“ALLAH MENGENAL &
MENGAKUI KITA
DI DALAM NYATANYA KASIH KITA KEPADA KEHIDUPAN”
Hari ini kita menemukan banyaknya prilaku anggota masyarakat secara
umum yang sepertinya hidup dengan motto: hidup
semau gue. Tidak jarang kita membaca atau menyaksikan siaran televisi yang
mempertontonkan hal itu. Pejabat teras negara yang korup seenak perutnya, warga
yang penuh arogan menghakimi saudaranya yang berbeda agama dengannya, hukum
yang meruncing ke bawah (masyarakat miskin) namun tumpul bagi konglongmerat dan
penguasa, politik huru-hara untuk
mengalihkan perhatian rakyat, sesama warga dan pengurus gereja yang sulit
berdamai dan hidup dalam persekutuan indah untuk melayani Tuhan dengan benar
dan baik, dan ragamnya prilaku yang mencerminkan gaya hidup di atas.
Pertanyaannya, bolehkah orang-orang kristen mengikuti gaya hidup yang demikian?
Seputaran tahun 44 SM silam di Korintus[1],
sebagai kota pelabuhan yang berkembang dengan budaya dan pengetahuan di atas
rata-rata daerah-daerah di sekitarnya juga mengalami gaya hidup yang sama.
Dimana jemaat Tuhan hadir di tengah heterogennya budaya dan agama, menemukan
diri mereka harus mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya
sederhana namun dapat menyesatkan dan merusak kehidupan rohani mereka.
Beberapa di antara pertanyaan-pertanyaan itu berkaitan dengan makanan
dan gaya hidup. Yakni bolehkah orang kristen makan makanan yang telah
dipersembahkan kepada berhala? Sebab ada kebiasaan makanan (daging) yang telah
diberikan kepada berhala dijual kembali di warung-warung di sekitar kota itu.
Dan, bolehkah orang kristen ikut dalam pesta dan makan bersama di dalam kuil
berhala? Sebagaimana kebiasaan orang-orang korintus di waktu-waktu tertentu
untuk berkumpul dan pesta bersama di dalam kuil-kuil berhala.
Demikianlah, Paulus menjawab dan menasehati orang-orang kristen di
korintus lewat suratnya yang pertama tentang bagaimana semestinya orang-orang
kristen berlaku atau menanggapinya. Pemikirannya dapat ditemukan secara luas
dalam 1 Kor. 8: 1 – 10:33, Paulus menjawab perdebatan yang dimunculkan
orang-orang korintus tentang daging “makanan” dan kegiatan-kegiatan lainnya
yang mempertaruhkan antara kebebasan seseorang dan “pengetahuan” dan sikap
hidup menahan diri (baca_toleransi) di dalam kasih Kristus.
Paulus mengakui bahwa orang-orang koristus adalah masyarakat yang
berpengetahuan dan maju. Oleh karena itulah Paulus menjawab mereka dengan
beranjak dari asas-asas umum yang mengena dengan kehidupan orang kristen yakni
bahwa orang kristen adalah pribadi yang bebas, tetapi oleh
pertimbangan-pertimbangan kasih Kristus yang dinyatakan dalam dirinya
penggunaan kebebasannya menjadi dibatasi.[2]
Pada ayat 1:
Berangkat dari prinsip KASIH yang mesti dipraktekkan orang kristen di
setiap zaman Paulus menyatakan bahwa orang percaya di dalam pengetahuan yang
dimilikinya haruslah bertindak dengan kasih. Di dalam bertindak dengan kasih
maka orang percaya akan dapat menahan dirinya atau menyangkal dirinya yang
merupakan lawan dari sikap mempertahankan hak dan kebebasan pribadi di atas
kebaikan untuk semua. Dengan menahan diri maka orang percaya dengan sendirinya
akan mampu membatasi dirinya yakni membatasi kebebasannya sebagai pribadi yang
bebas (freewill). Dengan demikian ia
dapat menyingkirkan atau tidak mengikutsertakan dirinya terlibat pada segala
kegiatan yang dapat menyakiti pribadi sesamanya. Penggunaan pengetahuan tanpa
kasih akan bermuara pada kesombongan dan penghancuran sendi-sendi kemanusiaan,
sebaliknya dengan kasih maka pengetahuan akan menjadi senjata pertama untuk
membangun peradaban yang baik dan indah.
Pada ayat 2-3:
Setiap orang yang memaksakan haknya di dalam pengetahuan yang
dimilikinya pada akhirnya akan melemahkan orang-orang di sekitarnya. Dan, sesungguhnya
menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan. Tidak ada pengetahuan yang
sempurna, namun di dalam kasih Allah ia disempurnakan untuk kebaikan kehidupan
manusia. Jika kasih menjadi pertimbangan atas pelaksanaan pengetahuan maka kita
akan menolak tindakan yang merugikan dan melemahkan orang lain. Demikianlah Allah mengenal dan mengakui kita di dalam
kasih yang kita nyatakan terhadap kehidupan di sekitar kita. Benar kita
memiliki pengetahuan (ei denai to =
mengentahui sesuatu). Tetapi pengetahuan yang tidak dilandaskan kasih (agape) akan mudah menimbulkan
kecongkaan, berpikir licik, jahat, dan destruktif. Sesungguhnya pengetahuan
yang dilandaskan kasih akan mendorong setiap orang untuk mengutamakan,
mengedepankan dan mengindahkan kebaikan demi orang lain. Dengan begitu Allah
akan mengakui kita sebagai milikNya (houtos
egnostai hup eutoo).
