_BERSUKACITALAH & MENURUTSERTAKAN DIRI UNTUK MENGHADIRKAN SERTA MEMPERTAHANKANNYA_

Saturday, November 28, 2009

HKI MUARA BUNGO

1 comments
Sekilas Kehadiran HKI Muara Bungo
“Si Kecil yang Malang”

Pernahkah saudara bayangkan atau minimal terbesit dalam pikiran saudara bagaimana jadinya nasib dari hidup seorang anak kecil yang masih BALITA harus ditinggal pergi oleh Ibunya? Keberadaan sikecil yang masih merindukan untuk minum susu dari dan oleh ibunya. Sikecil yang masih harus di latih untuk belajar berjalan dan menguasai stuktur anggota tubuhnya. Sikecil yang masih harus diberi pengertian tentang arti dan makna keberadaannya di tengah-tengah kehidupan ini. Dan sikecil yang masih harus dibimbing untuk dapat berhasil beradaptasi dengan lingkungannya. Dapatkah saudara bayangkan apa jadinya kehidupan si kecil itu? YA! Demikianlah kehidupannya. Apapun alasan yang melatar belakangi si ibu meninggalkan si kecil, tidaklah dapat dibenarkan!!! Maka, adalah lebih bijak tidak mempunyai anak, daripada sikecil harus mengalami semuanya.

Oleh didasari akan keterpanggilan pelayanan, menggali lebih luas lagi bentuk dinamika kehidupan pelayanan gereja HKI di tempat yang berbeda dan guna mengembangkan karater dan pola pelayanan yang positif dan solutif bagi kemajuan gereja, khususnya di HKI. Maka, saya berangkat dari Sumatera Utara menuju HKI Daerah VIII Riau Sumbagsel untuk mewujudkannya. Setelah mendapat izin dari Bapak Pdt. E.Siregar (Pareses Daerah VIII Riau Sumbagsel). Sayapun di tempatkan di Resort HKI Jambi untuk membantu frekuensi tugas pelayanan di tempat ini. Dengan beberapa petimbangan dan hasil share bersama Bapak Pdt. E. Pasaribu, MTh (Pendeta Resort Jambi), saya akhirnya di tempatkan di daerah penginjilan yang mana HKI sudah berdiri oleh prakarsa Pdt. A. Sihombing (Pendeta Zending HKI) yakni HKI Muara Bungo.



____Kondisi HKI Muara Bungo


Kondisi HKI Muara Bungo semakin memprihatinkan, sejak khususnya setelah mengalami kekosongan pelayan fulltimer (pendeta) di tengah-tengah jemaat (sebelumnya pendeta adalah Bapak A. Sihombing, yang sekaligus sebagai prakarsa berdirinya HKI Muara Bungo). Hal ini berdampak pada berkurangnya intensitas ibadah yang dilakukan jemaat, meskipun terdapat beberapa anggota jemaat yang telah diangkat menjadi parhalado namun tidak secara signifikan menunjang perkembangan pelayanan, khususnya ibadah (Hal ini tidak terlepas dari perjumpaan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan setiap hari dan keluarga dengan tugas-tugas gerejawi, yang memaksa untuk memilih salah satu di antaranya). Keadaan di atas tidak hanya berdampak sampai di sini, melainkan juga pada persatuan jemaat dalam persekutuan sebagai satu kesatuan dalam gereja. Selain itu, dampak yang lebih ekstrim adalah dengan ditemukannya beberapa dari anggota jemaat yang akan dan telah berpindah anggota jemaat ke gereja lain. Ternyata, kehadiran seorang pelayan fulltimer (baik yang telah menyelesaikan studi theologia, Vikaris dan atau pendeta) sangat mendukung bahkan menentukan keberlangsungan eksistensi jemaat-jemaat di beberapa daerah Gereja HKI. Seperti halnya di HKI Muara Bungo.





