_BERSUKACITALAH & MENURUTSERTAKAN DIRI UNTUK MENGHADIRKAN SERTA MEMPERTAHANKANNYA_

Wednesday, July 6, 2011

NOTULENSI SEMINAR KONFESI AUGSBURG 1530 HKI

0 comments

 Para Candidat Pendeta HKI Dalam Seminar Konfesi Augsburg 1530
(notulen: nomor 3 dari kiri barisan berdiri di depan)



Konfesi Augsburg 1530 Artikel II, IV, VI & XX

I. DOSA ASALI – DOSA WARISAN
Sejak kejatuhan Adam, semua manusia yang dilahirkan menurut hakikat manusia, dikandung dan dilahirkan dalam dosa, yaitu bahwa semua manusia penuh dengan nafsu iblis dan keinginan yang jahat mulai dari rahim ibunya, dan tidak mampu secara alamiah mempunyai rasa takut yang benar kepada Allah atau iman yang benar dalam Allah. Pada umumnya, kaum skolastik menolak dosa Asali, atau dosa warisan. Ajaran Pelagius sangat mempengaruhi theologia mereka. Ada 7 pokok ajaran Pelagius yang sesat yaitu: Adam diciptakan untuk mati dan akan mati sekalipun ia tidak berdosa. Kematian bukanlah akibat dosa; KejaTuhan Adam kedalam dosa hanya dia sendiri dan tidak mempunyai akibat bagi keturunannya; Anak-anak yang dilahirkan tidak berdosa; Anak-anak yang tidak dibaptiskan dan meninggal pada masa bayi tetap memperoleh keselamatan; Manusia mati bukan karena kejaTuhan Adam kedalam dosa, dan manusia bangkit dari antara orang mati bukan didasarkan pada kebangkitan Kristus; Hukum Taurat dapat memimpin orang kedalam kerajaan surge sama seperti Injil; dan sebelum Kristus, ada orang yang berdosa.
Dalam Konsili Oikumenis di Konstantinopel tahun 431, ajaran Pelagius dikutuk. Pelagianisme tidak pernah menjadi satu gereja pecahan, namun hanyalah suatu aliran pemikiran theologia dalam gereja. Menurut Yohanes Bonaventura (Lahir 1221 di Tuskang): Dosa Asali adalah nafsu yang melampaui batas, kurangnya kebenaran yang sesungguhnya.Sedangkan menurut Hugo (Uskup di Grenoble, Perancis 1053-1132), dosa Asali adalah ketidaktahuan dalam jiwa dan nafsu dalam tubuh. Maksudnya ialah bahwa sewaktu lahir, kita membawa ketidaktahuan mengenai Allah, ketidakpercayaan, ketidakyakinan, penghinaan, dan kebencian terhadap Allah. Bandingkan: I Kor 2:14 “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya,…” Rom 7:5 “Sebab waktu kita masih hidup di dalam daging, hawa nafsu dosa, yang dirangsang oleh Hukum Taurat, bekerja dalam anggota-anggota tubuh kita…..” Pengakuan akan dosa Asali/warisan, adalah suatu hal penting, sebab kita tidak bisa mengetahui bagaimana besarnya kasih karunia Kristus jika kita tidak mengakui kesalahan kita. Semua kebenaran manusia adalah munafik di hadapan Allah, sebelum kita mengakui bahwa hati kita sendiri sebenarnya kekurangan kasih, takut, dan kurang keyakinan kepada Allah. Kita memperoleh pengampunan dosa hanya oleh iman kepada Kristus, bukan melalui atau oleh sebab kasih atau usaha. Mazmur 32: 1 “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi !” Oleh sebab itu, kita dibenarkan hanya oleh iman. Pembenaran dipahami sebagai “membuat orang tak benar menjadi benar, atau menjadikannya lahir kembali. Kristus telah diberikan kepada kita untuk menanggung dosa dan hukuman kita dan untuk menghancurkan pemerintahan iblis, dosa dan kematian. Oleh karena itu , kita tidak dapat mengenal berkatNya apabila kita tidak mengenal kejahatan kita. Dosa itu diampuni oleh sebab Kristus, Juru Damai. Rom 3: 25 “ Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darahNya…
Pengampunan dosa adalah sesuatu yang dijanjikan oleh sebab Kristus. Karena hal tersebut, hanya dapat diterima diatas iman. Dalam Rom 4: 16, Rasul Paulus berkata : “Karena itulah kebenaran berdasarkan iman supaya merupakan kasih karunia, sehingga janji itu berlaku bagi semua keturunan Abraham….”. Bandingkan Gal 3:18  “Sebab, jikalau apa yang ditentukan Allah berasal dari hukum Taurat, ia tidak berasal dari janji; tetapi justru oleh janjilah Allah telah menganugerahkan kasih karuniaNya kepada Abraham.” Menjadi Kristen adalah menjadi ciptaan baru, menjadi tuan dan hamba sekaligus, menjadi orang yang merdeka tetapi terikat, yang berdosa tetapi dibenarkan (simul iustus et peccator).


II. PEMBENARAN
Bagi Marthin Luther, pembenaran oleh iman pada mulanya merupakan pergumulan dan pengalaman untuk memperoleh kasih karunia Allah. Pertanyaan yang sering muncul dan merupakan pergumulan pribadi yang sangat menyiksanya ialah: “Bagaimana saya memperoleh kasih karunia Allah?” Kita tidak dapat memperoleh pengampunan dosa dan kebenaran di hadapan Allah oleh perbuatan kita sendiri, melainkan kita beroleh pengampunan dosa dan menjadi benar di hadapan Allah karena anugerah Kristus melalui iman percaya kita yang sungguh. Melalui pembacaan surat Paulus kepada Jemaat di Roma, (Roma 1: 16-17) berkata : “…Orang benar akan hidup oleh iman…”. Marthin Luther menemukan pengertian yang baru tentang perkataan Paulus dalam Roma 1: 16-17 “…Orang benar akan hidup oleh iman…”, Marthin Luther mengartikan kebenaran Allah tidak lain daripada rahmat Allah yang menerima orang berdosa serta berputus asa terhadap dirinya tetapi menolak orang-orang yang menganggap dirinya baik. Kebenaran Allah adalah sikap Allah terhadap orang-orang berdosa yang membenarkan manusia berdosa karena kebenaranNya. Tuhan Allah menggunakan kebenaran Kristus kepada manusia berdosa dan karena itu Tuhan Allah memandang manusia berdosa sebagai orang-orang benar. Lebih tegas lagi dikatakan dalam Rom 3: 28 “Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman (sola fide), dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat.”
Bagi Marthin Luther, Injil dan Hukum Taurat adalah dua hal yang sangat berbeda. Hukum Taurat memberitahukan apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang sehingga kita mengenal dosa-dosa kita. Injil mengatakan bahwa dosa-dosa kita telah diampuni dan segala sesuatu telah digenapi. Hukum Taurat berkata “…Bayar hutangmu…!” Sedangkan Injil berkata “…Dosamu telah diampuni…”. (Rom 7: 7-12). Pembenaran oleh iman adalah ajaran yang fundamental bagi Gereja Lutheran dimana “Gereja itu berdiri atau runtuh” (Stantis et Cadentis Ecclisiae). Kita harus terinspirasi dari Marthin Luther yang berani menentang tradisi Gereja Roma ketika Gereja itu nyata-nyata kepadanya bukan lagi alat-alat pelayanan Tuhan untuk membebaskan umatNya. Kebenaran ialah pertama-tama tuntutan pada diri sendiri, dan orang benar adalah penuntutnya sendiri. Hab 2: 4 “…Orang yang benar akan hidup oleh sebab imannya”. Bagi Marthin Luther, kebenaran Allah, berarti ketetapan Allah menjadi benar kepada seseorang melalui imannya. Allah menganugerahkan status benar kepada seseorang melalui imannya. Rom 3: 24 “Dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus” (Sola Gratia). Hanya oleh anugerah.  

