_BERSUKACITALAH & MENURUTSERTAKAN DIRI UNTUK MENGHADIRKAN SERTA MEMPERTAHANKANNYA_

Thursday, November 12, 2009

SPRITUALITAS

SPRITUALITAS


Dari dulu hingga sekarang masih banyak orang yang menggunakan istilah "kerohanian" untuk menunjuk pada hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan. Akan tetapi sekarang ini semakin disadari bahwa istilah itu sudah tidak memadai lagi. Karena istilah itu kerapkali dipahami secara keliru atau kurang tepat. Apalagi kerohanian dengan mudah dipahami sebagai lawan dari kejasmanian. Alkitab tidak pernah membuat pembedaan antara hal yang rohani dengan yang jasmani. Pembagian tersebut adalah warisan dari pemikiran filsafat platonis yang tidak dikenal dalam Alkitab kita. Di samping itu istilah rohani juga dengan mudah membuat orang punya kesan seolah-olah yang dibicarakan hanya masalah batin saja, atau malahan hal-hal yang bersifat emosional. Atau tidak jarang juga orang memahami kerohanian semata-mata dalam kaitan dengan ritual atau devosional, seperti misalnya: menghadiri kebaktian Minggu, mengikuti kegiatan PA atau Persekutuan, membaca Alkitab dan berdoa secara pribadi, atau melakukan doa-puasa.



Spiritualitas Dasar Pembangunan Gereja


Misi gereja dilaksanakan di tengah-tengah situasi yang senantiasa berubah dan berkembang. Karena itu, untuk melaksanakan misinya dengan baik, gereja dalam keseluruhan dan keutuhannya dipanggil untuk terus-menerus melakukan pembangunan gereja. Yang dimaksudkan dengan istilah "pembangunan" dalam "pembangunan gereja" bukan dalam arti pembangunan fisik (misalnya pembangunan gedung gereja atau pembangunan rumah ibadat). Arti istilah "pembangunan" di sini, mengacu terutama pada istilah "oikodome" dalam Perjanjian Baru, adalah pembangunan spiritual dalam pengertian yang seluas-luasnya, sebagai tugas dari persekutuan Kristiani secara utuh dan menyeluruh. Pada hakikatnya Allah adalah Pelaku Utama dalam pembangunan gereja. Namun, karena Allah telah memilih dan berkenan memakai umatNya sebagai rekan sekerjaNya, secara konkret dan operasional, gereja menjadi pelaku pembangunan gereja. Yang dimaksudkan dengan gereja dalam hal ini adalah seluruh anggota dan pejabat gerejawinya, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sebagai kesatuan. Spiritualitas adalah dasar Pembangunan Gereja. Partisipasi spritualitas mengaktifkan hidup beriman dan orientasi iman jemaat. Iman yang sering mereka ungkapkan dalam konteks masyarakat, dihayati secara perorangan dan secara kontekstual. Ungkapan iman itu kiranya merupakan titik tolak bagi perkembangan spiritualitas. Maka perlu bahwa kita menjadi peka terhadap ungkapan iman itu.



Dimensi Spiritualitas
Tapi, apakah spiritualitas itu? Kata "spiritualitas" berasal dari kata Latin "spiritus" yang dapat diartikan sebagai "roh, jiwa, sukma, nafas hidup, ilham, kesadaran diri, kebebasan hati, keberanian, sikap dan perasaan". Eka Darmaputera mengartikan "spiritualitas" itu dengan pengalaman agama (religious experience). Pengalaman berjumpa dengan Yang Illahi, Sang Maha Lain (the Wholly Other), Sang Kudus (The Sacred) sehingga menimbulkan suatu perasaan mysterium fascinans et tremendum, suatu perasaan misterius yang susah dilukiskan karena ia merupakan campuran dari perasaan gentar namun juga penuh pesona yang amat memukau. Sama seperti yang dialami oleh Petrus dan kedua orang rekannya yang lain ketika mereka menyaksikan Yesus yang berubah wajah dan pakaianNya dan tengah berbincang-bincang dengan Musa dan Elia (Mat. 17:1-13).



