_BERSUKACITALAH & MENURUTSERTAKAN DIRI UNTUK MENGHADIRKAN SERTA MEMPERTAHANKANNYA_

Wednesday, February 8, 2012

DATANG KEPADA TUHAN? (Yesaya 40: 21-31)

0 comments


Menelisik Kitab Yesaya kita menemukan beberapa hal yang penting yakni:
  1. Proto Yesaya. Dalam pasal 1-36 tercantum nubuat-nubuat yang pada umumnya (pasal 13-14; 24-27; 33-35 yang mungkin ditambahkan kemudian) diucapkan oleh Yesaya bin Amos, seorang dari kalangan atas, yang hidup di Yerusalem antara 740 dan 700 selagi Assur berpengaruh di Palestina. Nabi Yesaya menentang kebijakan luar negeri raja Yehuda yang bersekutu dengan Mesir menghadapi Assur, dan menuntut agar Umat Allah (bangsa Israel) mengharapkan kekuatan daripada Allah saja. Kalau tidak maka Yehuda akan musnah (bd. Yesaya 8:5ff)
  2. Deutro Yesaya. Pada pasal 40-55 firman Allah dialamatkan kepada orang-orang buangan di Babel beberapa tahun sebelum kerajaan Babel jatuh ke tangan Raja Parsi (Persia), Koresy (538 sM). Raja Koresy disebut sebagai “orang yang diurapi” karena Allah memakainya untuk melepaskan bangsa Israel kembali ke negeri asalnya.
  3. Teutro Yesaya. Nah, pada pasal 56-66 pada umunya membawa firman Allah kepada umat yang telah pulang dari pembuangan dan yang hidup di bawah kuasa Parsi di Tanah Perjanjian itu.
Tentang Pasal 40-55 dialamatkan kepada orang-orang buangan di Babel:
  1. Siapakah orang-orang buangan itu? Menurut suatu catatan pada penutup kitab Yeremia (52:28-30), ada 4.600 orang Yehuda dibawa ke Babel dalam tiga gelombang antara tahun 598 dan 582 sM. Ada kemungkinan ini adalah jumlah kaum prianya saja, sehingga jumlah jiwa keseluruhan dapat mencapai 15 sampai 20 ribu orang. Mengingat bahwa anggota keluarga ikut dipindahkan. Orang-orang buangan ini terdiri dari semua golongan masyarakat yang ada di Israel. Di Babel mereka diizinkan untuk mendirikan rumah dan bertani/beternak dab berdagang. Hanya untuk kehidupan agama dan budaya dibatasi oleh pemerintahan Babel. Dan pada waktu-waktu tertentu mereka harus melaksanakan kerja rodi untuk pembangunan kota Babel. Pasti, sama dengan semua orang yang pernah mengalami penjajahan dan dibuang, mereka mengingat-ingat akan kebesaran bangsanya pada masa silam dan menginginkan kuasa Tuhan untuk membebaskan mereka.
  2. Bagaimana ceritanya hingga orang-orang Yehuda terbuang? Sejak abad ke delapan, kerajaan-kerajaan kecil di daerah Palestina dan Syria terjepit antara negara besar yang berganti-ganti meluaskan daerah pengaruh dan kekuasaannya. Demikianlah Kerajaan Selatan (Yehuda) mengalami pembuangan antara tahun 598 dan 582 sM oleh negara Babel yang memperluas kerajaannya yang berpusat di tepi sungai tigris dan efrat (Irak sekarang). Sedangkan Kerajaan Utara (Israel) jatuh ke tangan Assur dan mengalami pembuangan pada tahun 722 dan menandai berakhirnya cerita tentang sejarah Israel (Harry Wendt, Jalan Ke Tahta, Crossways International, 2005).
  3. Tahun 539 SM, Koresy Raja Persia menaklukkan Babel, dan memasukkan Babel menjadi bagian dari kerajaanya. Pada tahun-tahun Koresy berpengaruh inilah Yesaya (kedua) membawa firman Allah kepada orang-orang buangan di Babel antara 546 dan 538 sM. Pada saat itu orang Yahudi sudah menderita selama kurang lebih 40 tahun lamanya di bawah kuasa Babel.
Ada tiga janji atau jaminan yang Allah nyatakan bagi bangsa itu sebagai tanda berkatNya yang akan terus tercurah atas kehidupan mereka turun temurun, namun telah hilang sekaligus dari kehidupan mereka, yakni: Bangsa Israel sebagai bangsa pilihan dengan Bait Suci dimana Allah suka tinggal telah musnah; Allah sebagai tempat perlindungan abadi (bd. Yesaya 37:33-37; Mika 3:11 dan Yer. 7:4,10) telah sirna; dan Tahta Kerajaan runtuh, meskipun Allah pernah berjanji bahwa Ia akan berdiri untuk selamanya (bd. I Samuel 7: 12-16; Mzm. 89: 30-38 dan I Tawarikh 22:10). Oleh para nabi yang kemudian muncul pada abad ke tujuh dan keenam, malapetaka ini dilihat sebagai hukuman yang Tuhan sendiri jatuhkan atas umat yang telah melanggar kehendakNya. Penilaian ini kemudian dibenarkan juga oleh orang-orang Yahudi di Palestina (bd. Kitab Nudub = Pembukaan kitab Yeremia 1: 13-15; 4:8, 13, 16 dan cerita di dalam kitab Yehezkiel).