III. IMAN DAN PERBUATAN
Orang yang mempunyai iman yang sungguh di dalam Yesus Kristus harus menghasilkan buah-buah dan perbuatan-perbuatan yang baik, dan kita harus melakukan semuanya itu sesuai dengan perintah Allah. Dalam hal ini kita pantas meniru seorang Bapa Gereja Barat yang terkenal, Ambrosius, Uskup Milano. Ambrosius sangat tegas terhadap kaisar-kaisar yang tidak setia untuk membantu Gereja, atau yang tidak berlaku adil kepada rakyatnya. Dia berjuang dengan gigih untuk mempertahankan hak-hak dan kewibawaan Gereja di hadapan kaisar. Tuntutannya adalah agar kaisar menjadi pembela kepentingan Gereja. Apa relevansinya kepada situasi kita sekarang di era globalisasi ini? Sebagai buah iman, perbuatan atau aksi-aksi yang nyata apakah yang sudah dan akan diperbuat Gereja, dan orang beriman, khususnya Gereja Lutheran? Yeremia 29:7, Mengusahakan kesejahteraan kota. Mengusahakan kesejahteraan negeri Indonesia, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu! Tuhan mau dan menghendaki Gereja Lutheran di Indonesia menjadi berkat. Gereja/umat Kristen tidak boleh menjadi persekutuan yang eksklusif, harus inklusif, dan jangan hanya memikirkan kepentingan dan kesulitannya sendiri. Kita harus melihat kesulitan yang dihadapi oleh semua Gereja dan seluruh umat Kristen di Indonesia ini sebagai kesulitan kita sendiri. Menurut Martin Luther, semua orang Kristen mempunyai derajat rohani yang sama, bahwa seseorang yang sudah dibaptiskan telah memiliki jabatan imamat orang percaya. Kita ditahbiskan dengan baptisan oleh imam : kita menjadi imamat rajawi, raja dan imam di hadapan Allah (I Pet 2: 9). Perbedaan yang ada hanyalah perbedaan jabatan dan fungsi, bukan derajat. Peranan warga jemaat HKI dalam kaitan dengan imamat am orang percaya, jika dibandingkan dengan semangat berdirinya HChB/HKI, sudah jauh mundur. Hal ini perlu dikaji kembali agar jemaat HKI adalah jemaat missioner.
Dalam kaitan dengan era globalisasi dan demokrasi di Indonesia, perlu diajarkan sedini mungkin khususnya anak-anak Sekolah Minggu, Remaja, PNB, dan warga jemaat HKI akan arti kebebasan. Para remaja khususnya sudah menyalahgunakan arti kebebasan seorang Kristen. Martin Luther merumuskan kebebasan Kristen dengan dua rumusan yang tampaknya bertentangan sebagai berikut : “Seorang Kristen bebas dari segala ikatan dan bukanlah hamba siapapun. Seorang Kristen terikat pada segala sesuatu dan hamba dari semua orang”. Orang Kristen bebas dari hukum atau Taurat manapun dan tidak terikat pada peraturan yang dikeluarkan oleh siapapun, namun kebebasan itu bukanlah kebebasan “dari Kristus”, tetapi kebebasan “dalam Kristus”. Iman dan perbuatan orang Kristen dalam konteks pluralisme, menekankan bahwa anugerah Allah dalam Kristus adalah universal. Kita sebagai orang percaya yang sudah mengenal Yesus melalui iman dan anugerahNya, terpanggil untuk menyatakannya/mempraktekkannya melalui solidaritas kita terhadap sesame sebagai model kesaksian. Solidaritas berarti juga membangun kekerabatan yang erat dengan sesama, membantu mereka yang menderita dalam konteks multi religious. Hal yang sangat penting juga dalam kerangka hidup berdampingan dengan umat beragama lain harus senantiasa dijaga dan saling menghormati. Mengerti orang lain, agama dan kepercayaannya, menerima mereka dalam kasih Kristus, dan membuka diri dalam kasih dan persaudaraan yang erat. Inilah beberapa hal yang perlu kita renungkan dan lakukan.

Konfesi Augsburg 1530 Artikel I, III, & V

Konfesi Augsburg disampaikan kepada Kaisar Karel V pada tanggal 5 Juni 1530. Perumusan dan penyerahan Konfesi ini dilatarbelakangi dua hal yaitu: adanya persengketaan agama akibat Reformasi dan dipedukannya kesatuanan seluruh pangaeran dan wakil-wakil dari kota otonom  untuk  menghadapi serangan dari tentara Turki. Untuk itu, maka pada tanggal 21 Januari 1530, Kaisar Charles V mengundang Sidang Kerajaan bertemu pada bulan April berikutnya di Augsburg. Pada Sidang Kerajaan itu, kaum Protestan diminta untuk menyampaikan pengakuannya. Dokumen Pengakuan yang disampaikan pada Sidang Kerajaan tanggal 25 Jun 1530 itulah Konfesi Augsburg yang kita kenal sekarang ini. Dalam dokumen itu, dinyatakan apa yang dipercayai oleh kaum Protestan yang terdiri dari 21 Artikel (Artikel 1-21) dan paraktek-praktek gereja yang perlu dikoreksi, terdiri 7 Artikel (Artikel 22-28).
Dengan demikian, maka Konfesi Augsburg ditulis dan dibacakan/disampaikan adalah oleh karena kebutuhan tertentu di dalam sejarah. Konfesi Augsburg disaksikan di hadapan Kaisar Jerman yang sangat berkuasa dan pada saat adanya ancaman yang sangat serius dari Islam (Turki). Konfesi Augsburg adalah Pengakuan Iman Kristen yang lahir dan sangat relevan dalam waktu tertentu dan dalam situasi yang khusus. Oleh sebab itu, maka dokumen ini sangat perlu kita pelajari sebagai satu dokumen historis gereja dan sebagai warisan hidup bagi gereja Lutheran,  yang hidupnya dan imannya dipengaruhi oleh dokumen ini.
Sebagai documen sejarah dan warisan hidup gereja, maka kita harus berusaha mengungkap arti dan maksud yang sangat pokok (vital) dari artikel-artikel Konfesi Augsburg ini bagi kehidupan kita sekarang ini. Apakah yang dikatakan oleh Konfesi ini kepada kita saat ini, dan jika ya, mungkinkah dapat menolong kita untuk rnenyaksikan iman kita lebih jelas. Sekarang, tidak ada lagi Kaisar Jerman yang sangat berkuasa atas kita dan tidak ada lagi ancaman dari Turki. Akan tetapi, masalah kepercayaan dan kemanusiaan, yang memperoleh perhatian dalam Konfesi Augsburg pada waktu kelahirannya, masih tetap kita hadapi sekarang ini. Sampai dimanakah hal-hal ini dapat kita perluas, sesuai dengan konteks dan masalah yang kita hadapi sekarang ini? Satu hal yang tidak bisa kita lupakan, bahwa dokumen ini bukanlah hasil studi yang sungguh-sungguh dari pada teolog-teolog terkemuka. Dokumen ini adalah hasil dari perjuangan iman yang luar biasa. Para penandatangan dokumen ini (pada waktu itu) mengetahui, bahwa dengan membubuhkan tanda tangannya pada dokumen pengakuan ini, kedudukan, harta, bahkan hidup mereka berada dalam bahaya.

I. ALLAH
Dalam Artikel I Konfesi Augsburg ini, Gereja Lutheran pada abad ke 16 menyatakan dengan jelas "Siapakah Allah" yang mereka percayai dan sekaligus memperkenalkan "Siapakah mereka yang disebut Lutheran" dengan cara menghubungkan pengakuan mereka dengan dokumen pengakuan gereja di masa lalu. "Sesuai dengan keputusan Konsili Nicea pada tahun 325, kami dengan sehati berpegang dan mengajarkan bahwa ada satu hakikat illahi, yang disebut Allah, dan ada tiga pribadi dalam satu hakikat illahi ini, setara dalam kuasa dan sama-sama kekal; Allah Bapa, Allah Anak, Allah Rohkudus..." (Theodore G. Tappert, Buku Konkord, terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: BPK­GM, 2004, hal. 36). Para penandatangan dokumen ini, yaitu para elektor, pangeran, dan penguasa setempat dalam Kerajaan Jerman pada waktu itu, bukanlah teolog-teolog. Oleh sebab itu, kita meragukan apakah mereka bisa mengerti istilah-istilah teknis teologia (misalnya, "homoousios") yang ada dalam pengakuan ini. Akan tetapi, pengertian mereka yang kurang sempurna tentang istilah-istilah teknis teologia yang ada dalam pengakuan ini, bukanlah pertanda pengertian mereka berkurang terhadap isinya. Khususnya, pada saat mereka menghubungkan pengakuan ini dengan pengakuan Kristen mula-mula, dan mendaftarkan mana ajaran-ajaran yang ditolak, karena dianggap sesat, sangat membantu untuk memperkenalkan siapakah mereka di hadapan Kaisar yang berkuasa dan di hadapan lawan-lawan mereka. Para penandatangan pengakuan ini, tidak melupakan teologia yang mereka warisi. Mereka mengetahui asal mereka, mereka mengenal dan menghormati "nenek moyang mereka" di dalam iman.
Konfesi Augsburg Artikel I ini, berbicara tentang sifat manusia yang suka melupakan asal-usulnya (" theological amnesia") karena menginginkan sesuatu yang baru. Masalah seperti ini masih sering kita temui sekarang ini. Kita hidup dalam zaman dimana banyak orang bergabung dengan gereja kristen, teolog atau bukan, yang mempercayai, bahwa kita harus mendirikan apa yang relevan pada zaman kita ini dengan cara melupakan masa lalu. Menjadi modern bagi para penganut ini ialah mendirikan yang baru dan melupakan masa lalu. Teologia seperti ini adalah teologia yang paling tidak relevan. Jika anda tidak mengenal siapa anda (mis. nama dan asal-usul anda), maka anda tidak akan memiliki arti apa-apa bagi orang lain. Menjadi modern, bukanlah melupakan masa lalu, tetapi mengunakannya dengan kreatif pada masa kini. Philip Melanthon penyusun Konfesi Augsburg ini, bersama dengan para ahli klasik ternama pada waktu itu, sadar betul akan hal ini. Mereka menyadari makna kekeristenan masa lalu, sebagai syarat masa kini, dan kebenaran pada masa yang akan datang, dinyatakan dalam artikel I pada Konfesi Augsburg ini. Kesetiaan kita kepada Konfesi Augsburg, adalah dengan menggunakan masa lalu, lebih dari 480 tahun yang lalu sejak Konfesi ini dibacakan di hadapan Kaisar, secara kreatif pada masa kini dan pada masa yang akan datang. Dari pada memproklamirkan Allah yang baru, atau tidak ada Allah, atau Allah mati, kita berusaha menyaksikan Allah Abraham, Ishak, dan Yakub, Bapa Yesus Kristus, Allah yang sesungguhnya dan Allah yang Esa, yang di dalam-Nya kita hidup, bergerak, dan berada. Dengan mengakukan iman kita kepada Allah, bukan berarti kita berusaha menggambarkan Allah, akan tetapi menyatakan pemujaan kita kepada-Nya atas penciptaan, pemeliharaan dan atas seluruh berkat dalam hidup kita. Kita bersekutu dengan orang Yahudi dan orang Kristen segala abad menyatakan: "Jikalau bukan TUHAN yang memihak kepada kita, biarlah Israel berkata demikian..dst (baca Maz 124)

