanes 21:1 disapa dengan Genesaret dan Tiberias. Dalam bahasa Ibrani familiar dikenal sebagai Yam Kinneret. Bermuaranya Sungai Yordan dari sebelah Utara membedakan Danau Galilea yang dikenal juga dengan Laut Galilea dengan panjang 21 km dan lebar 11 km yang berada 211 m di bawah permukaan laut dengan Laut Mati. Danau ini mengandung air tawar sehingga memungkinkan untuk usaha perikanan di sepanjang pesisirnya. Meskipun begitu, menurut catatan Markus di beberapa wilayahnya ada juga perbukitan, di bagian Timur daratannya berlereng-lereng dan berjurang (Markus 5:13). Hanya saja, soal kesejahteraan masyarakatnya tidak merata. Masyarakat kemudian dinilai atas kuat dan lemah; kaya dan miskin; dan minoritas dan mayoritas. Begitulah akhirnya, ketika Yesus mengawali karya keselamatanNya di Galilea, Dia berjumpa dengan banyak orang-orang yang terasingkan dari kehidupan sosial masyarakat. Golongan masyarakat yang tidak memiliki hak kepemilikan atas hasil bumi pertiwinya sendiri banyak dijumpai oleh karena keterbatasan akses mereka dengan penguasa negeri (sepertinya hampir tidak jauh berbeda dengan yang dipertontonkan di negeri ibu pertiwi ini). Kayaknya juga, istilah The Survival of The Fittest (yang bertahan adalah yang kuat) menjadi motto penduduknya dengan sokongan para penjajah Romawi, hingga hari ini hampir sama dengan yang terjadi di bumi pertiwi bangsa tercinta, Indonesia dengan kaum elit politik, pengusaha, teknokrat dan elit-elit lainnya penguasa bangsa ini yang menjadi “penentu” bagi jutaan nasib rakyat yang tidak beruntung oleh segala keterbatasannya. Sadar tidaknya kita, dengan bercermin dari keadaan realitas bangsa ini sepertinya Tuhan sudah menjadi “pengangguran” di atas ciptaanNya sendiri, sama dengan jutaan penduduk negeri ini yang bau, miskin, pengangguran, tidak berpendidikan, sakit-sakitan di atas melimpahnya hasil bumi pertiwinya yang tidak dapat dinikmati dengan merata sebagai dampak dari kealpaan rasa kemanusiaan para elit penguasa negeri ini. Sebenarnya Tuhan bukan mati, melainkan nganggur (God is not Death, but God is Unemployed). Bagaimana Tuhan tidak nganggur, karena sudah langka manusia di negara ini yang tidak lagi mau taat dan setia dalam melakoni perannya sebagai patner Tuhan melestarikan, memperadabkan, dan mengisi dengan mengembangkan keindahan bumi ini dengan segala isinya.

Kesamaan konteks yang ada dalam teks uraian Yohanes ini dengan keberadaan bangsa kita hari ini, menghantarkan banyak orang itu (orang Galilea, yang juga mewakili gambaran orang-orang dari negeri ini) mencari Yesus bukan karena mereka percaya bahwa Yesus adalah Anak Manusia yang Allah utus itu lewat banyaknya karya Yesus yang sebelumnya mereka telah rasakan. Melainkan mereka bela-belain mencari Yesus hingga ke Kapernaum semata-mata dengan satu tujuan agar mereka tidak lapar lagi. Kebutuhan mereka terpenuhi. Pokoknya tidak lapar lagi (bdn. Yohanes 6:26). Setelah itu bolehlah untuk percaya kepada Yesus bahwa Dia adalah Anak Manusia yang di utus Allah. Bahkan untuk melakukan apa yang dideskripsikan Yesus dalam ayat 27-29 dengan senang hati akan dilaksanakan. Hingga tetes darah  terakhirpun jadilah, yang penting memperoleh manna yang sama dinikmati para nenek moyang mereka (bdn. ayat 30).