Sekilas kota Muara Bungo____

Muara Bungo adalah salah satu kota yang berada di Kabupaten Muara Bungo, Provinsi Jambi. Sebagai kota Lintas Sumatera, Muara Bungo masih dalam masa transisi menuju perkembangan. Hal ini dapat dilihat dari letak geografis dan pertumbuhan pembangunan yang masih belum tertata rapi. Di beberapa tempat masih terlihat pembukaan besar-besaran hutan menjadi pemukiman penduduk atau pusat industri. Dengan sumber daya alam berupa batu bara dan perkebunan karet, menjadikan kota ini salah satu daerah yang dilirik oleh para investor. Dari skala populasi kependudukan, Muara Bungo masih dapat disebut daerah yang jarang penduduk, meskipun demikian secara perekonomian dapat tergolong “mahal” untuk biaya hidup, yang untuk sebahagian penduduk itu seimbang dengan pendapatan mereka (tetapi tidak untuk sebahagian besar jemaat HKI). Dari data hasil laporan Pertanggungjawaban panitia Oikumene 2004, diuraikan bahwa jumlah populasi penduduk nasrani kurang lebih mencapai 670-an Kepala Keluarga dan 12 denominasi Gereja. Ini menunjukkan bahwa nasrani masih sangat jauh berbanding terbalik dengan populitas muslim. Dampak dari keadaan ini tampak dari kencenderungan kurang diperhatikannya hak-hak dari warga negara yang beragama nasrani. Indikasi secara kasat mata jelas terlihat dari sektor pendidikan. Untuk pendidikan formal dari jenjang SD – SLTA pelajaran pendidikan agama kristen tidak dimasukkan sebagai mata pelajaran berbasis kurikulum dan kompetensi. Pengadaan pelajaran agama kristen dilakukan di luar jam sekolah pada umumnya. Dan kegiatan ini di serahkan kepada BKSAG (Badan Kerjasama Antar Gereja) untuk menyediakan guru agama bagi para murid nasrani. Bahkan yang riskan sekali adalah untuk jejang SD mereka belajar agama islam untuk yang nasrani. Di samping hal di atas, yang juga sudah rahasia umum dimana bangunan gereja masih sangat sulit untuk mendapatkan izin pembangunan. Bahkan, bagi yang tidak ada IMBnya, bangunan gereja tidak diperkenankan untuk mendirikan atau menunjukkan simbol kekristenan (salib) di bangunan gereja. Secara umum, dapat dikatakan bahwa kota Muara Bungo salah satu kota yang sedang menuju kearah perkembangan dan pastinya akan menjadi kota yang besar dan pusat kegiatan perekonomian dengan akan dibukanya pada tahun dekat ini sebuah Bandara berkapasitas internasional.