II. ANAK ALLAH.
Konfesi Augsburg dalam artikel III ini, menyatakan kepada kita bahwa Yesus adalah Kristus. Dia adalah model manusia yang diinginkan oleh Allah. Allah menginginkan supaya manusia di dunia mengikuti  model Yesus sebagai manusia. Manusia tidak hanya  sekedar “individu” yang lebih tinggi atau mulia dari binatang, khususnya dalam perkembangan mental. Dalam Konfesi Augsburg dinyatakan bahwa Allah menunjukkan apa arti manusia yang sesungguhnya yaitu manusia Yesus, yang benar-benar lahir dari perempuan dara Maria, menderita, disalibkan, mati dan dikuburkan, akan tetapi pada waktu yang sama Dia adalah model manusia yang dipilih oleh Allah. Yesus Kristus sebagai model "manusia" yang dipilih oleh Allah, benar-benar berbeda dari model-model manusia yang ada di dunia (yang sering dijadikan masyarakat menjadi modelnya).
Yesus Kristus sebagai model manusia pilihan Allah, disaksikan dalam Konfesi Augsburg sbb: "Supaya melalui Rohkudus Dia menguduskan, memurnikan, meneguhkan dan menghibur semua orang yang percaya kepadaNya, supaya Ia mengaruniakan kepada mereka kehidupan, setiap anugerah dan berkat, dan supaya Ia melindungi serta menjaga mereka terhadap iblis dan dosa" (Theodore G. Tappert, Buku Konkord, terjamahan ke dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2004, hal. 38). Rumusan pengakuan di atas menjelaskan bahwa model manusia yang dari Allah untuk manusia ini, memiliki kuasa tidak hanya untuk menginspirasi manusia meniru Dia, akan tetapi juga memiliki kuasa untuk merobah mereka yang percaya kepadaNya. Allah menjadi manusia tidak hanya berarti, kita mengenal bagaimana manusia yang sesungguhnya, tidak juga hanya berarti bahwa kita dapat mengenal model manusia yang harus kita teladani, tetapi model manusia Allah ini bekerja dan berkuasa mentransformasi kita kepada pribadi yang seharusnya, menurut Allah, jika kita percaya kepadaNya. Yesus adalah model manusia yang berkuasa atas segala ciptaan. Yesus tidak hanya mengajak kita menjadi manusia yang sama dengan Dia, akan tetapi juga memampukan kita untuk menjadi manusia seperti Dia, jika kita percaya kepadaNya. Konfesi Augsburg mengingatkan kita bahwa Yesus yang adalah model manusia, Dia juga memiliki kuasa untuk mentransformasi kita sesuai dengan apa yang Dia rencanakan, asal kita percaya kepadaNya.

III. JABATAN PELAYAN
Pengetahuan kita akan Berita Injil yang mengatakan bahwa: Anugerah Allah bukan karena jasa kita melainkan oleh jasa Yesus Kristus", melahirkan semangat untuk memberitahukanya kepada orang lain. Semangat ini dinyatakan secara lebih jelas di dalam Konfesi Augsburg, bahwa Allah mengadakan jabatan pelayan untuk memberitakan Injil kasih Allah kepada seluruh manusia.Di dalam melaksanakan tugas pelayanan mengabarkan Injil ini, ada beberapa bahaya yang perlu kita cermati. Pertama bahaya dimana pelayan menjadi wakil warga jemaat melakukan tanggung jawabnya sebagai orang Kristen (klerikalisme). Pada abad ke 16, abad lahimya Konfensi Augsburg ini, terjadi klerikalisme di Gereja. Klerikalisme ini dilaksanakan oleh satu cabang institusi keagamaan. Institusi keagamaan ini bertindak menjadi pelaksana tanggung jawab kekeristenan menggantikan warga jemaat yang diwakilinya. Warga Jemaat membayar pejabat gereja untuk berdoa dan melakukan misa atas nama orang yang membayar. Sama halnya seperti penasehat hukum. Penasehat Hukum berdiri, bertindak, menggantikan kliennya berhubungan dengan masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh kliennya. Semakin ahli Penasehat Hukumnya, semakin aman kliennya berhadapan dengan masalah-masalah hukum, dan sudah barang tentu, semakin mahal pula tarifnya.
Klerikalismo (menyerahkan pengurusan kehidupan iman kepada kelompok profesional keagamaan) pada abad ke 16 dilawan oleh para Reformator. Akan tetapi, masalah ini tidak hanya terjadi pada abad ke 16 saja. Masalah seperti ini masih terjadi sampai saat ini. Masih banyak dari warga gereja yang berfikir bahwa "pelayan gereja" itu sebagai "Perwakilan" mereka. Sebagai perwakilan, mereka mengharapkan pelayan gereja itu dapat mempercayai, atau melakukan, apa yang seharusnya mereka percayai, dan lakukan sebagai orang Kristen. Dengan demikian, Warga Jemaat mengharapkan Pelayan gereja membebaskan mereka dari seluruh tanggung jawab ini dan untuk itu mereka bersedia membayar gaji pelayan gereja.
Konfesi Augsburg menyatakan, bahwa Allah mengadakan Jabatan Pelayan untuk memberitakan Injil kasih karunia Allah, sehingga manusia dapat beriman. Jabatan Pelayan ada untuk kepentingan manusia, dan sebagai alat Tuhan, sampai akhir zaman. Jabatan pelayan adalah jabatan untuk memberitakan Injil dan melayankan Sakramen. Melalui pelayananan atau sarana ini, "Allah memberikan Rohkudus yang menimbulkan iman dalam diri orang-orang yang mendengarkan Injil itu, bilamana dan di mana Dia kehendaki" (Theodore G. Tappert, Buku Konkord, terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2004, hal. 38). Jabatan Pelayan ada, adalah untuk keselamatan manusia. Jabatan Pelayan yang terpisah dari pelayanan kepada manusia, lepas dari pengaruhnya bagi mereka yang menerima Sakramen dan mendengarkan Firman Tuhan, tidak berarti apa-apa. Bahaya yang lain terhadap Jabatan Pelayan ialah apabila ada warga jemaat atau pelayan yang merasa bahwa mereka memiliki akses langsung kepada Tuhan melalui pengalaman mistik. Mereka tidak tergantung lagi pada kesaksian para Nabi, para Penginjil, dan para Rasul.
Konfesi Augsburg menegaskan bahwa Jabatan Pelayan sebagai jabatan memberitakan Injil dan melayankan Sakramen adalah pelindung yang melindungi kita terhadap cobaan-cabaan yang ada dalam waktu kita sekarang ini. Ini berarti, bahwa Pemberitaan Injil tidak tergantung kepada kehebatan seseorang berbicara, (mis seperti kemasukan roh, dsb) atau kepada kepintaran seseorang. Pemberitaan Injil hanya tergantung kepada Injil itu sendiri, kepada Berita Sukacita tentang apa yang telah dikerjakan Allah di dalam Yesus Kristus. Selanjutnya, Konfesi Augsburg juga menyatakan, bahwa bukan tahbisan atau kemampuan berbicara seseorang yang menjamin bahwa isi pemberitaannya adalah berita Injil. Kita hidup dalam abad di mana banyak orang yang menerima tahbisan atau teolog kristen yang isi pemberitannya hanya kata-kata yang enak didengar, bukan berita Injil. Posisi seseorang di dalam Gereja atau perilaku seseorang yang "alim", bukanlah menjamin kemurnian pemberitaannya. Yang menjamin kemurnian pemberitaan ialah Injil itu sendiri.
Kita telah berusaha melihat artikel I, III, & dari Konfesi Augsburg dengan mata kita yang hidup dalam abad 21 ini. Naampak bagi kita bahwa situasi kehidupan dan budaya manusia pada abad 16, pada waktu Konfesi Augsburg ini disusun dan diikrarkan jauh berbeda dengan situasi kehidupan dan budaya kita sekarang ini. Masalah yang dihadapi oleh Gereja pada ab 16 di Jerman, tidak begitu jelas bagi kita sekarang ini. Pertanyaan yang sama kita ajukan kembali. Apakah dokumen Konfesi Augsburg ini memiliki arti yang cukup signifikan bagi kita sebagai Gereja sekarang ini? Apakah yang dapat kita pelajari dari Konfesi Augsburg ini untuk kita sekarang ini? Apakah manfaatnya bagi pelayanan kita sebagai Pelayan di Gereja HKI?
Dalam Tata Liturgi Penahbisan Pendeta HKI, belum dikatakan secara eksplisit bahwa Pendeta yang menerima tahbisan berjanji akan melaksanakan Konfesi Augsburg. Yang dikatakan dalam Tata Liturgi Penahbisan itu ialah memberitakan Injil dan melayankan sakramen yang benar sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan yang tertulis dalam PL dan PB. Akan tetapi, Gereja HKI telah menyatakan dalam Sinodenya, sebagaimana tertulis di dalam Tata Gereja HKI sbb: "HKI berpedoman kepada Pengakuan Iman Apostolicum, Niceanum, Athanasianum, dan Konfesi Augsburg 1530" (Tata Gereja HKI tahun 2005, Pasal 6). Ini berarti, bahwa kita sebagai Warga HKI, non Pendeta atau Pendeta telah menjadikan Konfesi Augsburg ini sebagai Pengakuan Iman kita secara pribadi. Dan sebagai Pendeta, kita telah mengikrarkan bahwa kita akan melaksanakan "jabatan pelayanan" kita sesuai dengan Firman Tuhan dan Konfesi Augsburg. Kita telah menerima Konfesi Augsburg sebagai ringkasan penjelasan Firman Allah yang benar dan kita telah mengikatkan diri kepadanya. Karena Konfesi Augsburg itu dirumuskan sesuai dengan Firman Allah, dengan demikian kita telah mengikrarkan bahwa kita akan membaca dan menafsirkan Alkitab sesuai dengan Konfesi Augsburg, kita akan mengkhotbahkan, mengajarkan Konfesi Augsburg sebagai "doktrin umum (publica doctrina)" Gereja HKI. Kita telah mengikatkan diri kepada Konfesi Augsburg sebagai dokumen yang menyatakan kebenaran Firman Allah.
Dalam perjalanan waktu, sejak Konfesi Augsburg ini, ada banyak Pendeta dan Guru yang merasa terganggu karena harus mengikatkan diri kepada Konfesi Augsburg ini. Mereka menganggapnya sebagai legalisme yang mengekang kebebasan mereka sebagai Pendeta atau Guru di bawah Injil. Akan tetapi, sebaliknya bahwa di dalam kesetiaan kita kepada Konfesi Augsburg di sana kita akan mengalami kebebasan yang sangat indah. Konfesi Augsburg memberikan kepada kita fokus dan arah Alkitabiah dan Teologia, yang kita sebut fungsi normatif dari Konfesi itu, yang kita apllikasikan tidak hanya pada waktu berkhotbah atau mengajar saja, tetapi di dalam seluruh pelayanan kita. Konfesi Augsburg menyatakan kepada kita, mengapa kita ada sebagai Pendeta di Gereja, apa perhatian utama kita, dimana sumber kekuatan kita berada. Konfesi Augsburg menyediakan bantuan dan bimbingan kepada kita untuk menentukan sikap yang benar terhadap pelayanan yang kita kerjakan dan mengatasi masalah-masalah yang kita hadapi setiap hari di dalam melaksanakan tanggung jawab kita sebagai Pendeta. Ada banyak Pendeta mengalami krisis identitas, mengalami goncangan iman, karena berusaha mencari rumusan teologia yang dibutuhkan pada saat-saat tertentu, akan tetapi, tidak demikian dengan kita. Konfesi Augsburg diberikan kepada kita sebagai anugerah, bukan hanya sebagai contoh teologi sesaat, tetapi karena hanya dia teologi yang benar, teologia salib, dan hanya kata-kata pengampunan, keselamatan, damai dan pengharapan yang dikerjakan oleh Allah dalam Yesus Kristus.

