_BERSUKACITALAH & MENURUTSERTAKAN DIRI UNTUK MENGHADIRKAN SERTA MEMPERTAHANKANNYA_

Monday, November 15, 2010

"Aku Mau Berdamai"

0 comments
I Korintus 3: 1-9

Satu persoalan besar dari jemaat di Korintus adalah usahanya untuk mengalami berkat Allah sementara tetap menolak untuk memisahkan dirinya dari cara-cara dunia yang jahat. Para gembala sidang dan pemimpin gereja di Korintus mengizinkan orang yang mengaku diselamatkan bergabung dengan jemaat tanpa meninggalkan perbuatan jahat mereka. Jemaat Korintus membiarkan hal-hal berikut di dalam persekutuan mereka: perpecahan yang mementingkan diri, filsafat dunia yang sesat, iri hati dan pertengkaran, kesombongan, percabulan, perkara-perkara hukum yang sepele, kehadiran dalam pesta pora penyembahan berhala, dan penolakan pengajaran rasuli. Karena jemaat di Korintus gagal untuk mengerti bahwa kebenaran rasuli, kasih, dan standar rohani itu mutlak perlu, maka mereka menyalahgunakan karunia Roh dan "Perjamuan Tuhan", dan memutarbalikkan berita Injil.
Yesus sendiri mengingatkan bahwa jemaat manapun yang membiarkan kebiasaan dunia yang berdosa atau penyimpangan kebenaran alkitabiah memasuki persekutuannya akan ditolak oleh Dia dan akan kehilangan tempatnya dalam kerajaan Allah. Roh mengajak gereja semacam itu untuk bertobat dengan tulus, memisahkan diri dari dunia, dan "menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah". Dengan demikianlah, jemaat Tuhan dapat hidup di dalam keharmonisan (kerukunan), baik sesama jemaat, jemaat terhadap pelayan, dan pelayan menghadapkan sesama pelayan.

PERIHAL PERIKOP
Aku tidak seperti diriku.
Mungkinkah ini terjadi pada kita? Bukankah makna diri adalah sebagaimana diri kita kini dan di sini? Paulus menjawab bisa saja. Contohnya, jemaat Korintus. Mereka tidak lagi menjadi diri mereka, tetapi menjadi seperti orang lain. 

Dari perpecahan, iri hati, dan perselisihan yang terjadi di antara mereka (ayat 3), mereka justru tampak "belum dewasa" ( Yun. nepios: "bayi"). Paulus menyebut mereka seperti "manusia duniawi" (Yun. sarkinos); bahkan mereka adalah "manusia duniawi" (Yun. sarkikos). Paulus menggunakan kata-kata di atas dalam nada ironi, agar jemaat Korintus sadar akan adanya kerancuan dalam diri mereka: mereka rohani dan "matang" (Yun. teleios: "dewasa") karena telah menerima Roh dan hikmat Allah (1Kor. 2:10, 12), tetapi seperti bayi dan menjadi manusia duniawi karena hidup seperti manusia biasa yang seperti belum menerima Roh (ayat 4). Sadar, bertobat, dan setia kepada jati diri, ini sebenarnya yang menjadi maksud Paulus bagi mereka. 

Ironi ini makin kentara ketika nyata bahwa bukti keduniawian jemaat Korintus adalah perpecahan karena pro kontra mengenai para hamba Tuhan (ayat 5-8). Mereka duniawi dalam tindakan mereka untuk urusan hal "rohani" yakni membela hamba Tuhan yang difavoritkan. Untuk meluruskan ini, Paulus menggunakan metafora pertanian milik seorang tuan tanah. Paulus, Apolos dan rekan-rekannya hanyalah "anak buah" Allah Sang Pemilik. Sebagai manusia rohani, jemaat Korintus seharusnya mengerti untuk hanya bermegah di dalam Tuhan (1 Kor. 1:31), bukan dengan konyol bermegah dalam para hamba. Sebab, yang terpenting dalam pertumbuhan jemaat hanyalah Allah sendiri (ayat 8). Menjadi diri kita sebenarnya yang  rendah hati, taat, dan asih; yang dalam Roh-Nya sejati menjadikan hidup rohani kita tanpa keangkuhan; adalah pesan bagi gereja-gereja dengan latar denominasi yang berbeda, sehingga dapat hidup berdampingan dan rukun.

Kawan sekerja Allah
Kawan sekerja Allah Umumnya kata "hamba" kita pakai untuk membaha-sakan diri di hadapan Allah. Kita mungkin pernah mendengar arti hamba atau budak dalam PB, yaitu pada sistem perbudakan zaman itu di mana para budak adalah orang-orang yang berstatus sangat rendah, bahkan lebih rendah dari hewan. Tak punya hak, tak mendapat upah, hidupnya dimiliki dan dikontrol tuannya. Paulus memperkenalkan istilah lain untuk memahami arti menjadi seorang yang melayani Allah. Ia menyebut dirinya dan semua yang terlibat dalam penginjilan, misi, penggembalaan, pembangunan gereja, dan berbagai bentuk pelayanan lain, sebagai kawan sekerja Allah, sambil tetap memakai istilah pelayan Tuhan. Dalam perusahaan, "kawan sekerja" atau "partner" biasa juga disebut kolega, atau rekanan. Ini menunjukkan kedudukan yang sangat penting dan terhormat. 