Datang kepada Tuhan?
Yeremia dengan jelas menggambarkan kondisi bangsa itu, “mereka kehilangan semangat” (bd. Yeremia 4:9). Benarkah Allah kemudian berdiam atas kehancuran bangsa pilIhanNya itu dan membuat mereka menjadi tidak berdaya? Tentu jawabannya TIDAK. Dalam Yesaya 40: 21-31 inilah, Yesaya membawa firman Tuhan yang memberikan pemulihan dan untuk membangkitkan bangsa Israel pada masanya dan bagi jemaat Tuhan hari ini dari ketidak berdayaan, kehancuran, penderitaan yang didera, dan semangat hidup yang sudah pupus.

Setiap orang punya alasan saat hendak atau sedang melakukan sesuatu. Ada banyak motif yang menyebabkan orang berlaku. Bahkan kuantitas dan kualitas pekerjaan seseorang akan turut ditentukan oleh motivasinya. Kita bisa begitu rajin dan giat bekerja, namun ada kalanya kita kehilangan semangat untuk melakukannya. Bisa saja penyebab di antaranya kehilangan semangat, vitalitas, tujuan, disorientasi, dukungan dari orang-orang di lingkungan kita bekerja, dll. Inilah yang pernah dialami bangsa Israel. Mereka mengalami keraguan, kehilangan semangat, motivasi, dan kehilangan kasih Tuhan atas kehidupan mereka. Bahkan mereka menganggap mereka sudah dilupakan Tuhan (Yesaya 40:27). Hal ini semakin diperparah dengan sulitnya kehidupan semasa pembuangan dan hancurnya bangsa besar yang mereka selalu agung-agungkan.

Ayat 21, “tidakkah kamu tahu, dengar, dan mengerti siapakah Allah itu?” Begitulah Yesaya kemudian datang secara tegas dan keras bertanya dengan gaya retorisnya mempertanyakan kembali kepada bangsa Israel tentang pengenalan mereka akan Tuhan mereka. Yesaya seolah kecewa dengan kondisi apatis, tanpa daya, kehilangan semangat dan merosotnya keteguhan kehidupan bangsa itu (Itu juga yang dipertanyaan bagi kehidupan jemaat sekarang di tengah pengalaman yang sama dengan bangsa Israel pada zamannya).

Mengalami kondisi sedemikian tentulah sangat sulit dan bisa berbahaya. Mari sekilas melihat apa yang terjadi dengan bangsa ini. Tidak jauh berbeda sepertinya, bahwa sebahagian besar masyarakat yang berjumlah lebih kurang 200 juta jiwa ini sudah kehilangan semangat hidup yakni hidup positif dan membangun. Tidak hanya dari kalangan kecil, bahkan sepertinya mayoritas dilakoni oleh kalangan menengah ke atas. Bangsa ini sudah kehilangan semangat hidup, disorientasi hidup (karakter), dan mengalami kekaburan makna berbangsa dan bernegara yang Pancasilais dan berdasarkan UUD ’45. Lihat saja dari indikasi-indikasi kecil yang kerap dipertontonkan bagi kita, misalnya semakin menurunnya kepercayaan masyarakat atas para elit pemimpin mereka baik di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif dan bahkan di lingkungan keagamaan, Ogahnya atau malasnya masyarakat untuk berperan aktif dalam membangun perpolitikan bangsa yang jujur, adil dan berwibawa (pemilu yang tidak menghadirkan kandater (para kandidat pemimpin-red) dengan kendaraan wibawa, kapabilitas, kejujuran, dapat dipercaya dan jiwa melayani, melainkan berkendarakan besar-besaran uang, tentu ini juga melibatkan masyarakat), kriminalitas yang terus menunjukkan angka kenaikan mulai dari yang dilakukan orang dewasa hingga anak-anak remaja, dan semakin langkanya hidup yang berjiwa toleran dan saling menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Ini semua tentu sudah lebih dari cukup menunjukkan bahwa bangsa ini juga sudah kehilangan semangat hidupnya. Mau tidak mau dengan kondisi yang tidak berubah, bangsa ini akan mengalami collapse dan bermuara pada kepunahan suatu bangsa. Bangsa ini membutuhkan pemulihan dari Tuhan lewat kesaksian hidup orang-orang percaya.