 Konfesi Augsburg 1530 Artikel XXVIII

Kuasa Para Uskup
Gereja Katolik mengatakan bahwa Paus, uskup-uskup/ Bishop, kardinal-kardilal dan ahli-ahli teologia tidak mungkin salah. Seluruh keputusan mereka tidak mungkin salah. Ketidakmungkinan salah mereka itu bukanlah sesuatu yang datang kepadanya dengan inspirasi atau ilham tetapi dengan pertolongan Tuhan. Paus, bishop mutlak benar.. Setiap keputusan Paus, bishop tidak mungkin salah. Para uskup mempunyai kuasa untuk memerintah dan memperbaiki secara paksa untuk membimbing rakyatnya mencapai tujuan kebahagiaan yang kekal. Kuasa memerintah membutuhkan kuasa menghakimi, menetapkan, membedakan, dan menegakkan apa saja yang perlu atau berguna bagi tujuan di atas. Ini disebut sebagai hak istimewa dari gereja dan para imam. Akibat pemahaman yang sedemikian, beraneka ragam tulisan mengenai kuasa para uskup/ bishop, bahkan ada yang mencampuradukkan kuasa para uskup dan kuasa duniawi.

Akibat Pemahaman Ketidakmungkinan Salah Paus, Uskup-Uskup/Bishop   
Perkataan bahwa Paus, bishop tidak mungkin salah/ mutlak benar membuat para uskup/ bishop memperkenalkan bentuk-bentuk ibadat baru dan membebani hati nurani dengan kasus-kasus yang dikhususkan bagi mereka serta melakukan pengucilan sewenang-wenang, mengangkat dan menurunkan raja-raja dan kaisar-kaisar menurut kehendak mereka sendiri, membuat dan menentukan undang-undang, membatalkan undang-undang negara atau melemahkan ketaatan pada pemerintah. Mereka menuntut ketaatan yang lebih besar atas peraturan mereka daripada atas Injil. Hal ini membuat banyak keributan, pemberontakan dan peperangan dahsyat.Dengan kata lain banyak keputusan mereka pada akhirnya menjadi menunjukkan kuasa pedang/kekerasan, dan akibatnya muncul perlawanan/pemberontakan dengan kekerasan.

Kuasa Para Uskup Menurut  Konfessi Augsbur 1530
Konfessi Augsburg membedakan dua kuasa yaitu antara kuasa pedang dan wewenang, yang rohani dengan duniawi. Hal ini diambil berdasarkan perintah Allah yang menghendaki agar para pemenrintah dan penguasa dihormati dan dijunjung tinggi sebagai dua pemberian Allah yang tertinggi di dunia ini (Roma 13:2-3).
Kuasa/ jabatan Keuskupan/ bishop kuasa para pemegang kunci gereja adalah kuasa/ jabatan yang berdasarkan Injil yaitu kuasa untuk memberitakan Injil, mengampuni atau menyatakan dosa ataupun menyatakan dosa orang tetap ada, menilai ajaran-ajaran dan menghukum ajaran yang bertentangan dengan Injil serta mengucilkan orang-orang yang secara nyata telah berbuat jahat dari persekutuan Kristen, serta melaksanakan dan melayankan sakramen-sakramen (Mat 16:19; Yoh 20:21-23) kepada orang banyak atau perseorangan. Semua itu jangan dilakukan dengan kuasa manusiawi, melainkan Firman Allah saja.  Alat ukur untuk semua itu adalah Firman Allah.
Dengan jalan demikian Allah memberikan hal-hal dan karunia-karunia kekal, bukan yang lahiriah, yakni kebenaran kekal, Roh Kudus dan hidup yang kekal. Karunia-karunia itu hanya didapat melalui pemberitaan Injil dan sakramen-sakramen (Rom 1:16).. Kuasa itu sama sekali tidak mencampuri urusan pemerintah ataupun urusan duniawi. Berdasarkan ini, para pendeta jemaat dan gereja-gereja wajib patuh kepada para uskup/ bishop sesuai dengan perkataan Kristus (Luk 10:16) Namun bila mereka yang terpilih secara resmi itu mengajarkan/ menetapkan hal-hal yang bertentangan dengan Injil, Allah memerintahkan kita supaya jangan patuh pada hal-hal yang demikian (Mat 7:15; Gal 1:8; 2 Kor 13:8). 
Kuasa itu adalah untuk membangun dan bukan untuk meruntuhkan. Para uskup tidak berkuasa untuk mengadakan atau menetapkan apapun yang bertentang dengan Injil. Kuasa itu bukan untuk membebankankan umat dengan berbagai peraturan/ tuntutan yang menjerat hati nurani manusia sehingga seakan meletakkan kuk pada tengkuk umat (Kol 2:16, 20-23. Dalam hal ini Injil jelas menyatakan bahwa perhambaan kepada hukum tidak perlu untuk pembenaran.