Kemudian...
Adalah tabiat manusia untuk terlebih dahulu memperhitungkan dan mencari keuntungan dari apa yang akan dikerjakannya. Apa dulu yang diterima baru ada ketaatan, kepatuhan, loyalitas, dan kebersaudaraan. Lihat saja pengalaman M. Nazzaruddin (yang akhir-akhir ini mengalahkan ketenaran Presiden SBY) dengan Anas Ubaningrum, dari saudara bahkan teman sejati menjadi musuh besar karena telah pecah kepentingan dan keberuntungan dalam “bagi-bagi” APBN (untuk APBN, masih katanya, belum terbukti demi hukum, atau memang tidak akan terbukti; ecek-eceknya biar semua aman)  untuk kepentingan masing-masing.

Demikianlah orang banyak itu datang kepada Yesus. Lewat dialog dengan Yesus diperlihatkan kepada kita sekarang bahwa mereka datang bukan karena percaya, melainkan karena keinginan pemenuhan kebutuhan mereka; nah setelah ada untung, kalau mau percaya ya silahkan saja. Untuk percaya harus dibayar dengan apa dulu yang mau diberikan Yesus, kira-kira begitulah tuntutan mereka. Percaya sama dengan bekerja harus ada syaratnya, untung atau rugi. Sangat disayangkan, bahwa mereka bekerja (mencari Yesus jauh-jauh) untuk makanan yang akan habis, bukan untuk makanan yang bertahan hingga kepada hidup yang kekal (ayat 27). Padahal Yesus mau mereka (dan kepada kita saat sekarang ini) adalah datang kepada Yesus  dan percaya Dialah Anak Manusia dan memperoleh keselamatan.

Hidup Beriman...
Sesungguhnya kehidupan beriman tidaklah demikian. Ada deal-deal (kesepakatan-untung rugi) baru percaya atau tidak. Kehidupan beriman kita adalah sepenuhnya buah dari pekerjaan Allah yang mau memberikan diriNya untuk ditemukan oleh manusia dengan segala keberdosaannya. Dan oleh kebersediaan kasihNya kita boleh percaya dan memperoleh keselamatan yang dibawa oleh Anak Manusia, Yesus Kristus. Semua itu adalah pekerjaan Allah di dalam anugerah yang diberikan kepada kita. Bukan karena syarat-syarat yang kita tawarkan kepada Allah, sehingga kita diselamatkan di dalam Tuhan Yesus Kristus. Hidup dalam keselamatan di dalam Yesus Krisus itulah yang dengan anugerahNya menghantarkan kita pada berkehidupan yang tidak akan merasakan lapar dan haus lagi. Sebagaimana dinyatakan Yesus, bahwa Dialah Roti Hidup itu, siapa yang datang dan percaya tidak akan lapar dan haus lagi (ayat 35).

Tentang Roti Hidup dan Kita...
Menerima Yesus sebagai Roti dan Hidup berarti hidup dalam keselamatan. Hidup dalam keselamatan berarti hidup berkelimpahan alias tidak kelaparan. Apakah benar hanya dengan datang dan percaya kepada Yesus kita tidak akan kelaparan? Ya. Tetapi, bukan berarti manusia tidak membutuhkan lagi makanan, tetap butuh. Hanya saja, dengan datang dan percaya kepada Yesus, manusia tidak lagi dikuasai oleh makanan. Hidupnya bukan lagi semata-mata untuk mencari makanan dan menjadi kenyang (bdn. ayat 26b). Hidup tidak lagi sebatas kenyang, melainkan hidup untuk pekerjaan Allah. Artinya, hidup sebagai Imago Dei. Hidup sebagai Patner Allah di dalam pekerjaan Yesus, Anak Manusia yakni menjadi rekan sekerja Yesus mewujudkan keharmonisan derap langkah kehidupan seisi bumi.

