_BERSUKACITALAH & MENURUTSERTAKAN DIRI UNTUK MENGHADIRKAN SERTA MEMPERTAHANKANNYA_

Wednesday, February 8, 2012

KENAL KAH TUHAN PADA KITA? (1 Korintus 8: 1 – 13)


“ALLAH MENGENAL & MENGAKUI KITA 
DI DALAM NYATANYA KASIH KITA KEPADA KEHIDUPAN”

Hari ini kita menemukan banyaknya prilaku anggota masyarakat secara umum yang sepertinya hidup dengan motto: hidup semau gue. Tidak jarang kita membaca atau menyaksikan siaran televisi yang mempertontonkan hal itu. Pejabat teras negara yang korup seenak perutnya, warga yang penuh arogan menghakimi saudaranya yang berbeda agama dengannya, hukum yang meruncing ke bawah (masyarakat miskin) namun tumpul bagi konglongmerat dan penguasa, politik huru-hara untuk mengalihkan perhatian rakyat, sesama warga dan pengurus gereja yang sulit berdamai dan hidup dalam persekutuan indah untuk melayani Tuhan dengan benar dan baik, dan ragamnya prilaku yang mencerminkan gaya hidup di atas. Pertanyaannya, bolehkah orang-orang kristen mengikuti gaya hidup yang demikian?

Seputaran tahun 44 SM silam di Korintus[1], sebagai kota pelabuhan yang berkembang dengan budaya dan pengetahuan di atas rata-rata daerah-daerah di sekitarnya juga mengalami gaya hidup yang sama. Dimana jemaat Tuhan hadir di tengah heterogennya budaya dan agama, menemukan diri mereka harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya sederhana namun dapat menyesatkan dan merusak kehidupan rohani mereka.

Beberapa di antara pertanyaan-pertanyaan itu berkaitan dengan makanan dan gaya hidup. Yakni bolehkah orang kristen makan makanan yang telah dipersembahkan kepada berhala? Sebab ada kebiasaan makanan (daging) yang telah diberikan kepada berhala dijual kembali di warung-warung di sekitar kota itu. Dan, bolehkah orang kristen ikut dalam pesta dan makan bersama di dalam kuil berhala? Sebagaimana kebiasaan orang-orang korintus di waktu-waktu tertentu untuk berkumpul dan pesta bersama di dalam kuil-kuil berhala.

Demikianlah, Paulus menjawab dan menasehati orang-orang kristen di korintus lewat suratnya yang pertama tentang bagaimana semestinya orang-orang kristen berlaku atau menanggapinya. Pemikirannya dapat ditemukan secara luas dalam 1 Kor. 8: 1 – 10:33, Paulus menjawab perdebatan yang dimunculkan orang-orang korintus tentang daging “makanan” dan kegiatan-kegiatan lainnya yang mempertaruhkan antara kebebasan seseorang dan “pengetahuan” dan sikap hidup menahan diri (baca_toleransi) di dalam kasih Kristus.

Paulus mengakui bahwa orang-orang koristus adalah masyarakat yang berpengetahuan dan maju. Oleh karena itulah Paulus menjawab mereka dengan beranjak dari asas-asas umum yang mengena dengan kehidupan orang kristen yakni bahwa orang kristen adalah pribadi yang bebas, tetapi oleh pertimbangan-pertimbangan kasih Kristus yang dinyatakan dalam dirinya penggunaan kebebasannya menjadi dibatasi.[2]

Pada ayat 1:
Berangkat dari prinsip KASIH yang mesti dipraktekkan orang kristen di setiap zaman Paulus menyatakan bahwa orang percaya di dalam pengetahuan yang dimilikinya haruslah bertindak dengan kasih. Di dalam bertindak dengan kasih maka orang percaya akan dapat menahan dirinya atau menyangkal dirinya yang merupakan lawan dari sikap mempertahankan hak dan kebebasan pribadi di atas kebaikan untuk semua. Dengan menahan diri maka orang percaya dengan sendirinya akan mampu membatasi dirinya yakni membatasi kebebasannya sebagai pribadi yang bebas (freewill). Dengan demikian ia dapat menyingkirkan atau tidak mengikutsertakan dirinya terlibat pada segala kegiatan yang dapat menyakiti pribadi sesamanya. Penggunaan pengetahuan tanpa kasih akan bermuara pada kesombongan dan penghancuran sendi-sendi kemanusiaan, sebaliknya dengan kasih maka pengetahuan akan menjadi senjata pertama untuk membangun peradaban yang baik dan indah.

Pada ayat 2-3:
Setiap orang yang memaksakan haknya di dalam pengetahuan yang dimilikinya pada akhirnya akan melemahkan orang-orang di sekitarnya. Dan, sesungguhnya menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan. Tidak ada pengetahuan yang sempurna, namun di dalam kasih Allah ia disempurnakan untuk kebaikan kehidupan manusia. Jika kasih menjadi pertimbangan atas pelaksanaan pengetahuan maka kita akan menolak tindakan yang merugikan dan melemahkan orang lain. Demikianlah Allah mengenal dan mengakui kita di dalam kasih yang kita nyatakan terhadap kehidupan di sekitar kita. Benar kita memiliki pengetahuan (ei denai to = mengentahui sesuatu). Tetapi pengetahuan yang tidak dilandaskan kasih (agape) akan mudah menimbulkan kecongkaan, berpikir licik, jahat, dan destruktif. Sesungguhnya pengetahuan yang dilandaskan kasih akan mendorong setiap orang untuk mengutamakan, mengedepankan dan mengindahkan kebaikan demi orang lain. Dengan begitu Allah akan mengakui kita sebagai milikNya (houtos egnostai hup eutoo).