Mari perhatikan jika ini juga terjadi dalam kehidupan pribadi kita? Sama seperti yang dialami Ayub namun diakhir cerita ia kemudian mampu memenangkan “pertarungan” itu. Ayub 17: 1, “semangatku patah, umurku habis, bagiku hanya tersedia kuburan...”. Ini yang kerap terjadi dewasa ini dalam kehidupan orang-orang percaya. Bahwa ditemukan semakin melemahnya semangat juang, vitalitas iman, tujuan dan arah hidup, bahkan terjadi kekaburan prinsip hidup kekristenan. Semua dampak dari tawar-menawar kepentingan “perut” yang ingin berkelebihan, bukan berkecukupan (bd. Ibrani 13:5a, “cukupkanlah dirimu dengan apa yang engkau miliki...”). Eksesnya tidak hanya di ranah masyarakat dan berbangsa, melainkan juga merembes pada kehidupan persekutuan di dalam gereja. Lihat saja persekutuan di gereja yang makin hari bukan makin menjadi berkat melainkan tak jauh beda kondisinya dengan kehidupan bangsa ini. Di dalamnya di temukan kuantitas anggota jemaat yang semakin berkurang memberikan diri untuk pengembangan gereja, semakin menurunnya kepercayaan atas kapasitas pelayanan di gereja, semangat persekutuan semakin tereduksi oleh kepentingan dan kepongahan individu-individu yang haus nama dan prestise, mau tak mau gereja akhirnya disibukkan dengan bolak-balik perbaiki turun mesin,  dan tak jalan-jalan (maju-red). Bisa saja akhirnya gerejapun ikut-ikutan collapse dan terseok-seok menuju kepunahannya (perhatikan pengantar di atas terhadap sejarah punahnya bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah).

Pada dasarnya Allah menghendaki bahwa kehidupan kekristenan sebagai kehidupan yang tidak sekedar hidup. Melainkan penuh dengan gairah dan semangat hidup yang baik dan benar di hadapan Allah. Tentu semangat itu bersumber dari adanya Roh Kudus yang menaungi kehidupan iman kekristenan kita. Inilah causa yang menggerakkan orang-orang kristen untuk berbuat baik dan benar bahkan berkarya besar dalam hidupnya untuk mengisi kehidupan di sekitarnya.