Peraturan-Peraturan Gereja dapat menimbulkan Kekerasan
Para uskup/ bishop dan pendeta boleh membuat peraturan-peraturan agar segala sesuatu yang dilakukan di gereja berjalan dengan tertib. Peraturan itu bukan sebagai sarana untuk memperoleh anugerah Allah atau menebus dosa-dosa, atau menggikat hati nurani orang dengan menganggap hal-hal itu sebagai ibadat-ibadat yang perlu kepada Allah; apabila diabaikan maka ia akan berdosa, meskipun tanpa menimbulkan sandungan. Peraturan dibuat demi kasih dan damai. untuk menghindarkan kekacauan dan kelakuan yang tidak pantas dalam gereja (misalnya 1 Kor 11:5). Dan bagi yang tidak melakukannya bukan berarti mereka telah berdosa dan kehilangan anugerah Allah. Peraturan dibuat untuk menghindarkan dari batu sandungan.
Dalam peraturan yang sedemikian, orang Kristen layak patuh pada uskup/ bishop dan pendeta. Dalam semuanya itu kita diingatkan untuk lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia. Selama pemahaman tentang kebenaran iman dan kemerdekaan orang Kristen tidak diajarkan dan diberitakan dengan jelas dan murni, maka selama itu juga akan tetap ada perdebatan yang salah tentang perubahan hukum misalnya tentang upacara ibadat, makanan dan minuman, darah, hari-hari suci dan lain sebagainya. Perdebatan-perdebatan dengan kata-kata/ ucapan-ucapan tersebut merupakan pintu masuk bagi sebuah kekerasan.

Kuasa Pemerintah/Duniawi
Kuasa duniawi berurusan dengan hal-hal yang jauh berbeda dengan Injil. Kuasa duniawi tidak melindungi jiwa, akan tetapi dengan pedang dan hukuman lahiriah, melindungi tubuh dan harta milik terhadap kuasa lain. Kedua kuasa itu tidak dapat dicampuradukkan (bnd Yoh 18:36: Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; Luk 12: 14; Fil 3:20; 2 Kor 10:4-5). Kedua kuasa itu (dunia dan kuasa uskup) dihormati sebagai pemberian Allah yang tertinggi di dunia ini.

Relevansi 
Jabatan bishop, pendeta akhir-akhir ini adalah suatu jabatan yang diincar-incar, dan bahkan bagaikan suatu perebutan. Mengapa? Ada beberapa anggapan yang salah tentang jabatan itu. Ada yang berpikir bahwa jabatan bishop, pendeta adalah jabatan strategis dan yang mempunyai hak istimewa. Dilantik menjadi bishop, pendeta sama berarti mendapatkan kuasa yang besar, dimana ia merupakan penentu terhadap keputusan-keputusan, peraturan-peraturan di dalam gereja. Hal itu  ada benarnya namun perlu diketahui kuasa bishop, pendeta adalah kuasa yang datang dari Tuhan. Kuasa itu adalah kuasa yang berdasarkan Firman Tuhan (Mat 16:19; Yoh 20:21-23; Markus 3: 14: kuasa untuk menyertai Yesus dan memberitakan Injil; kuasa untuk membangun iman yang benar bukan meruntuhkannya).
 Sepertinya beberapa dekade terakhir ini di beberapa gereja tidak jarang lagi tampak terjadi kekerasan demi mendapatkan “kuasa bishop”. Kekerasan-kerasan itu dimulai dengan ucapan, yang berkembang menjadi perdebatan bahkan sampai kepada  baku hantam. Belajar dari keadaan tersebut, para pendeta, calon pendeta saat ini diajak untuk lebih berhati-hati lagi dalam berkata-kata. Para pendeta, calon pendeta diajak untuk memurnikan motivasi dan tujuan menjadi seorang pendeta, sehingga tidak terjebak pada pemahaman yang salah tentang kuasa pendeta, bishop, tidak terjebak pada penyalahgunaan kuasa pendeta, bishop. Penyalahgunaan kuasa tersebut juga sering berdampak pada kekerasan terhadap sesama pendeta, sesama pelayan, bahkan akibat kuasa bishop tersebut banyak pendeta, pelayan menjadi lebih takut, taat kepada bishop daripada kepada Tuhan.   
Perdebatan tentang perubahan hukum atau peraturan masih sering tampak di gereja-gereja. Masing-masing gereja menyatakan bahwa merekalah yang benar dan yang beroleh anugerah Allah karena mereka memegang peraturan dengan baik dan benar, dan menyalahkan gereja yang lainnya. Perdebatan itu menyinggung perasaan orang lain dan mengganggu pada hati nurani. Para bishop, pendeta perlu berhati-hati dalam menyikapi hal yang sedemikian, karena hal-hal yang sedemikian dapat mengundang hal-hal yang lebih serius dari perdebatan yaitu kekerasan. Kekerasan sering terjadi akibat perkataan yang mengandung dan yang mengundang. Selayaknyalah para bishop, pendeta,calon pendeta bersikap lebih bijak lagi untuk menanamkan iman dan pembenaran dengan benar dan murni.     
Dosa atau kebenaran tidak bergantung pada makanan, minuman, pakaian, dan hal-hal yang serupa itu (lih Mat 15:11; Rom 14:17).  Kol 2:20-23 menunjukkan bahwa semua itu adalah barang yang dapat binasa, hanya suatu tradisi  dan hanya untuk kepuasan daging. Untuk itu, uskup/ bishop, pendeta tidak mempunyai kuasa untuk menciptakan tradisi/ peraturan di luar Injil seakan-akan hal itu dapat meraih pengampunan dosa atau sebagai tindakan ibadah yang berkenan kepada Allah sebagai kebenaran. Dan para uskup/ bishop juga tidak mempunyai kuasa untuk mengatakan bahwa yang tidak melakukannya sudah berdosa. Hati disucikan oleh iman dan tidak boleh membebani orang dengan kuk (Kis 15:9).