___Bagaimana dengan keberadaan
HKI Muara Bungo?
___


Apakah kaitannya keberadaan HKI Muara Bungo dengan isi paragraf pertama di atas? Sebagai informasi, pkrakarsa pendiran HKI Muara Bungo diawali sejak tahun 2003 oleh beberapa orang yang sudah lama tinggal disana sebagai perantau dengan didorong oleh kerinduan untuk beribadah dalam bentuk pelayanan HKI seperti mana biasanya mereka alami selama di ”bona pasogit”. Kerinduan ini disambut baik oleh pengurus HKI. Dan sebagai tugas yang lazim dilakukan, maka Pdt. A. Sihombing (pendeta zending) diutus untuk mewujudkannya. Dengan kerja keras bersama warga jemaat HKI disana, dan pastinya oleh penyertaan Roh Kudus maka, pada awal tahun 2005 berdirilah bangunan gereja HKI dan sekaligus diresmikan dengan 17 KK anggota jemaatnya. Dengan waktu yang sesingkat itu, setelah HKI berdirilah maka semestinya diikuti dengan pembenahan di berberbagai hal seperti pelayanan, admistrasi dan pematangan kapasity building para pelayan untuk mendukung pengembangan HKI Muara bungo yang lebih baik dan maju. Kondisi inilah yang kemudian HKI Muara Bungo saya analogikan sebagai anak kecil (Sikecil). Dengan bermodalkan semangat yang masih ’marak’ (layaknya anak kecil di masa-masa pertumbuhannya dan keingintahuannya untuk segala hal), seharusnya pengurus HKI lebih lagi memberikan perhatian. Dengan menyokong dan memotivasi jemaat dan pelayan di sana agar dapat semakin ’dewasa’ dan dapat matang dulu dalam berbagai hal, khususnya penatalayanan dalam ibadah-ibadah gereja. Jika diibaratkan anak kecil, minimal sudah dapat berjalan meskipun masih tertatih dengan kedua kakinya dan sudah mengenal berbagai struktur organ tubuhnya yang fital dan kegunaannya. Namun, sangat disayangkan adalah seakan-akan dengan tidak memperhatikan keadaan di atas pengurus HKI malah melakukan hal yang jauh dari apa yang diharapkan. Perpindahan pelayan fulltimer dari tengah-tengah kehidupan jemaat yang baru tumbuh layaknya HKI Muara Bungo menjadi gelombang efek negatif atas pertumbuhan jemaat di sana. Di berbagai bentuk pelayanan gerejawi tidak lagi berjalan dengan semestinya, bahkan perselisihan tidak dapat dihindarkan antara sesama jemaat, khususnya para pelayan yang jumlahnya juga sangat tidaklah memadai. Maka, jelas saja jika akhirnya, saat ini HKI Muara Bungo hanya tinggal bangunan tanpa adanya bentuk dan kegiatan gerejawi yang semestinya.

Bagaimanakah peran jemaat dan pelayan HKI lainnya memandang kondisi ini? Jika Paulus menyatakan ”dan ketika aku dalam kekurangan di tengah-tengah kamu, aku tidak menyusahkan seorangpun, sebab apapun yang kurang padaku, dicukupkan oleh saudara-saudara yang datang dari Makedonia...”(2 Korintus 11:9), adalah baik dan seharusnya antar jemaat Tuhan memberikan perhatiannya terhadap jemaat dan palayan lain yang membutuhkan, maka perlu dipertanyakan bagi Gereja HKI dengan segenap elemennya baik pelayan dan jemaat sendiri, terhadap semangat Galatia 6:2, untuk saling bertolong-tolonglah menanggung beban sebagai jemaat Kristus dalam Rumah Besar HKI? Agar kiranya tidak satupun dari jemaat Tuhan menjadi kekurangan dan bahkan hadirnya ”sikecil-sikecil” yang malang lainnya.

Semoga!!!

READ MORE - HKI MUARA BUNGO

Yesus di Usia 12 - 30 tahunNya?

0 comments
The Silent Period of Kristus Jesus
(Historis – Sit Im Leben)

Keempat Injil hanya menceritakan kehidupan Yesus ketika Ia dilahirkan (Mat. 1:18-25; Luk. 2:1-7), disunat pada usia 8 hari dan diserahkan di Bait Allah (Luk. 2:21-40), Ia kembali muncul di Bait Allah yang sama pada umur 12 tahun (Luk. 2:41-52), dan Yesus tampil di depan umum setelah dibaptis oleh Yohanes untuk memulai pekerjaan-Nya, berumur kira-kira 30 tahun" (Luk.2:23).

Jadi, ada "waktu senyap" ("the silent period") selama 18 tahun, yaitu antara Yesus usia 12 sampai usia 30 tahun. "Kesenyapan" ini telah menyebabkan banyak penulis mencoba mengisinya menurut tuntutan kepentingan dan andaian-andaian mereka sendiri. Dari abad ke abad, khususnya setelah zaman Rasuli yang dimulai pada akhir abad ke-2 Masehi, berbagai spekulasi mulai berkembang. "Kisah-kisah Ajaib" inilah yang akhir menjadi tulisan-tulisan apokrifa dan pseudographa.