Pengalaman ini tidak mungkin ditularkan ataupun diturun-alihkan, karena ia merupakan suatu pengalaman yang amat pribadi. Penerusan pengalaman itu hanya mungkin dilakukan melalui agama beserta dengan tradisinya. Pengalaman agama hanya terjadi satu kali saja, sama seperti api cukup sekali dinyalakan. Tugas kita adalah menjaga agar kehangatan api itu terus dapat dirasakan untuk jangka waktu yang lama. Untuk itu pengalaman agama tersebut haruslah senantiasa direvitalisasikan, disegarkan kembali, yaitu melalui keikutsertaannya dalam ibadah (ritual) dan dengan cara selalu memperbarui relevansi dari (doktrin, dogma) agama itu sendiri. Tanpa relevansi tersebut hangatnya api akan hilang dengan sendirinya, dan agama hanya akan tinggal menjadi abu saja.



Bila spiritualitas itu dikaitkan dengan kekristenan, maka hal itu menunjuk pada intensitas atau kedalaman hubungan orang itu dengan Roh Kudus yang menjadi landasan dan sumber pembentukan jati dirinya yang dinampakkan dalam sikap dan perilaku hidupnya terus menerus. Dengan kata lain bahwa hubungan seseorang dengan Roh Kudus akan menentukan kehidupan etika orang itu.



Spiritualitas tidak lain adalah suatu komitmen religius, suatu tekad dan itikad yang berkaitan dengan hidup keagamaan. Dalam hal ini ada 5 dimensi dari spritualitas, yaitu:


  1. Dimensi kepercayaan (belief), yaitu keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran imannya. Tak pelak lagi, ini merupakan unsur yang amat penting dalam kekristenan, bahkan juga di agama-agama lain. Tanpa keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran iman, tentu seseorang tidak akan menjadi bagian dari komunitas orang beriman tersebut, misalnya bila seseorang tidak percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat manusia, maka tidak mungkin ia menjadi seorang anggota gereja.
  2. Dimensi praktis, terdiri dari dua aspek yaitu ritual dan devosional. Ritual diuraikan sebagai suatu ibadah yang formal, seperti menghadiri kebaktian Minggu, menerima sakramen, melangsungkan pernikahan di gereja. Secara asasi ritual adalah bentuk pengulangan sebuah pengalaman agama yang pernah terjadi pada masa awal pembentukan agama itu sendiri. Sedangkan yang dimaksudkan dengan devotional adalah ibadah yang dilakukan secara pribadi dan informal, seperti misalnya berdoa, berpuasa, membaca Alkitab.
  3. Dimensi pengalaman (experience), yaitu pengalaman berjumpa secara langsung dan subyektif dengan Allah. Atau dengan kata lain, mengalami kehadiran dan karya Allah dalam kehidupannya. Pengalaman keagamaan ini (religious experience) bisa menjadi awal dari keimanan seseorang, tetapi juga bisa terjadi setelah seseorang mengimani suatu agama tertentu. Entahkah pengalaman itu berada di awal ataupun di tengah-tengah, pengalaman ini berfungsi untuk semakin meneguhkan iman percaya seseorang.
  4. Dimensi pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan tentang elemen-elemen pokok dalam iman keyakinannya, atau yang sering kita kenal dengan dogma, doktrin atau ajaran gereja. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan dimensi pertama (kepercayaan). Seseorang akan terbantu untuk menjadi semakin yakin dan percaya apabila ia mengetahui apa yang dipercayainya.
  5. Dimensi etis, di mana umat mewujudkan tindakan imannya (act of faith) dalam kehidupan sehari-harinya. Dimensi etis ini mencakup perilaku, tutur kata, sikap dan orientasi hidupnya. Dan hal ini tentu saja dilandasi pada pengenalan atau pengetahuan tentang ajaran agamanya dan percaya bahwa apa yang diajarkan oleh agamanya adalah benar adanya.

Idealnya sebuah kehidupan spiritualitas yang baik dan dewasa adalah bila ke 5 dimensi tersebut berkembang secara seimbang. Sama seperti perkembangan kehidupan manusia. Seorang dikatakan dewasa dan matang, tentu bukan semata-mata karena ciri-ciri fisiknya (sudah tumbuh tinggi besar, keluar jenggotnya, suara yang membesar dsb), tetapi juga akan diukur dari kematangan emosionalnya, kearifannya, dan perilakunya. Oleh karena itu pembangunan spiritualitas tidak bisa hanya menekankan satu aspek saja. Kelima dimensi spiritualitas itu harus mendapatkan perhatian yang sama.
Semoga saja! Soli Deo Gratia...!



Bacaan:
  • Eka Darmaputera: "Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar", dalam Jurnal Teologi dan Gereja PENUNTUN, vol. 3, no. 12 (Juli), Jakarta: Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, 1997.

No comments:

Post a Comment

ketertarikan para sobat