 
Konfesi Augsburg 1530 Artikel XXI, XXIII & XXIV

Bagaimana menumbuhkan, merawat dan mengembangkan gereja? Setiap kita harus dilatih untuk hal ini. Strategi ini yang dibutuhkan gereja saat ini apalagi di Indonesia yang membutuhkan kantong-kantong kristen lebih banyak lagi. Tidak hanya di Indonesia di dunia juga sangat dibutuhkan. Sistem kita sekarang ini jika dipertahankan maka ke depan banyak pendeta yang menganggur. Keadaan saat ini tidak ada lagi 20 jemaat yang bisa dibuat resort baru. Kita harus memiliki suatu sistem pelayanan baru yang berorientasi pada pelayanan. Orientasi kita selama ini masih belum kepada pelayanan masih persekutuan. Jadi bagaimana mengubah dan siapa yang mengubah sistem ini? Kebanyakan orang batak maju karena dipaksa.
Banyak yang jadi kreatif karena dipaksa oleh kondisi. Dengan kondisi gereja saat maka ke depan kita harus memaksa diri untuk membuka pelayanan-pelayanan baru. Makanya saya kurang setuju dengan prinsip yang ada saat sekarang ini di kalangan pelayan gereja kita bahwa misi yang ke dalam diutamakan dan yang keluar biar Tuhan yang menentukan, “...yang di dalam ini saja kita kerjakan sudah baik itu”. Padahal sekarang kita harus diperhadapkan dengan bagaimana menerobos kebijakkan pemerintah yang kurang bersahabat. Banyak yang sudah mau dipanen tapi sedikit yang memanen. Kita harus berubah dari orientasi persekutuan menjadi penginjilan keluar. Ini yang mau kita bahas yakni tentang bergereja.
Jika kita mendengar kata gereja apa yang muncul dibenak kita? tempat ibadah, jemaat, pelayan, persekutuan, organisasi/manajemen/birokrasi, ajaran, kerohanian, musik dan banyak lagi. Mari baca kitab Kejadian 1:26 “Berfirmanlah Allah, baiklah “kita” menciptakan manusia agar mereka berkuasa....”, yang mau kita bahas adalah adanya istilah “kita” yang menjadikan manusia itu. Istilah “kita” ini pertama sekali muncul dari kronologis penciptaan. Siapa itu “kita”? Karena yang berfirman adalah Allah maka jelas itu adalah Allah, namun yang bersama dengan Allah siapa? ada Roh Allah, siapa itu “kita”? Anak Allah, belum ada. Malaikat Allah, tidak pernah Allah bersama-sama dengan malaikat menciptakan sesuatu. Allah dengan diriNya, diriNya yang bagaimana? Jadi kalau Roh Allah, Yohanes 4:24 “Allah itu Roh” dan kita balikkan lagi Roh Allah. Kalau Allah itu Roh kemudian kita katakan Roh Allah, Roh Kudus, Roh Penghibur dan macam-macam lagi. Jika Allah itu Roh, kemudian ada Roh Allah, Roh Kudus yang mana lagi? Jadi, kalau istilah “kita” yang dipakai pada diri Allah dalam kitab Kejadian, inilah yang dipakai gereja kemudian untuk menimbulkan atau menciptakan istilah Trinitas. Ini menjadi dasar Trinitas.
Kemudian ketiga-tiganya diperhadapkan kepda kita dengan karya masing-masing dan ada di dalam Allah yang didasarkan dari istilah “kita” dalam Kitab Kejadian. Jadi, sebagaimana Yesus menyebutkan diri sebagai Anak Allah, Juruselamat yang diproklamasikan dan adanya Roh Kudus itu keluar dari istilah “kita” yang sejak awal penciptaan sudah dinyatakan Allah. Karena Allah itu Roh, ajaran Llutheran tidak pernah mengatakan bahwa dengan Roh Kudus itu maka semua keAllahan Allah ada di dalamnya, roh kudus tidak disebut dengan Allah bapa. Yesus Kristus terang-terang menyatkan bahwa Bapa lebih dari Aku, Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku, dan Aku bukan Bapa. Jadi jelas Yesus Kristus menyatakan dirinya bahwa Dia adalah Anak. Istilah Anak karena apa? Bukan karena Yesus Kristus lebih kcil dari Allah Bapa, yang kita pahami adalah bahwa Yesus Kristus ada di dalam Bapa dan Bapa di dalam Yesus Kristus, yang melihat Dia telah melihat bapa.
Kedua Matius 18:20, “...dua tiga orang berkumpul di dalam namaKu, disitu aku ada bersama-sama dengan mereka..”; Matius 16:18, “...di atas batu karang ini aku akan mendirikan jemaatKu dan maut tidak berkuasa...”, dipakai istilah jemaat. Nah dari semua perbincangan ini, maka gereja itu ada dua yang dinamakan dengan: INVISIBLE CHURCH DAN VISIBLE CHURCH artinya yang tidak tampak dan tampak. Marin Luther banyak membahas tetang Invisible Church dan diikuti oleh Paul Tillich dengan teologia sistematiknya.
Invisible Church yakni gereja yang tidak nampak, dimanakah itu? Kalau kita bicara soal gereja maka kita bicara tentang persekutuan. Itulah gereja. Kemudian, dalam Pengakuan Iman Rasuli artikel ketiga, jelas menyebut bahwa dalamnya gereja itu adalah persekutuan orang-orang kudus. Dan mengapa harus di-akukan orang kristen? Kenapa tidak cukup di dalam dogma saja, kenapa harus menjadi pengakuan? Kenapa harus dibuat dalam PIR? Kalau pengampunan dosa dan kebangkitan daging itu harus, tapi persekutuan orang-orang kudus kenapa harus dimasukkan? karena adanya perbedaan dari setiap orang-orang kudus ini. itu prinsip atau pemahaman. Saya melihat dari kesatuan pemahaman tentang akan istilah “kita” dalam kitab kejadian bahwa disana ada kesatuan di dalam keAllahan Allah. Ya dimasukkan karena itu beranjak dari istilah “kita” dalam Perjanjian Lama yang merupakan kesaksian tentang kesatuan di dalam persekutuan dengan Allah. Ini adalah ajaran mendasar dari PIR kita.
Di Gereja menjadi pengakuan iman, karena gereja hadir dari adanya persekutuan dengan Allah yang Invisible sehingga menjadi Visible Churh yakni dari Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Inilah yang dimaksudkan dalam Kejadian 1:26 itu. Ini menjadi patron dari gereja yang tampak (visible church). Maka gereja itu bukan hanya gedung, persembahan, organisasi dan lainnya, karena gereja itu dipatronkan kepada persekutuan keAllahan. Marin Luther mengatakan yang dikutip oleh Paul Tilich kemudian, bahwa gereja merupakan penampakan kesatuan dari persekutuan kudus yang di dalamnya adalah Allah Bapa, Anak dan Rohkudus (Trinitas). Kesatuan persekutuan itulah Invisible church. Nah, jika gereja dimulai dengan persekutuan Allah, maka gereja yang tampak harus berpatron kepada Allah yang menjadikan persekutuan itu ada. Karena itu harus di-akukan di dalam Pengakuan Iman, karena persekutuan orang-orang percaya itu di turunkan dari persekutuan keAllahan Allah. Inilah hakekat yang esensi, bukan hanya hakekat yang hakiki tapi esensi yakni yang inti dari pengertian gereja.
Dalam Konfesi Augsburg penjelasannya tidak begitu jelas, gereja disebut persekutuan yang diorganisasikan. Tapi kalau di konkord beberapa hal diuraikan mengenai gereja sebagai patron dari persekutuan Allah yang kemudian dipertentangkan dengan sempalan2 gereja yang sudah ada pada wakltu itu. Invisible Church yang terdiri dari Allah yang Trinitas.
Mengenai tirinitas tidak akan pernah ada kesimpulan yang jelas. Karena pikiran manusia tidak mampu untuk mengambil kesimpulan untuk itu. Dalam dogma seputaran Trinitas tidak akan pernah habis untuk dibahas. Nah, sebenarnya apa Trinitas? Dalam ruang lingkup ahli-ahli agama-agama sudah tiba pada kesimpulan yang bukan hanya agama kristen saja, bahwa Islam sudah sampai pada kesimpulan yang menganggap ajaran Trinitas adalah suatu filosofi yang tidak akan pernah dipecahkan oleh pikiran manusia. Agama-agama lain dengan melihat kenyataan Yesus Kristus naik ke Surga disaksikan banyak orang, maka tidak bisa menolak dan menganggap bahwa itu sekedar mitos atau karangan orang kristen saja. Karena orang-orang yang menyaksikan kenaikkan Yesus Kristus juga tidak semua menjadi kristen, tapi yang jelas mereka adalah orang-orang Yahudi (I Kor. 15) lebih dari 500 orang menjadi saksi. Artinya dulu sudah banyak sekali, apalagi 5000 orang yang dikasih makan itu sudah wilayah yang luas sekali. Dengan adanya 500 orang yang menyaksikan kenaikkan Yesus Kristus maka tidak dapat disangkal lagi bahwa itu sekedar mitos atau karangan belaka. Segala sesuatu yang memiliki saksi adalah absah adanya.
Kita mempercayai bahwa pernah Yesus Kristus memberikan makan 4000 – 5000 orang bukan karena dituliskan tapi karena adanya saksi yang melihatnya. Tanpa dituliskan pun maka berita itu akan turun temurun terkabarkan dan merupakan peristiwa yang benar-banar terjadi. Lazarus benar-benar hidup kembali oleh firman Tuhan itu dapat dipercayai karena adanya saksi, sama seperti Petrus yang menjala ikan itu juga karena adanya yang menyaksikannya. Oleh karena itu, Alkitab ditulis bukan karena karangan manusia belaka, melainkan karena adanya saksi yang mengalami peristiwa yang dituliskan itu. Itu perbedaan kita dengan agama-agama lain. Meskipun dipenuhi oleh mujizat, tapi segala yang dituliskan tentang apa yang dilakukan Yesus Kristus ada yang menyaksikannya. Yesus Kristus tidak pernah melakukan karyanya tanpa ada yang melihat untuk menyaksikkannya.