Lewat firman Tuhan Yesaya 40:1-13, kita diingatkan bahwa:
  1. Segala kendala dan tantangan hidup yang kita temukan di setiap pertapakan langkah hidup yang terkadang memaksa kita untuk ekstra berjuang di dalam iman kepada Kristus. Dan bagi yang lemah daya juangnya bisa terseret dan tenggelam di “manisnya” kehidupan dunia. Ibaratnya di tengah pola hidup pragmatis dewasa ini, makan makanan dengan atau tanpa peksin (penyedap rasa) yang gencar diiklankan agar ibu-ibu memasak menggunakan peksin. Memang rasa makanan akan jauh kurang nikmat jika tanpa peksin, tentu butuh “perjuangan” alat perasa tubuh kita agar kemudian lambat laun menjadi nikmat. Akan tetapi, nilai perjuangan itu akan dibayar dengan perolehan kesehatan tubuh yang baik dan berdampak pada umur panjang dan kesukaan dalam menjalani hidup. Sebaliknya jika makan makanan dengan peksin, tentu akan menambah nikmat cita rasa makanan itu, dan tak perlu perjuangan si alat perasa kita, namun hasilnya kesehatan yang terseok-seok dan bermuara pada penderitaan oleh sakit penyakit dan umur pendek. Dalam perjuangan hidup di dalam iman kristen juga tidak jauh bedanya, dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan untuk tetap setia dan berlaku benar dan baik, di tengah tawar-menawar kepentingan “perut” yang disediakan dunia ini.
  2. Kita akan tampak dan dijadikan lemah oleh dunia ini, namun seperti yang dikatakan Paulus bahwa sebab jika aku lemah aku akan menjadi kuat di dalam kasih Allah (2 Korintus 12:9). Lihat juga pengalaman Yesus Kristus di Taman Getsemani (Luk. 22: 39:46). Yesus begitu lemah dan tak kuat untuk menahan tanggungjawab pengutusannya dari BapaNya, namun Ia setia, dan kemudian memperoleh kekuatan di dalam kasih BapaNya.
  3. Janji Allah bahwa Ia tidak akan pernah meninggalkan dan membiarkan kita sendiri (Ibr. 13:5b). Sebab Ia tidak akan pernah menjadi lemah dan lesu untuk menolong kita di atas kelemahan kita. Yesaya 40:29, “Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambahkan semangat kepada yang tidak berdaya”.
  4. Terakhir adalah, ingatlah jika beban hidup melanda, jika putus asa dan kesedian menerpa, datang kepada Tuhan dan nantikanlah kebaikannNya, dengan demikianlah kita akan mendapat kekuatan yang baru (Yesaya 40:31). Sebagaimana lirik dari lagu pujian Kidung Jemaat No. 439: 1-4, begitulah janji Tuhan bagi setiap orang percaya yang datang kepadaNya di dalam segala kondisi dan perjuangan hidup. Datang Kepada Tuhan Yang Memberi Kekuatan dan Semangat Hidup sebab perubahan bangsa ini terletak dari nilai perjuangan iman orang-orang percaya dan semangat hidup yang dimilikinya yang bersumber dari kasih Kristus akan menguatkan anak-anak Tuhan untuk hadir menjadi pribadi dan karakter yang mengubahkan kehidupan bangsa ini. Amen.
READ MORE - DATANG KEPADA TUHAN? (Yesaya 40: 21-31)

KENAL KAH TUHAN PADA KITA? (1 Korintus 8: 1 – 13)

0 comments

“ALLAH MENGENAL & MENGAKUI KITA 
DI DALAM NYATANYA KASIH KITA KEPADA KEHIDUPAN”

Hari ini kita menemukan banyaknya prilaku anggota masyarakat secara umum yang sepertinya hidup dengan motto: hidup semau gue. Tidak jarang kita membaca atau menyaksikan siaran televisi yang mempertontonkan hal itu. Pejabat teras negara yang korup seenak perutnya, warga yang penuh arogan menghakimi saudaranya yang berbeda agama dengannya, hukum yang meruncing ke bawah (masyarakat miskin) namun tumpul bagi konglongmerat dan penguasa, politik huru-hara untuk mengalihkan perhatian rakyat, sesama warga dan pengurus gereja yang sulit berdamai dan hidup dalam persekutuan indah untuk melayani Tuhan dengan benar dan baik, dan ragamnya prilaku yang mencerminkan gaya hidup di atas. Pertanyaannya, bolehkah orang-orang kristen mengikuti gaya hidup yang demikian?

Seputaran tahun 44 SM silam di Korintus[1], sebagai kota pelabuhan yang berkembang dengan budaya dan pengetahuan di atas rata-rata daerah-daerah di sekitarnya juga mengalami gaya hidup yang sama. Dimana jemaat Tuhan hadir di tengah heterogennya budaya dan agama, menemukan diri mereka harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya sederhana namun dapat menyesatkan dan merusak kehidupan rohani mereka.

Beberapa di antara pertanyaan-pertanyaan itu berkaitan dengan makanan dan gaya hidup. Yakni bolehkah orang kristen makan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala? Sebab ada kebiasaan makanan (daging) yang telah diberikan kepada berhala dijual kembali di warung-warung di sekitar kota itu. Dan, bolehkah orang kristen ikut dalam pesta dan makan bersama di dalam kuil berhala? Sebagaimana kebiasaan orang-orang korintus di waktu-waktu tertentu untuk berkumpul dan pesta bersama di dalam kuil-kuil berhala.