Pada ayat 4-6:
Di dunia benar banyak berhala[3] yang mengatasnamakan “allah” namun sesungguhnya mereka tidak berada dalam kebenaran Allah. Allah yang benar hanya ditemukan di dalam pengenalan yang benar dan baik di dalam Kristus. Si Iblis akan menuntun orang-orang yang lemah imannya kepada Kristus untuk terikat di dalam banyak berhala dan meninggalkan kebenaran di dalam Allah. Perhatikan bahwa iblispun percaya kepada Allah yang Esa (Yak. 2:19) namun mereka tidak berlaku benar di dalam Allah. Jika orang-orang percaya hanya percaya kepada Allah, itu tidaklah cukup. Hidup dan berjuang di dalam kebenaran Allah itulah yang diharapkan dari kita dan yang membedakan kita dari iblis. Dengan begitu di tangah banyaknya “allah dan berhala” di dunia ini, kita hanya percaya pada satu Allah di dalam Kristus Yesus.

Pada ayat 7-8:
Bukan makan atau tidak makan makanan yang dipersembahkan kepada berhala atau baik tidaknya hidup kita yang menetukan keberadaan kita di hadapan Allah. Namun, rasa bersalah dan telah merasa ternodalah yang membuat kita akhirnya semakin menjauh dari Allah dan kebenarannya ditambah oleh bujuk rayu si iblis dalam hidup kita. Perhatikan laku hidup Adam dan Hawa setelah mereka tahu kesalahan mereka dan telah menodai perjanjian mereka dengan Allah (Kej. 3: 10ff).

Pada ayat 9-12:
Berhati-hatilah terhadap pengetahuan yang kita miliki. Jangan biarkan pengetahuan di dalam kebebasan yang Allah berikan di dalam Kristus menjadi batu sandungan dan melemahkan orang-orang percaya lainnya. Sesungguhnya dengan begitu kita sudah jatuh ke dalam kesalahan ganda dalam hidup kita yakni kepada sesama juga kepada Kristus. Bagaimana bisa? Karena saudara (adelphos) kita yang masih membutuhkan tuntunan dan olehnya Kristus telah mati akhirnya menjadi binasa karena mengikuti sikap hidup kita yang semestinya dapat menjadi teladan baik bagi mereka. Darah Kristus yang tertumpah menjadi sia-sia oleh pengetahuan kita yang tak dapat menjadi tuntunan dan teladan bagi saudara-saudara kita.

Pada ayat 13:
Paulus merangkumkan semua jawabannya atas perdebatan orang-orang korintus terhadap orang-orang percaya di korintus bahwa segala sesuatu baik makanan atau kegiatan apapun itu yang selagi itu membuat saudara kita masuk ke dalam kebinasaan oleh karena dosa (menjadi batu sandungan), Paulus dengan tegas katakan “aku tidak akan melakukannya atau memakannya”. Inilah sesungguhnya nilai toleransi di dalam indahnya kasih yang telah kita rasakan dari Kristus Tuhan kita.

Maka, bolehkah orang kristen ikut-ikutan dengan gaya hidup semau gue di tengah zaman yang semakin ngawur? Sebagaimana Paulus lewat firman Tuhan mengajari dan mengingatkan kita, tentu jawabannya “aku tidak akan turut melakukannya”. Kasih Kristus mengajari kita hidup untuk menahan diri (toleransi) dengan mengindahkan kebaikan demi orang lain di dalam pengetahuan yang kita miliki. Sesungguhnya demikianlah kita menyatakan kasih kepada Allah yang telah mau mengenal dan mengakui kita sebagai milikNya. Terpujilah Tuhan!


[1] Kota Korintus yang dikirimin surat oleh Paulus bukanlah kota Korintus Kuno melainkan kota yang telah dibangun kembali oleh Julius Caesar pada tahun 44 SM setelah dihancurkan Romawi pada tahun 146 SM, yang kemudian dikenal sebagai pusat provinsi Romawi yakni Akhaya dibawah kepemimpinan Gubernur Galio. Kota ini dikenal dengan perkembangan pendidikan, budaya dan agama-agama hellenis (penyembahan kepada dewa-dewi). Tidak hanya itu, dampak negatif dari penyembahan dewi asmara (akrokorintus) dan dewa-dewa Romawi lainnya, kota ini di zaman Aristofanes kemudian dikenal sebagai kota abmoral terlebih dalam seksual yang juga banyak melibatkan orang-orang kristen di korintus.
[2] Oleh Marthin Luther kebebasan orang kristen disebutkan sebagai berikut: bahwa orang kristen bebas dari segala ikatan dan bukan hamba siapapun. Namun, orang kristen orang yang terikat. Artinya, orang kristen bebas dari segala sesuatu dan tidak menjadi hamba siapapun sebab di dalam Kristus orang percaya telah dibebaskan dan beroleh kebenaran. Tetapi, karena tubuhnya masih penuh hawa nafsu, maka ia harus dikekang dengan perbuatan yang baik dan benar di dalam aturan kasih Kristus. Namun, perbuatannya itu tidak mendatangkan/mengandung pahala atau amal atau agar memperoleh keselamatan. Sebab di dalam Kristus orang percaya telah memperoleh keselamatan. Itulah yang memampukannya berlaku benar dan baik di dalam kasih Kristus.
[3] Berhala pada konteks kekinian dapat dikonotasikan kepada haus kuasa, materialistis, perjinahan, kesombongan, ketamakan, dendam, iri, dengki, permusuhan dan sikap hidup destruktif

No comments:

Post a Comment

ketertarikan para sobat