Sastera ini banyak dijadikan rujukan oleh ahl al-bid’ah (heresy). Contoh-contoh tulisan apokrif ini, misalnya Injil al-Tufuliyah (Arabic Gospel of Infancy) yang berasal dari abad ke 7 Masehi. Dalam buku ini dikisahkan bahwa Isa dapat berbicara pada waktu bayi ketika Dia sedang digendong Maryam, ibu baginda. "Ana huwa Yasu’a Ibn Allah" (Akulah Yesus, Putra Allah), kata bayi Yesus kepada ibu-, "alladzi walidati kamma basyiruki Jibril al-Malak wa atta arsalni lil khalash al-‘alam" (yang dilahirkan sebagai berita gembira dari Malaikat Jibril kepadamu dan aku diutus untuk keselamatan dunia).

Selanjut, berita Injil Matius 2:13-15 yang berkisah tentang pelarian Yusuf dan Maria membawa Yesus ke Mesir, dalam Injil Pseudo Gospel of Matthew yang berasal dari abad ke-5 Masehi, dikembangkan menjadi kisah-kisah ajaib yang berlebihan. Seperti pohon korma yang kononnya membungkuk menuruti perintah kanak-kanak Yesus untuk mengeluarkan buahnya dan air segar yang memancar dari bawah pohon itu. Demikian pula, kisah-kisah ajaib mengenai remaja Yesus yang membuat burung dari tanah liat, dimuat dalam The Gospel of Thomas (Injil Thomas) berbahasa Yunani. Injil tersebut berasal dari abad ke-3 Masehi. Kisah-kisah ini sangat populer di kalangan sekte-sekte bidat Kristen di tanah Arab menjelang dan pada saat kelahiran Islam.


Di manakah Yesus Kristus
berada ketika berusia 12 sampai 30 tahun?

Banyak deskripsi, secara terang-terangan menjelaskan bahwa banyak hal yang kurang mendapatkan ruang di catatan sejarah dan latar belakang Yesus. The silent period Yesus diisi dengan berbagai spekulasi cerdik belaka untuk menyenangkan telinga semata. Bahkan teori-teori seperti itu sebenarnya tidak akan muncul apabila kita memahami latar belakang kehidupan Yesus, "yang lahir dari seorang perempuan yang takluk kepada hukum Taurat" (Gal. 4:4).

Mengapa Yesus ditampilkan hanya kelahiran-, usia 12 tahun dan baru ditulis lagi setelah berusia 30 tahun? Dari perspektif Yahudi, hal itu bukan hal yang aneh. Sebab menurut budaya Yahudi seorang lakI-laki baru boleh mengajar di depan muka umum hanya pada usia 30 tahun. Menurut hukum Yahudi, usia seorang anak digolongkan dalam 8 tahapan:
1. Yeled, "usia bayi"
2. Yonek, "usia menyusu"
3. Olel, "lebih tua lagi dari menyusu"
4. Gemul, "usia disapih"
5. Taph, "usia mulai berjalan"
6. Ulem, "anak-anak"
7. Na'ar, "mulai tumbuh remaja"dan
8. Bahar, "usia remaja".

Dari catatan tentang kehidupan Yesus dalam Injil, kita hanya membaca 3 klasifikasi usia saja yang ditulis, yaitu bayi (yeled), usia disapih (gemul), yaitu ketika Ia diserahkan di Bait Allah di hadapan Simeon dan Anna, dan remaja (bahar, 12 tahun) ketika Yesus diajak Yusuf dan Maria ke Yerusalem.

Mengapa Yesus muncul pada usia 12 tahun? Karena usia 12 bagi tradisi Yahudi zaman Yesus begitu penting. Seorang anak laki-laki Yahudi harus melakukan upacara yang disebut Bar Mitzvah (anak Hukum). Menurut legenda Yahudi, pasa usia 12 tahun Nabi Musa meninggalkan rumah putri Fir'aun. Pada usia yang sama juga, Nabi Samuel menerima suara yang berisi Ilahi dan Salomo (Nabi Sulaiman) mulai menerima hikmat Allah dan Raja Yosia menerima visi reformasi agung di Yerusalem. Dalam rangkaian ritus Yahudi itu, Yesus harus melakukan 'aliyah (naik) dan Bemah (menghadap mimbar untuk menerima kuk hukum Taurat). Upacara ini dilakukan pada hari Sabat, karena itu disebut juga thepilin Shabat.