Bagaimana? Dengan datang dan percaya kepada Yesus, hidup manusia tidak lagi sebatas untuk pemenuhan kepentingan perut dan nafsu (pakaian mahal, tempat tinggal menjulang ke tanah (untuk mengimbangi rumah-rumah yang menjulang ke langit dewasa ini dengan pelbagai kelengkapannya yang serba lux, prestise dengan status sosial superior, dan kekuasaan). Melainkan menjadi patner Yesus yang ikut serta untuk menguasai alias mengusahakan bumi (Kejadian 1:28) dengan di antaranya: menjadi teman bagi orang-orang yang tidak beruntung oleh keabsenan keadilan di setiap sendi kehidupan bangsa ini; menjadi teman bagi mereka yang teralienasi oleh hilangnya kepekaan sosial terhadap sesama; menjadi pribadi-pribadi dengan tangan dingin untuk menimalisir kerusakan lingkungan hidup – jika tidak lagi dapat untuk diperbaharui; menjadi pribadi-pribadi yang menjadikan kerukunan di tengah keluarga, masyarakat dan terutama di Gereja sebagai nafas hidup keberimanan; dan menahan diri untuk menjadi penguasa-penguasa baru yang tak pernah puas akan hak kepemilikannya, melainkan membiarkan diri menjadi pengawal keharmonisan peradaban kehidupan.

Inilah Roti Hidup itu, yang dengan menerimanya manusia yang datang dan percaya pada Yesus tidak akan mengalami kelaparan dan kehausan lagi. Bagaimana bisa? Sebab semua yang di dalamNya akan selalu merasa berkecukupan dengan kepemilikan yang diberikan Allah, tanpa lagi harus menambahinya dengan usaha-usaha yang ditawarkan si Jahat Iblis lewat setiap kesempatan yang ada pada pekerjaan setiap manusia dimana Allah mengembankannya kepada kita sebagai alat mengusahakan bumi dan isinya. Niscaya dengan begitu, setiap orang akan dapat secara merata menikmati hasil isi bumi sebagai hasil ciptaan Allah yang adalah melimpah dan baik adanya. Mulai dari tukang becak, pemulung sampah dan barang bekas, tukang sepatu di pinggiran jalan, tukang bangunan, penambal ban, hingga pejabat teras pemerintahan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta tidak lupa para ustad dan pendeta. (Untuk yang terakhir disebut penting agar tidak ada lagi kedengaran ada yang ribut-ribut hanya persoalan mutasi tempat pelayanan, hingga perebutan status sehingga berdampak pada “mangkirnya” tujuan utama tugas dan kewajibannya sebagai para punggawa kehidupan spritual di tengah hidup beriman jemaat Tuhan. Sebab, sesungguhnya rentannya kuasa kejahatan termanifestasi di tengah-tengah masyarakat dan bangsa ini tak lain ekses dari keringnya kehidupan beriman yang bermuara pada terendapnya kekuatan moral untuk mengatakan tidak pada usaha-usaha kejatahan. Sepertinya perlu reorientasi atas eksistensi keberagaman keberagamaan di tangan para pemimpinnya di Tanah Ibu Pertiwi ini. Sudahkah hadir terutama sebagai landasan kehidupan bermoral atau malah menjadi alat pemuasan perut dan nafsu). Maka, tidak ada lagi penilaian manusia terhadap sesamanya atas lemah dan kuat; besar dan kecil; minoritas dan mayoritas dan banyak lagi perbandingan nilai-nilai yang dianut masyarakt di tengah bangsa ini yang tidak jarang menimbulkan kekerasan horinzontal.

Menerima Roti Hidup adalah Cinta tanpa Syarat...
Cinta tanpa syarat itulah menerima Roti Hidup. Untuk datang dan percaya supaya menerima Roti Hidup itu, tentunya bukan didasarkan oleh tawar-menawar dengan Allah. Yang dibutuhkan adalah kesadaran bahwa Allah telah dengan inisiatifNya saja berkenan untuk ditemukan manusia dengan keberdosaannya dan kemudian menerima keselamatan. Dengan adanya kesadaran sedemikian itu, maka akan menghadirkan kebersediaan diri manusia untuk selalu berupaya mencari dan menemukan Yesus sebagai Roti Hidup (pekerjaanNya) di setiap dimensi kehidupan manusia. Itulah manifestasi syukur dan respon manusia atas Anugerah yang Allah berikan. Dengan begitu, mencari dan menemukan Yesus bukan lagi untuk “kenyang” versi orang banyak di Galilea di zaman Yesus itu sebagai sebuah syarat. Melainkan, untuk memperoleh kekeyangan spritual di dalam keselamatanNya. Tentunya “keyang spritual” akan menghantarkan manusia tidak menjadi manusia yang lapar akan pemenuhan hawa nafsu semata di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi menjadikan manusia yang bersahaja, penuh keharmonisan, pemersatu. Pokoknya bisalah menghadirkan manusia-manusia yang hidup di dalam Roh seperti yang Yesus kehendaki lewat tulisan surat Paulus kepada jemaat Galatia (Galatia 5:22-26). Diberkati untuk memberkati. Itulah kenyang untuk mengeyangkan di dalam karya keselamatan Yesus yang adalah Roti Hidup itu.