Demikianlah, Paulus menjawab dan menasehati orang-orang kristen di korintus lewat suratnya yang pertama tentang bagaimana semestinya orang-orang kristen berlaku atau menanggapinya. Pemikirannya dapat ditemukan secara luas dalam 1 Kor. 8: 1 – 10:33, Paulus menjawab perdebatan yang dimunculkan orang-orang korintus tentang daging “makanan” dan kegiatan-kegiatan lainnya yang mempertaruhkan antara kebebasan seseorang dan “pengetahuan” dan sikap hidup menahan diri (baca_toleransi) di dalam kasih Kristus.

Paulus mengakui bahwa orang-orang koristus adalah masyarakat yang berpengetahuan dan maju. Oleh karena itulah Paulus menjawab mereka dengan beranjak dari asas-asas umum yang mengena dengan kehidupan orang kristen yakni bahwa orang kristen adalah pribadi yang bebas, tetapi oleh pertimbangan-pertimbangan kasih Kristus yang dinyatakan dalam dirinya penggunaan kebebasannya menjadi dibatasi.[2]

Pada ayat 1:
Berangkat dari prinsip KASIH yang mesti dipraktekkan orang kristen di setiap zaman Paulus menyatakan bahwa orang percaya di dalam pengetahuan yang dimilikinya haruslah bertindak dengan kasih. Di dalam bertindak dengan kasih maka orang percaya akan dapat menahan dirinya atau menyangkal dirinya yang merupakan lawan dari sikap mempertahankan hak dan kebebasan pribadi di atas kebaikan untuk semua. Dengan menahan diri maka orang percaya dengan sendirinya akan mampu membatasi dirinya yakni membatasi kebebasannya sebagai pribadi yang bebas (freewill). Dengan demikian ia dapat menyingkirkan atau tidak mengikutsertakan dirinya terlibat pada segala kegiatan yang dapat menyakiti pribadi sesamanya. Penggunaan pengetahuan tanpa kasih akan bermuara pada kesombongan dan penghancuran sendi-sendi kemanusiaan, sebaliknya dengan kasih maka pengetahuan akan menjadi senjata pertama untuk membangun peradaban yang baik dan indah.

Pada ayat 2-3:
Setiap orang yang memaksakan haknya di dalam pengetahuan yang dimilikinya pada akhirnya akan melemahkan orang-orang di sekitarnya. Dan, sesungguhnya menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan. Tidak ada pengetahuan yang sempurna, namun di dalam kasih Allah ia disempurnakan untuk kebaikan kehidupan manusia. Jika kasih menjadi pertimbangan atas pelaksanaan pengetahuan maka kita akan menolak tindakan yang merugikan dan melemahkan orang lain. Demikianlah Allah mengenal dan mengakui kita di dalam kasih yang kita nyatakan terhadap kehidupan di sekitar kita. Benar kita memiliki pengetahuan (ei denai to = mengentahui sesuatu). Tetapi pengetahuan yang tidak dilandaskan kasih (agape) akan mudah menimbulkan kecongkaan, berpikir licik, jahat, dan destruktif. Sesungguhnya pengetahuan yang dilandaskan kasih akan mendorong setiap orang untuk mengutamakan, mengedepankan dan mengindahkan kebaikan demi orang lain. Dengan begitu Allah akan mengakui kita sebagai milikNya (houtos egnostai hup eutoo).

Pada ayat 4-6:
Di dunia benar banyak berhala[3] yang mengatasnamakan “allah” namun sesungguhnya mereka tidak berada dalam kebenaran Allah. Allah yang benar hanya ditemukan di dalam pengenalan yang benar dan baik di dalam Kristus. Si Iblis akan menuntun orang-orang yang lemah imannya kepada Kristus untuk terikat di dalam banyak berhala dan meninggalkan kebenaran di dalam Allah. Perhatikan bahwa iblispun percaya kepada Allah yang Esa (Yak. 2:19) namun mereka tidak berlaku benar di dalam Allah. Jika orang-orang percaya hanya percaya kepada Allah, itu tidaklah cukup. Hidup dan berjuang di dalam kebenaran Allah itulah yang diharapkan dari kita dan yang membedakan kita dari iblis. Dengan begitu di tangah banyaknya “allah dan berhala” di dunia ini, kita hanya percaya pada satu Allah di dalam Kristus Yesus.