Sejak abad Pertengahan, usia Bar Mitzvah dilakukan pada usia 13 tahun. Menurut literatur / sastera Yahudi abad pertengahan, Sepher Gilgulim, semua anak Yahudi sejak usia 12 tahun, mulai menerima ruach (roh hikmat) dan pada usia 20 tahun ditambahkan bagi nishama (reasonable soul, "jiwa akali"). Mulai usia 20 tahun seseorang harus memasuki sekolah khusus Yahudi (Beyt Midrash). Sedangkan tahapan-tahapan pendidikan Yahudi sebagai berikut:
1. Mikra (membaca Taurat) mulai usia 5 tahun,
2. Mishna mulai usia 10 tahun,
3. Talmud pada usia 12-13 tahun (Yesus 12 tahun),
4. Midrash pada usia 20 tahun,
5. Sejak usia 30 tahun baru boleh mengajar di depan muka umum dan khalayak ramai.

Conclusion…
Dari tahapan-tahapan pendidikan Yahudi pada zaman Yesus serta latar belakang agama dan budaya, jelas bahwa andaian-andaian dan spekulasi-spekulasi mengenai 18 tahun kehidupan Isa yang kononnya "hilang", sama sekali tidak mempunyai landasan sejarah. Jadi, ke mana Yesus selama usia 12 sampai dengan 30? Jawaban, berdasarkan data-data Injil sendiri (Mat. 13:55; Mrk. 6:3), Yesus menjalani kehidupan seperti layaknya anak-anak Yahudi dan ia bersama keluargaNya bekerja di Nazaret sebagai tukang kayu.
READ MORE - Yesus di Usia 12 - 30 tahunNya?

HUT HKI JAMBI KE - XX

0 comments
REFLEKSI UNGKAPAN SYUKUR
(Hari Ulang Tahun HKI Jambi Ke – XX)

Dalam torehan tinta emas sejarah kegerejaan di tengah-tengah kehidupan berbangsa, khususnya dalam kerangka perjalanan kehidupan perkembangan gereja HKI dan pembangunan bangsa Indonesia. Lewat suatu usaha dan kerja keras yang berangkat dari pemaknaan Amanat Agung Kristus Tuhan dalam Matius 28:19-20 (lih. Tata Gereja HKI psl 1-4), yang mengandung pesan kuat untuk disampaikan kepada setiap orang percaya di dalam Terang Keselamatan yang telah Allah berikan lewat Kristus Tuhan yaitu untuk mewujudkan suatu pola hidup di dalam kesatuan. Kesatuan yang dimaksudkan adalah kesatuan rohani yang berlandaskan hidup di dalam Kristus, mengenal dan mengalami kasih Bapa dan persekutuan dengan Roh Kudus, pengudusan dalam kebenaran, menerima dan mempercayai kebenaran Firman Allah, ketaatan kepada Firman, dan keinginan untuk membawa keselamatan kepada yang hilang (Yohanes 17).


Dengan demikian secara nyata ada tugas bagi setiap orang percaya untuk mewujudkannya. Maka, dengan beranjak dan dimotivasi oleh keterpanggilan sebagai imamat am orang percaya yang apostolik1, dan yang rindu untuk terlibat secara konstruktif dalam kemajuan kehidupan gereja dengan didasari oleh semangat Tritugas panggilan Gereja. Akhirnya, diawali oleh beberapa tokoh masyarakat anggota jemaat HKI yang berada di daerah perantauan di Provinsi Jambi, berdirilah Gereja Tuhan dalam Rumah Besar Huria Kristen Indonesia 20 tahun yang lalu tepatnya pada 15 Oktober 1989.