Menerima Roti Hidup: Keyang bukan berarti tidak ada penderitaan...
Datang dan percaya Yesus sebagai Roti Hidup sama dengan kenyang dan tak haus lagi. Bukan berarti tidak ada penderitaan. Malah akan semakin banyak dan rumit. Sebab, mencari dan menemukan Yesus bukan berarti bebas dari penderitaan oleh karena hiruk pikuk dan tantangan kehidupan, himpitan hidup, kekecewaan hidup, disharmonisasi, kepahitan hidup, dan ketidakbersahajaan hidup yang bisa saja terakumulasi menjadi chaos (kekacau balauan) hidup. Menerima Roti Hidup bukan untuk terbebas dari semua itu. Melainkan inilah kebahagiaan itu, yakni bersama-sama dengan Kristus diikutsertakan berjuang mengatasi semua kekacauan hidup itu. Menjadikan kita mampu bertahan dan tidak goyah (Kisah Para Rasul 15:28) dengan apa yang diperhadapkan dunia dengan hegemoninya yang jikalau tidak kuat bisa membuat kita menderita neorosis hingga psychosis (Neorosis merupakan keruwetan hidup (jiwa) yang tidak dapat dikontrol oleh manusia karena ia tidak mengetahui penyebabnya. Misalnya marah-marah, bernyanyi dengan nyanyian itu-itu saja tanpa disadari, ngomong tentang itu-itu saja, keresahan tak menentu dll. Psychosis merupakan neorosis akut yakni kegilaan, sakit jiwa).

Menerima Yesus sebagai Roti Hidup artinya denganNya kita akan selalu diyakinkan dan menjadi pemenang yang sanggup bertahan (standhood) menghadapi serangan si Jahat Iblis dengan kegemerlapan duniawi. Tujuan si Jahat Iblis hanya satu, yakni memporak-porandakan kehidupan kita. Mencuri satu persatu berkat-berkat Allah dalam hidup manusia sehingga menimbulkan misalnya rumah tangga yang tak kunjung harmonis, generasi muda jatuh dalam cengkraman Narkoba dan Penyakit sosial masyarakat lainnya, ketidakpuasan akan apa yang dimiliki, perseteruan dalam pekerjaan, perpecahan dalam masyarakat bahkan hingga ketengah-tengah kehidupan gereja, dll.

Roti Hidup yang Menyempurnakan hidup...
Yesus sebagai Roti Hidup menghantarkan kita kepada kesempurnaan hidup. Allah mau kita berhasil menikmati kehidupan yang Dia berikan beserta mengusahakan isi bumi yang Dia ciptakan. Untuk itulah Allah melalui Anak Manusia yang diutusNya, di dalam Yesus, mau memberikan kita Roti Hidup. Maka, mari datang dan percayalah. Terimalah dan “makanlah”, sebab Allah di dalam Yesus akan menyempurnakan hidup kita. Bukankah Allah menghendakinya, yakni supaya setiap orang yang melihat Anak Manusia dan percaya kepadaNya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Anak Manusia membangkitkan orang percaya pada akhir zaman (bdn. ayat 40).

Terpujilah Jahowa di dalam Yesus Tuhan. Amin.
Doa: Mazmur 119: 9-16

No comments:

Post a Comment

ketertarikan para sobat