Bagaimana dengan Markus (penulis Injil pertama) dapat menuliskan tentang Yesus Kristus padahal ia datang 30 tahun setelah Yesus Kristus naik kesorga? Ia dapat menuliskannya karena apa yang dituliskannya adalah merupakan hasil dari kesaksian banyak orang yang beredar seperti layaknya berita di kalangan masyarakat pada waktu itu secara turun temurun. Jadi apa yang tuliskannya adalah berita umum. Kita pahami bahwa dulu orang belum terpikir pentingnya tulisan, bahwa peristiwa yang mereka alami dan cerita yang disampaikan secara turun temurun memiliki makna yang luas di kemudian hari. Maka benar apa yang dikatakan Paulus dalam 2 Tim 3:16 bahwa semua itu diilhamkan kepada para penulis sehingga mereka tergerak untuk menuliskan apa yang disaksikan itu. Sekarang bagaimana dengan Trinitas itu? Siapakah yang menyaksikannya? Yesus Kristus sendiri yang menyaksikannya, Aku satu dengan Bapa, Aku datang dari Bapa, dan Abrahampun telah menyaksikan tentang Aku. Jadi selalu dengan diikuti adanya saksi. Lalu kondisi Trinitas itu bagaimana? Mengapa dianggap kemudian menjadi filosofi yang tidak dapat dipecahkan oleh manusia? Karena otak manusia tidak mampu mencerna kecuali ketika kita dapat memahami makna dari firman Tuhan yang disampaikan dan disaksikan Yesus Kristus.
Kalau kita mengatakan Yesus Kristus itu adalah Anak Allah apakah berarti Yesus Kristus lebih kecil dari Allah? Tentunya tidak. Analoginya dapat sebagai berikut bahwa jika air yang berasal dari sebuah wadah kemudian dipindahkan ke wadah yang berbeda apakah air itu berubah? Tentunya tidak. Air yang telah dipindahkan ke wadah yang berbeda tadi tetap adalah air yang sama dengan air yang ada di wadah pertama dimana air itu berasal. Demikianlah hakikat keAllahan Yesus Kristus, meskipun ia berada di rahim Maria dan kemudian menjadi manusia, keAllahanNya adalah tetap. Dia tetap Allah dengan “wadah” yang berbeda. Bukan berarti Dia lebih kecil dari Allah. Karena Dia tetap bagian dari Allah. Karena ia hadir sebagai manusia, maka ia akan menempuh proses bagaimana manusia sewajarnya. Karena itulah Dia kita katakan 100% manusia dan 100% Allah. Karena Dia dikandung daripada Roh Kudus, maka sesungguhnya Dia tidak memiliki tubuh manusia melainkan fisik keAllahan, 100% manusia karena tubuhnya manusia dan 100% Allah karena Dia bagian dari keAllahan. Itulah inti dari iman kita dan ajaran yang lain-lainnya itu mengalir dari bagian Trinitas.
Dari bagian Invisible Church yakni persekutuan keAllahan yang intinya adalah kekudusan. Dari persekutuan yang Triniti tadi itu dilahirkanlah Visible Church. Karena Allah yang menciptakan maka kita sebut Allah Bapa, Dialah yang menjadi sumber dari segala sesuatu menjadi ada. Dari sini berkembang pertanyaan mengapa Tuhan menciptakan dunia ini? Kalau teologianya Matius supaya ada temanNya. Tuhan menciptakan segala sesuatu karena Dia mau membuat teman. Teman yang bukan berdunia rohani tetapi teman yang berdunia jasmani. Karena itu dikatakan kepada Adam jangan memakan buah pengetahuan karena sekali dimakan ia akan mati. Jika ia tidak memakannya maka ia akan tetap menjadi bagian keAllahan yang berjasmani, berbendawi. Jadi penciptaan yang puncaknya adalah penciptaan manusia sudah direncakan Tuhan supaya ada temanNya. Dalam Efesus 1:4 itu sangat jelas menurut Paulus, dikatakan bahwa sudah disiapkan bagi kamu sebelum dunia ini diciptakan, artinya dalam Master Plan Tuhan maka yang inti dari semua penciptaan adalah manusia yakni persekutuan yang visible yang mengarah kepada hadirnya Kerajaan Allah yang kekal. itulah inti dari semua penciptaan dan puncaknya.
Melalui persekutuan yang Invisible Church itu melahirkan penciptaan sehingga segala sesuatu ada dan telah dipersiapkan menuju Kerajaan Allah yang kekal. Karena itu diulangi dengan pemilihan umat yang dimulai dari Adam dan kemudian ada pengulangan-pengulangan sejak Perjanjian Lama secara terus menerus hingga Perjanjian Baru. Itulah yang diperbuat Invisible Church. Dari sini kemudian lahir keselamatan di dalam Anak. Mengapa disebut Anak? Karena dilahirkan bukan dibuat, itu Pengakuan Nicea yakni diperanakkan dan bukan diciptakan atau dibuat. Kalau diperanakkan berarti dari diriNya bukan oleh tanganNya, seperti penciptaan Adam oleh karya tangan Allah. Karena ini diperanakkan maka berasal dari dalam diriNya sehingga disebut Anak. Keluar dari diriNya bukan terlepas seperti roh sehingga dapat tidak terkendali. Tetapi dimasukkan ke dalam rahim Maria, sehingga istilah Anak Manusia dan Anak Allah itu sungguh-sungguh diemban dalam diri Yesus Kristus. Dan dari keAnakan itu terciptalah penyelamatan supaya kita bisa sungguh-sungguh mencapai Kerajaan Allah yang kekal. Allah yang mencipta itu ada didalam Sorgawi yang rohani.
Dikatakan roh kudus karena Dia adalah Roh yang keluar dari diri Allah dan ditugasi untuk melakukan penghiburan dan lainnya. Diri Allah tetap, sebab dia mengutus RohNya yang keluar dari diriNya sendiri untuk melakukan tugas rohani. Inilah karya dari yang Invisible Church, itulah gereja yang tidak tampak. Diri kita dan doa serta persekutuan kita dengan Allah itu bukanlah gereja yang tidak nampak atau Invisible Church melainkan adalah dampak dari karya Invisible Church keAllahan yang Trinitas. Berangkat dari pengertian ekklesia yang menjelaskan kehadiran orang-orang percaya yang telah keluar dari kegelapan, maka apakah ini masih dapat disebut Invisible Church. Dan jikalau Invisible Church adalah persekutuan keAllahan yang Trinitas masihkah sesuai disebut dengan Tri of God? Yang perlu kita pahami dari Invisible Church itu adalah karya dari persekutuan itu, karya dari persekutuan Allah itu adalah segala sesuatu ada dan terjadi yang mengarah kepada Kerajaan Allah yang kekal.
Kemudian kita membahas Visible Church yakni gereja yang nampak, yakni kita sekarang ini, gereja dengan gedung dan lainnya. Jadi karena gereja itu adalah persekutuan, biarpun istilahnya adalah gereja bukan berarti hanya milik orang kristen tapi yang membedakannya dengan persekutuan yang lain yang dapat disebut juga dengan gereja adalah jika persekutuan itu patronnya adalah Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Karena itu dalam Matius 18 ditekankan bahwa persekutuan itu harus di dalam nama Yesus Kristus, “...di dalam namaKU” itu intinya. Gereja adalah semua persekutuan yang berada di dalam nama Yesus Kristus. Apakah ada persekutuan sebelum zaman Perjanjian Baru? Ada. Bahwa Visible Church dimulai dari Perjanjian Lama dengan istilah qahal yang mana qahal itu adalah persekutuan yang darinya keluar istilah umat Allah the people of god. Oleh Marin Luther menyebutnya persekutuan atas nama Allah. Jadi ketika Abraham dengan Sarah dan Lot dalam persekutuan mengikuti perintah Allah mereka juga disebut qahal, karena berangkat dan berjalan karena perintah Allah. Karena itu hubungan mereka adalah hubungan yang berangkat dari Allah dan diberkati Allah. Peristiwa keluarnya Israel dari tanah Mesir yang selalu berulang-ulang diingatkan kepada bangsa itu juga disebut dengan qahal yang kemudian menjadi umat Allah, bangsa Allah. Karena mereka berjalan atas perintah Allah. ini keterangan Perjanjian Lama yang intinya tetap berangkat dan berasal dari yang Invisible Church.
Kita lihat dampak qahal itu apa? Dari sini ada pemilihan Abraham, Ishak dan Yakub menjadi bapa-bapa leluhur orang percaya. Dalam istilah Providentia yakni pemilihan dan pemeliharaan, misalnya ketika memilih, memberangkatkan dan memelihara Abraham juga dipakai istilah providentia, juga disebut qahal. Kemudian ada berkat yang ditujukan bukan hanya untuk Abraham sendiri malah ia hanya memperoleh sedikit saja. Apakah ketika Tuhan memberkati Abraham menjadi bangsa yang besar, Abraham merasakan dirinya sebagai bangsa yang besar? Tidak pernah. setelah ia tua baru Ishak lahir dan setelah Sara meninggal ia menikah lagi dan memiliki enam orang anak. Dan dari budaknya ada Ismail. Jadi, anak abraham tidak dirasakannya seperti yang dijanjikan Tuhan kepadanya bahwa keturunannya seperti pasir di tepi lautan. Dia tidak sempat merasakannya. Tapi sekarang keturunannya terus berkembang dan menjadi bangsa yang besar. Misalnya semua daerah Mesopotamia menjadi tempat tinggal keturunannya meskipun ia tidak pernah merasakan dan melihat itu. Bangsa Arab keturanan Abraham dari Ismail, Israel dan bangsa-bangsa di sebelah timur. Semua bangsa ini adalah keturunan Abraham meski ia tidak melihatnya lagi. Inilah berkat untuk dunia. Kemudian dampak dari qahal yang tadi itu terjadi pembentukan umat yang berawal dari bangsa Israel dan terus menerus diperbaharui, sehingga kita dapat mengatakan bahwa kita ini adalah umat Iyang baru. Dampak qahal sampai kepada umat dalam Perjanjian Baru. Kemudian kita melihat ada pemujaan terhadap Allah.