HKI Jambi dibentuk dalam rangka menghadirkan sebuah wadah bersama bagi setiap orang percaya di daerah Jambi untuk memuliakan Kristus Tuhan dan wujud persekutuan yang oleh Kristus sebagai tedensi dalam DoaNya (Yohanes 17:21, lih. Juga Usaha HKI). Peristiwa ini adalah tindakan bersejarah dalam rangka keinginan untuk turut berperan dalam dunia pelayanan Gerejawi oleh dorongan Roh Kudus bagi jemaat HKI yang ada di Jambi guna mengajak orang percaya memikul salib Kristus dan mengamalkannya, mendalaminya setinggi langit, sedalam samudera dan seluas bumi ciptaanNya di dalam Iman, Pengarapan, kasih dan Damai. (lih. Makna dan Arti warna logo HKI).


HKI Jambi diharapkan dapat memperlihatkan bahwa panggilan dan kewajibannya sebagai persekutuan yang imani di dalam Kristus adalah untuk bekerja sama sebagai kawan-kawan sekerja dalam mem­bangun bangsa Indonesia dengan segenap elemen bangsa tanpa memandang agama, suku, dan budaya. Dengan semangat oikumene dan nasionalisme yang mendorong suatu kesatuan mewujudkan dan memeihara semangat dan karakter bangsa yang saling meng­hargai dan bertoleransi akan kebudayaan, sifat dan kemampuan masing-masing elemen bangsa. Untuk menunjukan perannya di tengah kemajemukan bangsa yang tidak terlepas dari semangat Tritugas panggilan gereja HKI Jambi diharapkan tidak hanya berdiri di tengah eksistensi konseptual dan melupakan wujud dari hubungannya dengan Tuhan sebagai gereja yang misioner. Dengan kata lain aktifitas yang ada dan akan dilaksanakan oleh HKI Jambi dengan seluruh daya baik dari pelayan dan jemaat haruslah mampu menyaksikan Kritus adalah Tuhan baik ke dalam dan keluar gereja. Hal ini perlu kiranya ditandaskan karena adanya kecenderungan dalam jemaat, seakan-akan pengkabaran Injil itu hanya merupakan aktifitas orang-orang yang berada dalam lingkaran “religious minded” (mis: pendeta dan pelayan gereja).


Dalam konteks kekinian, dalam usianya yang ke 20 tahun, HKI Jambi semoga semakin berhasil untuk mewujudkan eksistensinya sebagai gereja yang misioner yang ditandai kemandiriannya dalam berteologia, dana, daya dan peran aktifnya di tengah-tengah pembangunan bangsa. Dalam hidup ada cobaan, dalam waktu ada penantian, dalam doa ada pengharapan, dan dalam kasih Kristus ada sukacita dan keselamatan. HKI Jambi sebagai kesatuan orang percaya di dalam Terang Kasih Kristus tidak harus memiliki yang terbaik namun dengan beriman bahwa segala yang dimiliki sebagai yang terbaik akan mendorong setiap para pelayan dan jemaat untuk menjadi yang terbaik di hadapan Tuhan.


Akhirnya, dengan menapaki usia 20 tahun HKI Jambi adalah anugerah yang diberikan bagi semua jemaat Tuhan yang terpanggil dalam tugas Amanat Agung Kristus Tuhan. Mari dengan momentum ini kita diajak untuk retrospeksi terhadap eksistensi Gereja HKI secara umum dan HKI Jambi secara khusus, dalam mengumandangkan motivasi profetisnya sebagai wujud dari akan termanifestasikannya Kerajaan Allah dalam setiap dimensi kehidupan. Apa yang sudah dan belum atau sama sekali tidak diperbuat menjadi pertanyaan untuk direnungkan bersama. Semoga!


Hariara madungdung, pilo-pilo na maragar, Sai tading ma na lungun, ro ma na jagar.

Eme ni Simbolon parasaran ni si borok, Sai horas-horas ma hita on laos Debata ma na marorot.

