Lahir
di Rantauprapat sebagai anak bungsu dari keluarga sederhana 26 tahun yang lalu
tepatnya 31 Januari 1985. Bapak St. P. Hasibuan seorang pensiunan guru adalah
anak sulung dari Pdt. Athur Hasibuan/Br. Siregar (Pelayan HKBPA dan kemudian
menjadi GKPA), sedangkan Ibu D.Br. Sinaga adalah seorang ibu rumah tangga anak
sulung dari veteran perang dengan pangkat terakhir (Mayor untuk saat sekarang)
yakni P. Sinaga/T.Br. Sitorus yang memberikan hidupnya untuk merawat,
membesarkan dan mendidik tujuh orang anaknya. Keluarga yang terdiri dari Bapak
dan Ibu serta enam orang anak laki-laki dan satu orang perempuan adalah tempat
dan lingkungan di mana Penulis diperkenalkan pertama sekali tetang dunia dan
kemudian tumbuh dan dewasa.
Dalam
perjalanan hidupnya sejak kecil sudah terbiasa mandiri baik di rumah dan
sekolahan. Tidak terlalu jelas bagi Penulis perlakuan yang lebih dari orangtua
sebagai anak bungsu di tengah-tengah keluarga. Didikan orangtua sama rata untuk
semua. Bisa saja didikan seperti ini yang membuatnya kemudian terbiasa berjuang
sendiri untuk sesuatu yang diinginkan. Juga kemudian terbawa hingga di
sekolahan dan perkuliahan. Entah kenapa kemudian sering dianggap orang yang
seriusan dan terkesan sombong. Memang sejak kecilnya kurang tertarik banyak
bicara dan berbasa-basi/ngobrol.
Namun, untuk di sekolah gemar berdikusi tentang pelajaran yang bernuansa umum
dan analisa. Kebiasaan ini terbawa hingga di kampus STT Abdi Sabda Medan
angkatan 2003. Suka terlibat dalam perdebatan argumentatif yang penting dan
memang harus dibahas. Itulah yang mendorongnya lebih suka menekuni organisasi
mahasiswa baik intra dan ekstra kampus. Nah, jika di luar itu kembali menjadi
orang yang tak terlalu suka bicara. Apalagi jika dalam waktu-waktu bekerja. Mengenai
emosional, harus akui bahwa sulit baginya untuk menutup-nutupi kondisi hati dan
pikirannya terhadap suatu kondisi yang ada. Senang akan tampak senang, dan
sebaliknya. Pun begitu ketika berhadapan dengan orang-orang di sekitar. Tapi
bukan seorang pendendam.
Lebih
tertarik dibidang EO (Event Organaizer) untuk suatu program. Bahkan mulai dari
menggagasi hingga perealisasian programnya. Hingga saat ini lebih menikmati
suguhan informasi yang bermuatan peningkatan sumber daya manusia, terlebih
motivasi. Hal yang tak disukainya adalah perjumpaan dengan pribadi-pribadi yang
terlalu banyak bicara namun sedikit malah absen
dalam bekerja dan sok “luar biasa”
tapi tak seperti keadaan yang sebenarnya. Juga pribadi-pribadi yang penuh
intrik, kepalsuan dan tipu daya terhadap sesama rekan sekerjanya pada domain
yang sama pula tugas dan tanggungjawabnya. Ditambah orang-orang yang
memberlakukan orang lain secara sub-ordinatif yang tak membangun dan malah merendahkan
bahkan menganggap sesama pekerja yang seharusnya menjadi rekan untuk tumbuh
bersama menuju perwujudan visi dan misi bersama sebagai saingan yang pantas
untuk “dijatuhkan”.
Menjadi
pelayan Tuhan lewat gerejaNya yakni menjadi seorang pendeta menurut hemat dan
kesaksiannya adalah merupakan cara baginya untuk menikmati hidup dan kehidupan
yang Allah beri baginya secara cuma-cuma sebagai sebuah anugerah terindah.