Pada ayat 7-8:
Bukan makan atau tidak makan makanan yang dipersembahkan kepada berhala atau baik tidaknya hidup kita yang menetukan keberadaan kita di hadapan Allah. Namun, rasa bersalah dan telah merasa ternodalah yang membuat kita akhirnya semakin menjauh dari Allah dan kebenarannya ditambah oleh bujuk rayu si iblis dalam hidup kita. Perhatikan laku hidup Adam dan Hawa setelah mereka tahu kesalahan mereka dan telah menodai perjanjian mereka dengan Allah (Kej. 3: 10ff).

Pada ayat 9-12:
Berhati-hatilah terhadap pengetahuan yang kita miliki. Jangan biarkan pengetahuan di dalam kebebasan yang Allah berikan di dalam Kristus menjadi batu sandungan dan melemahkan orang-orang percaya lainnya. Sesungguhnya dengan begitu kita sudah jatuh ke dalam kesalahan ganda dalam hidup kita yakni kepada sesama juga kepada Kristus. Bagaimana bisa? Karena saudara (adelphos) kita yang masih membutuhkan tuntunan dan olehnya Kristus telah mati akhirnya menjadi binasa karena mengikuti sikap hidup kita yang semestinya dapat menjadi teladan baik bagi mereka. Darah Kristus yang tertumpah menjadi sia-sia oleh pengetahuan kita yang tak dapat menjadi tuntunan dan teladan bagi saudara-saudara kita.

Pada ayat 13:
Paulus merangkumkan semua jawabannya atas perdebatan orang-orang korintus terhadap orang-orang percaya di korintus bahwa segala sesuatu baik makanan atau kegiatan apapun itu yang selagi itu membuat saudara kita masuk ke dalam kebinasaan oleh karena dosa (menjadi batu sandungan), Paulus dengan tegas katakan “aku tidak akan melakukannya atau memakannya”. Inilah sesungguhnya nilai toleransi di dalam indahnya kasih yang telah kita rasakan dari Kristus Tuhan kita.

Maka, bolehkah orang kristen ikut-ikutan dengan gaya hidup semau gue di tengah zaman yang semakin ngawur? Sebagaimana Paulus lewat firman Tuhan mengajari dan mengingatkan kita, tentu jawabannya “aku tidak akan turut melakukannya”. Kasih Kristus mengajari kita hidup untuk menahan diri (toleransi) dengan mengindahkan kebaikan demi orang lain di dalam pengetahuan yang kita miliki. Sesungguhnya demikianlah kita menyatakan kasih kepada Allah yang telah mau mengenal dan mengakui kita sebagai milikNya. Terpujilah Tuhan!


[1] Kota Korintus yang dikirimin surat oleh Paulus bukanlah kota Korintus Kuno melainkan kota yang telah dibangun kembali oleh Julius Caesar pada tahun 44 SM setelah dihancurkan Romawi pada tahun 146 SM, yang kemudian dikenal sebagai pusat provinsi Romawi yakni Akhaya dibawah kepemimpinan Gubernur Galio. Kota ini dikenal dengan perkembangan pendidikan, budaya dan agama-agama hellenis (penyembahan kepada dewa-dewi). Tidak hanya itu, dampak negatif dari penyembahan dewi asmara (akrokorintus) dan dewa-dewa Romawi lainnya, kota ini di zaman Aristofanes kemudian dikenal sebagai kota abmoral terlebih dalam seksual yang juga banyak melibatkan orang-orang kristen di korintus.
[2] Oleh Marthin Luther kebebasan orang kristen disebutkan sebagai berikut: bahwa orang kristen bebas dari segala ikatan dan bukan hamba siapapun. Namun, orang kristen orang yang terikat. Artinya, orang kristen bebas dari segala sesuatu dan tidak menjadi hamba siapapun sebab di dalam Kristus orang percaya telah dibebaskan dan beroleh kebenaran. Tetapi, karena tubuhnya masih penuh hawa nafsu, maka ia harus dikekang dengan perbuatan yang baik dan benar di dalam aturan kasih Kristus. Namun, perbuatannya itu tidak mendatangkan/mengandung pahala atau amal atau agar memperoleh keselamatan. Sebab di dalam Kristus orang percaya telah memperoleh keselamatan. Itulah yang memampukannya berlaku benar dan baik di dalam kasih Kristus.
[3] Berhala pada konteks kekinian dapat dikonotasikan kepada haus kuasa, materialistis, perjinahan, kesombongan, ketamakan, dendam, iri, dengki, permusuhan dan sikap hidup destruktif
READ MORE - KENAL KAH TUHAN PADA KITA? (1 Korintus 8: 1 – 13)

ketertarikan para sobat