Tuat si puti, nakkok sideak, Ia i na ummuli, ima ta pareak.


Selamat Ulang Tahun

HKI Jambi Ke – XX

(15 Oktober 1989 – 18 Oktober 2009)


[1] Kata apostolik berasal dari bahasa Yunani “apostolos” yang artinya rasul. Apostolik artinya bersifat kerasulan, tetapi bukan rasul. Jadi gerakan apostolik adalah gerakan Roh Kudus dimana setiap orang percaya bersifat rasuli, artinya ia sadar bahwa dirinya dipanggil untuk diutus Tuhan untuk suatu tugas / misi (Yohanes 20:21). Komunitas ini dipanggil keluar dan dipilih oleh Allah “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib...” (1 Petrus 2:9). Jadi, komunitas Allah yang apostolik adalah sekelompok orang yang dipanggil keluar, dipisahkan bagi Allah melalui pertobatan dan iman dalam Yesus Kristus. Komunitas ini diutus sebagai agen perubahan untuk mengubah komunitas, kota, bangsa mereka, bahkan mengubah dunia. (Efesus 4:11-12).

READ MORE - HUT HKI JAMBI KE - XX

Dikekinian kehadiran Manusia

0 comments


Mempertanyakan untuk Menyatakan
Keadaan Manusia



Benarkah bahwa pada hari-hari terakhir ini telah, akan dan sedang datang masa yang sukar? Keadaan ini jelas tampak secara belak-belak-an dari peringai dominan manusia.




Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orangtua dan tidak tahu berterimakasih, tidak mempedulikan AGAMA, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu daripada kehendak Tuhan yang Esa. Secara lahiriah mereka menjalankan IBADAH mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatanNya. Mereka walaupun selalu ingin diajar, namun tidak pernah dapat mengenal kebenaran, bahkan menentang kebenaran, akal mereka bobrok dan iman mereka tidak tahan uji.




Hm….Is it true, God Is’nt unknowledgeable?
READ MORE - Dikekinian kehadiran Manusia

Thursday, November 12, 2009

SPRITUALITAS

0 comments
SPRITUALITAS


Dari dulu hingga sekarang masih banyak orang yang menggunakan istilah "kerohanian" untuk menunjuk pada hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan. Akan tetapi sekarang ini semakin disadari bahwa istilah itu sudah tidak memadai lagi. Karena istilah itu kerapkali dipahami secara keliru atau kurang tepat. Apalagi kerohanian dengan mudah dipahami sebagai lawan dari kejasmanian. Alkitab tidak pernah membuat pembedaan antara hal yang rohani dengan yang jasmani. Pembagian tersebut adalah warisan dari pemikiran filsafat platonis yang tidak dikenal dalam Alkitab kita. Di samping itu istilah rohani juga dengan mudah membuat orang punya kesan seolah-olah yang dibicarakan hanya masalah batin saja, atau malahan hal-hal yang bersifat emosional. Atau tidak jarang juga orang memahami kerohanian semata-mata dalam kaitan dengan ritual atau devosional, seperti misalnya: menghadiri kebaktian Minggu, mengikuti kegiatan PA atau Persekutuan, membaca Alkitab dan berdoa secara pribadi, atau melakukan doa-puasa.