Pernah menjadi perbincangan lintas agama di medan dan kita bersyukur sudah tumbuh kesadaran antara umat beragama untuk dapat saling menerima perbedaan yang ada di setiap agama. Kalaupun dikatakan Allah itu tidak satu sudah semakin sedikit orang yang tidak tersinggung artinya setiap agama sudah berani mengatakan ini Allah kami. Maka jika masih ada pendeta yang beranggapan dan menyatakan bahwa Allah itu hanya satu dan ritus-ritus saja yang berbeda maka dia adalah pendeta yang berasal dari kursus tiga bulan Alkitab. Makanya jangan ada pendeta HKI yang mengatakan Tuhan itu sama dan satu serta tujuan dari semua agama itu ke sorga. Tuhan Yesus telah dengan tegas menyatakan bahwa tiada yang dapat sampai kepada Bapa tanpa melelalui aku, itu tidak ditawar-tawar dan berbeda dengan agama lainnya. Islam mengakui Nabi Muhammad rasulnya dan utusan allah. Maka, dari sini saja apakah sama? sudah pasti beda, karena bukan Allah yang diperkenalkan Yesus Kristus adalah Allah yang dikenalkan Muhammad. Jadi kita katakan lagi sama dan satu Tuhan itu? Biarkan mereka mempercayai itu dan kita mempercayai ini. Dan inilah akar sehingga antar umat beragama bisa rukun. Biarkanlah setiap orang menyembah dan percaya kepada Tuhan mereka. Jangan diganggu. Biarkan Allah sendiri yang akan membuktikan kebenaran akan hadiratnya bagi manusia. Perjanjian Lama telah membuktikan bahwa Allah kita itu adalah satu. Ketika bangsa Israel keluar dari mesir maka banyak illah lain yang tunduk kepada Allah Musa, demikian dengan Allah orang Palestina.
Di Perjanjian Baru dampak qahal bahwa terciptanya persekutuan yang dikenal dengan gereja. Bahwa defenisi gereja yang disebut Ekklesia berasal dari dampak adanya istilah Kuriaken. Gereja adalah kuriaken yang berasal dari kata kurios yakni kembali kepada keberadaan pemahaman Invisible Church, persekutuan milik Tuhan. Maka kehadiran gereja tetap diarahkan kepada yang Invisible Church. Kuriaken dimana Allah menjadi Raja atas persekutuan itu dan Yesus Kristus menjadi Kepala yang nyata. Itulah kuriaken yakni gereja yang sesungguhnya. Dari implementasi gereja (kuriaken) tadi maka kemudian muncul ekklesia artinya memanggil orang dari dunia kegelapan untuk masuk ke dalam terang Tuhan. Inilah hasil dari perkerjaan kuriaken itu. Nah, kemudian kalau kita kombinasikan kuriaken dan ekklesia maka kembalilah kepada Pengakuan Iman Rasuli yakni gereja yang kudus dan am. Gereja yang kudus berarti kembali kepada kekudusan Allah tadi, tidak ada gereja jika tidak bepatron kepada yang Invisible Church yang Trinitas. Jika tidak, maka gereja akan menjadi tempat pertengkaran, mencari keuntungan dan gereja dipergunakan sesuai dengan kehendak manusia. Kita dituntut untuk memahami apa gereja itu dan apa yang tejadi di sekeliling kita, apa gereja ini benar-benar gereja yang diharapkan Yesus Kristus. Kita lihat Gereja HKI apakah sudah kudus? Marin Luther menjelaskan bahwa menjadi gereja yang kudus itu yang pertama adalah bahwa umat Allah yang selalu dibentuk, ditempah dan dikeluarkan (diutus) untuk dibela dari kekuasaan musuhnya. Umat Allah yang dibela dan dilepaskan dari musuh, lihat matius 16:18. Kedua adalah memiliki hukum Tuhan yang menghidupi persekutuan itu yakni kasihilah Tuhan Allahmu dan sesamamu dimana semua hukum terangkum di dalamnya (Mat 22: 37-40). Gereja yang berpatron kepada Allah harus punya hukum ini. Ketiga adalah adanya penyembahan kepada Allah. Keempat adanya perjanjian Allah kepada manusia lihat Mat 28: 19-20.
Kembali ke gereja yang kudus dan am, kita ke implementasinya saja. Kita lihatlah diri kita sebagai gereja. Dari tahun 80 sebagai pendeta saya banyak mengalami pengalaman yang bemanfaat, misalnya saja harus bisa rangku-rangkulan dengan agama lain sehingga tercipta keharmonisan. Untuk maju kita membutuhkan tantangan apakah dari diri sendiri atau senior layaknya bola karet jika semakin ditekan maka pantulannya akan semakin tinggi. Jadi jangan benci dengan tantangan. Jika ada disharmoni dengan senior anggap untuk memajukan. Pelayan harus dapat meniti di atas “duri”, “pecahan kaca” dan tidak mudah putus asa. Sebgai pelayan terhadap jemaat, jangan pernah ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab dan usahan selalu hal yang baru. Pelayan juga harus menjaga kekudusannya, Seperti misalnya dengan rokok? Apakah kita bisa menghidupi kekudusan Tuhan dengan merokok? Kekudusan harus dijawab dengan iman, karena dengan begitu akan banyak sekali yang harus dibuang dari kebiasaan buruk kita untuk bisa menjadi kudus.
Barangsiapa yang mau datang kepada Tuhan harus di dalam kekudusan Yoh 4:24. Kita Lutheran sudah banyak dianggap terlalu liberal dalam kehidupan rohani. Pelayan juga harus mampu menjadi berkat dan dirindukan. Dapat bergaul dengan gereja-gereja lain tanpa mengganggu keberadaan mereka. Salah satu kelemahan Gereja Batak dalam penginjilan adalah sulitnya beradaptasi untuk menghargai lingkungan yang berbeda kebiasaanya. Kita sering mempertahankan kebiasaan kita yang pada akhirnya menimbulkan disharmonis. Dalam menjalin hubungan dengan sesama harus tetap ada daya juang untuk memikul salib Yesus Kristus sehingga senantiasa menghadirkan keharmonisan diantaranya dan lingkungan yang lebih luas. Inilah persekutuan yang am dan kudus itu.
Jika gereja adalah persekutuan yang berdasarkan Invisible Church mengapa dalam mendirikan gereja harus ada patokan jumlah orang? Bukankah ketika satu dua orang bersekutu di dalam Yesus Kristus itu adalah Invisible Church dasar dari berdirinya gereja yang tampak? Benar secara prinsip, namun gereja juga penting jika terorganisir dengan baik, jika tidak terorganisir maka bisa tidak terkendali. Yesus Kristus menyuruh kita untuk pergi dan jadilah garam dan terang, maka tidak dibutuhkan organisasi dan bangunan gereja. Garam sifatnya meresap kesemua bagian yang bersama dengannya, begitu juga dengan terang yang akan menyinari dunia. Namun, setelah gereja semakin berkembang luas, maka gereja mulai berpikir harus ada gedung untuk menampung persekutuan orang-orang percaya dan mulai mengorganisir dirinya. Sebelumnya mereka berkumpul dan berdoa di katakombe-katakombe dan di rumah-rumah. Jika bentuk ini diteruskan kita tidak tahu dampaknya bagaimana? Tapi untuk menyebarkan Injil perlu pola menjadi garam dan teran, hanya saja untuk menjadi tertib perlu adanya peraturan. Kapan gereja mulai dengan bangunannya dan terorganisir? Tentunya setelah kita semakin besar. Dari itu maka yang penting dari gereja adalah adanya persekutuan dan kemudian diorganisasikan. Catatan bahwa Organisasi Lutheran tidak ada yang sama satupun atara gereja-gerejanya. Setelah gereja terorganisasi maka ada program kerja yang bertujuan untuk memberitakan Injil Yesus Kristus.
Susahnya sekarang orang banyak berlomba-lomba membangun gedung gereja yang prestisius. Ketika gedung masih kecil tidak ada perkelahian, tapi semakin besar semakin bermunculan ketidak harmonisan karena dipacu oleh kepentingan materi dan keuntungan. Kemudian, pelayanan gerejawi pun terabaikan. Tanpa terorganisirnya gereja dengan baik maka dapat berdampak buruk pada penatalayanan kehidupan gerejawi. Intinya harus berangkat dan berdasarkan kekudusan. Bagaimana orang yang tidak anggota gereja tapi mereka bersekutu di dalam nama Yesus Kristus? Tidak dapat kita campuri. Tapi yang penting adalah bagaimana gereja melaksanakan pelayanannya dengan tetap memperhatikan “iklim” di luar gereja. Kepentingan kita adalah bagaimana peraturan gereja bertujuan untuk kesejahteraan umat di dalam rohani dan jasmani anggotanya dan masyarakat. Tugas bersaksi, bersekutu dan melayani harus tetap dilakukan baik ke dalam dan keluar gerjea. Tentang aliran-aliran kepercayaan, mereka juga harus diorganisasikan agar tidak berdampak negatif, bagaimana kita menyikapinya? Ya semestinya diorganisir sehingga pemerintahpun dapat dimudahkan untuk mengawasinya. Tapi kita juga harus waspada bahwa banyak oknum mengaku kristen untuk merusak citra kekristenan sehingga dibenci. Kepeduliaan kita adalah bagaimana kita berhati-hati dan bekerjasama dengan pemerintah untuk menertibkan kelompok2 aliran sehingga tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarkat.
Berkaitan dengan Perjamuan Kudus, Marin Luther mengatakan bahwa ketika kita menerima roti dan anggur yang disertai firman Tuhan dan diterima di dalam iman maka roti dan anggur adalah tubuh dan darah Yesus Kristus. Bbukan sebagai lambang dan simbol semata.

 Konfesi Augsburg 1530 Artikel XVII
READ MORE - NOTULENSI SEMINAR KONFESI AUGSBURG 1530 HKI

ketertarikan para sobat