Menjadi seorang pendeta bukanlah jalan untuk mencari kehidupan lagi, melainkan
menikmati kehidupan. Mengapa? Tentu karena sebagai seorang pendeta dia percaya
bahwa Allah telah mempersiapkan segala sesuatunya bagi kehidupannya, tinggal
kesediaan cara mensyukurinya sebagai pemberianNya. Karena itu, apa lagi yang
perlu cari? Karena semua pasti akan dipenuhiNya. Ibrani 13: 5-6 bersaksi bahwa ...cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada
padamu. Karena Tuhan berfirman Dia tidak akan sekali-kali membiarkan dan
meninggalkan engkau..., dengan begitu, jika Tuhan telah bersama kita, maka apakah
yang harus ditakuti? Dia akan memberikan kecukupan atas hidup yang juga
bersumber dariNya. Ya, menjadi seorang pendeta adalah cara dan jalan untuk
menikmati semua kebaikan Tuhan. Bukan lagi untuk mencari hidup. Sebab menurut
hematnya, jika seorang pendeta masih memiliki prinsip untuk mencari hidup, maka
tak jarang akan terjerumus pada praktek kecurangan-kecurangan atas tugas dan
tanggungjawabnya sebagaimana yang Allah kehendaki atas hidupnya. Tidak jarang
seorang pendeta oleh karena itu menjadi terasing dari tugas dan panggilanNya.
Sebab, prinsip mencari hidup adalah akar dari ketidakpuasan dalam diri terhadap
kepemilikan yang Allah sudah berikan dan percayakan kepada seseorang. Sehingga
menjadi celah bagi iblis untuk mempergunakannya sebagai senjata memerangi
panggilan Allah atas hidup seseorang, khususnya pendeta. Alhasil, oleh karena
rasa ketidakpuasan akan apa yang dimiliki maka segala cara kemudian menjadi
halal dan pantas untuk memenuhinya. Hasilnya, banyak jemaat Tuhan yang menjadi
korban dan terbengkalailah substansi pelayan dari penggilanNya atas diri
seorang pendeta.
Menjadi
pribadi yang mau membiarkan diri untuk dipakai Tuhan sebagai alatNya di tengah
gerejaNya yakni sebagai pendeta dengan prinsip bahwa menjadi pendeta adalah
jalan untuk menikmati hidup, maka oleh hikmat dari padaNya percayalah akan
dimampukan untuk secara totalitas berbakti bagiNya tanpa lagi memandang dan
mengharapkan apa yang akan diperoleh jika melakukan ini dan itu sebagai tugas
panggilanNya atas hidupnya. Ya, semua yang dilakukan akhirnya berkiblat pada
rencana dan kehendak Tuhan di dalam Kristus Yesus (Ibrani 12:2). Menjadi
pendeta di gerejaNya, dimana Kristus sebagai Kepalanya tentu adalah sebuah
penghargaan dan kesempatan yang tak ternilai dan berharga karena siapakah
manusia, siapakah dia sehingga Allah mau berkenan untuk memakainya? Tentu
dengan kesadaran dan kerendahan hati dia bukanlah apa-apa di hadapan Tuhan.
“Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?...sehingga Engkau
mengindahkannya? (Mazmur 8:5). Oleh kesaksian pemazmur ini, dia semakin yakin
bahwa dia sama sekali tidak berharga dan berarti di hadapan Tuhan. Namun, hanya
oleh kasihNya yang tercurah melimpah tanpa syarat di dalam Kristus Yesus
(Yohanes 3:16), manusia pun dia dibuat berharga dan berarti sehingga dimahkotai
kemuliaan dan hormat (Mazmur 8:6). Kesaksian Firman Tuhan ini sudah menjadi alarms baginya bahwa keberadaannya dengan
segala yang dipunya adalah oleh karena Allah berkehendak untuk menjadikannya
berharga. Tentu tatkala dia kemudian diberikan kesempatan sebagai sebuah anugerah
untuk menjadi pelayanNya sebagai seorang pendeta, maka semua itu bukanlah
karena dia patut dan layak, melainkan semata-mata karena Allah melayakkannya dengan
segala keterbatasan dan keberdosaannya untuk menjadi alatNya di tengah segala
rencana dan rancanganNya bagi gerejaNya di tengah dunia. Terpujilah Tuhan buat
segala kebaikanNya.
No comments:
Post a Comment