Pada ayat 4-6:
Di dunia benar banyak berhala[3]
yang mengatasnamakan “allah” namun sesungguhnya mereka tidak berada dalam
kebenaran Allah. Allah yang benar hanya ditemukan di dalam pengenalan yang
benar dan baik di dalam Kristus. Si Iblis akan menuntun orang-orang yang lemah
imannya kepada Kristus untuk terikat di dalam banyak berhala dan meninggalkan
kebenaran di dalam Allah. Perhatikan bahwa iblispun percaya kepada Allah yang
Esa (Yak. 2:19) namun mereka tidak berlaku benar di dalam Allah. Jika
orang-orang percaya hanya percaya kepada Allah, itu tidaklah cukup. Hidup dan
berjuang di dalam kebenaran Allah itulah yang diharapkan dari kita dan yang
membedakan kita dari iblis. Dengan begitu di tangah banyaknya “allah dan
berhala” di dunia ini, kita hanya percaya pada satu Allah di dalam Kristus
Yesus.
Pada ayat 7-8:
Bukan makan atau tidak makan makanan yang dipersembahkan kepada
berhala atau baik tidaknya hidup kita yang menetukan keberadaan kita di hadapan
Allah. Namun, rasa bersalah dan telah merasa ternodalah yang membuat kita
akhirnya semakin menjauh dari Allah dan kebenarannya ditambah oleh bujuk rayu
si iblis dalam hidup kita. Perhatikan laku hidup Adam dan Hawa setelah mereka
tahu kesalahan mereka dan telah menodai perjanjian mereka dengan Allah (Kej. 3:
10ff).
Pada ayat 9-12:
Berhati-hatilah terhadap pengetahuan yang kita miliki. Jangan biarkan
pengetahuan di dalam kebebasan yang Allah berikan di dalam Kristus menjadi batu
sandungan dan melemahkan orang-orang percaya lainnya. Sesungguhnya dengan
begitu kita sudah jatuh ke dalam kesalahan ganda dalam hidup kita yakni kepada
sesama juga kepada Kristus. Bagaimana bisa? Karena saudara (adelphos) kita yang masih membutuhkan tuntunan dan olehnya Kristus
telah mati akhirnya menjadi binasa karena mengikuti sikap hidup kita yang
semestinya dapat menjadi teladan baik bagi mereka. Darah Kristus yang tertumpah
menjadi sia-sia oleh pengetahuan kita yang tak dapat menjadi tuntunan dan
teladan bagi saudara-saudara kita.
Pada ayat 13:
Paulus merangkumkan semua jawabannya atas perdebatan orang-orang
korintus terhadap orang-orang percaya di korintus bahwa segala sesuatu baik
makanan atau kegiatan apapun itu yang selagi itu membuat saudara kita masuk ke
dalam kebinasaan oleh karena dosa (menjadi batu sandungan), Paulus dengan tegas
katakan “aku tidak akan melakukannya atau memakannya”. Inilah sesungguhnya
nilai toleransi di dalam indahnya kasih yang telah kita rasakan dari Kristus
Tuhan kita.
Maka, bolehkah orang kristen ikut-ikutan dengan gaya hidup semau gue di tengah zaman yang semakin ngawur? Sebagaimana Paulus lewat firman
Tuhan mengajari dan mengingatkan kita, tentu jawabannya “aku tidak akan turut
melakukannya”. Kasih Kristus mengajari kita hidup untuk menahan diri (toleransi)
dengan mengindahkan kebaikan demi orang lain di dalam pengetahuan yang kita
miliki. Sesungguhnya demikianlah kita menyatakan kasih kepada Allah yang telah
mau mengenal dan mengakui kita sebagai milikNya. Terpujilah Tuhan!
[1]
Kota Korintus yang dikirimin surat oleh Paulus bukanlah kota Korintus Kuno
melainkan kota yang telah dibangun kembali oleh Julius Caesar pada tahun 44 SM
setelah dihancurkan Romawi pada tahun 146 SM, yang kemudian dikenal sebagai
pusat provinsi Romawi yakni Akhaya dibawah kepemimpinan Gubernur Galio. Kota
ini dikenal dengan perkembangan pendidikan, budaya dan agama-agama hellenis
(penyembahan kepada dewa-dewi). Tidak hanya itu, dampak negatif dari
penyembahan dewi asmara (akrokorintus) dan dewa-dewa Romawi lainnya, kota ini
di zaman Aristofanes kemudian dikenal sebagai kota abmoral terlebih dalam
seksual yang juga banyak melibatkan orang-orang kristen di korintus.
[2]
Oleh Marthin Luther kebebasan orang kristen disebutkan sebagai berikut: bahwa
orang kristen bebas dari segala ikatan dan bukan hamba siapapun. Namun, orang
kristen orang yang terikat. Artinya, orang kristen bebas dari segala sesuatu
dan tidak menjadi hamba siapapun sebab di dalam Kristus orang percaya telah
dibebaskan dan beroleh kebenaran. Tetapi, karena tubuhnya masih penuh hawa
nafsu, maka ia harus dikekang dengan perbuatan yang baik dan benar di dalam
aturan kasih Kristus. Namun, perbuatannya itu tidak mendatangkan/mengandung
pahala atau amal atau agar memperoleh keselamatan. Sebab di dalam Kristus orang
percaya telah memperoleh keselamatan. Itulah yang memampukannya berlaku benar
dan baik di dalam kasih Kristus.
[3]
Berhala pada konteks kekinian dapat dikonotasikan kepada haus kuasa,
materialistis, perjinahan, kesombongan, ketamakan, dendam, iri, dengki,
permusuhan dan sikap hidup destruktif
No comments:
Post a Comment