Konsep paradoks ini sebaiknya ada bersamaan dalam diri tiap orang yang terlibat pekerjaan Allah. Kita adalah hamba-Nya karena karunia-Nya yang menyelamatkan membuat hidup kita adalah milik-Nya. Kita adalah kawan sekerja-Nya sebab dalam keajaiban anugerah dan cara Ia mewujudkan rencana-Nya, Ia menjadikan kita rekan-Nya. Jika konsep ini benar-benar kita hayati, pasti radikal praktiknya! Kita tidak bersaing dengan sesama pekerja Tuhan, tetapi bekerja sama! Kita tidak menilai pelayanan dari cara pandang yang lepas dan pecah, tetapi dari perspektif kebersamaan yaitu keutuhan Tubuh Kristus. Kita bersyukur boleh berjuang bersama dan semua yang kita kerjakan saling melengkapi bagi kemuliaan Allah yang nyata.

Jangan pakai akar bila rotan tak ada
Jangan pakai akar bila rotan tak ada. Mengapa? Menurut beberapa orang, karena dalam peribahasa "tak ada rotan akar pun jadi" tersirat bahwa kualitas adalah nomor dua. Seharusnya, bila tak ada rotan langkah yang diambil adalah entah cari rotan ke sumber lain atau rekayasakan bahan alternatif yang sebaik rotan, atau bahkan lebih baik, supaya mutu produk hasil tidak berkurang. Kini Paulus menggunakan metafora pendirian suatu bangunan (ayat 9, "bangunan Allah"). Dalam konteks jemaat Korintus, Paulus menjelaskan bahwa dengan karunia Allah, dirinya telah meletakkan dasar jemaat (ayat 10) yang adalah Kristus (ayat 11). Karena itu, Paulus memperingatkan mereka yang sedang membangun jemaat Korintus di atas dasar itu untuk berhati-hati: jangan membangun jemaat dengan hal-hal yang tidak tahan uji oleh api (ayat 12). Atau, jangan dengan pengajaran dan tindakan jerami hikmat manusia, tetapi dengan pemberitaan hikmat Allah. Ketahanujian inilah yang akan menentukan upah seorang pelayan (ayat 14-15). Sebagai penegasan dan tedensi, Paulus juga menyatakan bahwa jemaat setempat di Korintus adalah bait Allah dan Allah akan membinasakan orang yang membinasakan bait-Nya (ayat 16-17).

Keprihatinan Paulus adalah jemaat lokal harus dibangun konsisten dengan dasarnya yang adalah Kristus. Kehidupan jemaat harus rohani, yaitu berbeda dengan dunia. Perselisihan dan arogansi adalah tanda dari hikmat duniawi; tanda bahwa kontribusi Kristen kepada bangunan kehidupan jemaat tidak tahan uji. Bahkan, kekeraskepalaan untuk terus hidup duniawi dapat bermuara pada penghakiman karena meniadakan fungsi jemaat sebagai bait Allah yakni menghadirkan kesaksian Roh akan kasih karunia Allah bagi sekitar dan menjadi berkat.

PENUTUP
Demikianlah, tidak jarang keadaan serupa banyak kita jumpai dalam kehidupan gereja hari ini. Perselisihan dan pertentangan menjadi momok yang meresahkan terhadap kebangunan gereja, baik secara internal dan eksternal gereja. Lewat surat Paulus kepada jemaat di Korintus di atas, kita belajar bagaimana keharmonisan dalam tatanan kehidupan gereja baik jemaat – jemaat, jemaat – pelayan, dan pelayan – pelayan; dapat terealisasi jika karakter subordinatif  (memperlakukan atasan dan bawahan) tidak dipakai dalam hubungan membangun gereja Tuhan sebagai tanda kita tidak menggunakan hikmat dunia. Namun, secara bersama dan bekerjasama memberikan kontribusi konstruktif dan positif bagi pengembangan gereja Tuhan. Cukuplah kita bermegah di dalam Tuhan, bukan atas pekerjaan kita (1 Kor. 1:31). Menjadi diri kita yang sebenarnya sesuai dengan identitas istimewa yang Allah telah anugerahkan kepada kita adalah jalan satu-satunya untuk dapat hidup berdampingan dan harmonis, yakni  pribadi yang rendah hati, taat, dan asih, yang dalam Roh-Nya menjadikan hidup rohani kita tanpa keangkuhan. Sehingga kita dapat berkata, “Aku Mau Berdamai”. Amin.

READ MORE - "Aku Mau Berdamai"

ketertarikan para sobat