Spiritualitas Dasar Pembangunan Gereja


Misi gereja dilaksanakan di tengah-tengah situasi yang senantiasa berubah dan berkembang. Karena itu, untuk melaksanakan misinya dengan baik, gereja dalam keseluruhan dan keutuhannya dipanggil untuk terus-menerus melakukan pembangunan gereja. Yang dimaksudkan dengan istilah "pembangunan" dalam "pembangunan gereja" bukan dalam arti pembangunan fisik (misalnya pembangunan gedung gereja atau pembangunan rumah ibadat). Arti istilah "pembangunan" di sini, mengacu terutama pada istilah "oikodome" dalam Perjanjian Baru, adalah pembangunan spiritual dalam pengertian yang seluas-luasnya, sebagai tugas dari persekutuan Kristiani secara utuh dan menyeluruh. Pada hakikatnya Allah adalah Pelaku Utama dalam pembangunan gereja. Namun, karena Allah telah memilih dan berkenan memakai umatNya sebagai rekan sekerjaNya, secara konkret dan operasional, gereja menjadi pelaku pembangunan gereja. Yang dimaksudkan dengan gereja dalam hal ini adalah seluruh anggota dan pejabat gerejawinya, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sebagai kesatuan. Spiritualitas adalah dasar Pembangunan Gereja. Partisipasi spritualitas mengaktifkan hidup beriman dan orientasi iman jemaat. Iman yang sering mereka ungkapkan dalam konteks masyarakat, dihayati secara perorangan dan secara kontekstual. Ungkapan iman itu kiranya merupakan titik tolak bagi perkembangan spiritualitas. Maka perlu bahwa kita menjadi peka terhadap ungkapan iman itu.



Dimensi Spiritualitas
Tapi, apakah spiritualitas itu? Kata "spiritualitas" berasal dari kata Latin "spiritus" yang dapat diartikan sebagai "roh, jiwa, sukma, nafas hidup, ilham, kesadaran diri, kebebasan hati, keberanian, sikap dan perasaan". Eka Darmaputera mengartikan "spiritualitas" itu dengan pengalaman agama (religious experience). Pengalaman berjumpa dengan Yang Illahi, Sang Maha Lain (the Wholly Other), Sang Kudus (The Sacred) sehingga menimbulkan suatu perasaan mysterium fascinans et tremendum, suatu perasaan misterius yang susah dilukiskan karena ia merupakan campuran dari perasaan gentar namun juga penuh pesona yang amat memukau. Sama seperti yang dialami oleh Petrus dan kedua orang rekannya yang lain ketika mereka menyaksikan Yesus yang berubah wajah dan pakaianNya dan tengah berbincang-bincang dengan Musa dan Elia (Mat. 17:1-13).



Pengalaman ini tidak mungkin ditularkan ataupun diturun-alihkan, karena ia merupakan suatu pengalaman yang amat pribadi. Penerusan pengalaman itu hanya mungkin dilakukan melalui agama beserta dengan tradisinya. Pengalaman agama hanya terjadi satu kali saja, sama seperti api cukup sekali dinyalakan. Tugas kita adalah menjaga agar kehangatan api itu terus dapat dirasakan untuk jangka waktu yang lama. Untuk itu pengalaman agama tersebut haruslah senantiasa direvitalisasikan, disegarkan kembali, yaitu melalui keikutsertaannya dalam ibadah (ritual) dan dengan cara selalu memperbarui relevansi dari (doktrin, dogma) agama itu sendiri. Tanpa relevansi tersebut hangatnya api akan hilang dengan sendirinya, dan agama hanya akan tinggal menjadi abu saja.



Bila spiritualitas itu dikaitkan dengan kekristenan, maka hal itu menunjuk pada intensitas atau kedalaman hubungan orang itu dengan Roh Kudus yang menjadi landasan dan sumber pembentukan jati dirinya yang dinampakkan dalam sikap dan perilaku hidupnya terus menerus. Dengan kata lain bahwa hubungan seseorang dengan Roh Kudus akan menentukan kehidupan etika orang itu.



Spiritualitas tidak lain adalah suatu komitmen religius, suatu tekad dan itikad yang berkaitan dengan hidup keagamaan. Dalam hal ini ada 5 dimensi dari spritualitas, yaitu:


  1. Dimensi kepercayaan (belief), yaitu keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran imannya. Tak pelak lagi, ini merupakan unsur yang amat penting dalam kekristenan, bahkan juga di agama-agama lain. Tanpa keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran iman, tentu seseorang tidak akan menjadi bagian dari komunitas orang beriman tersebut, misalnya bila seseorang tidak percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat manusia, maka tidak mungkin ia menjadi seorang anggota gereja.
  2. Dimensi praktis, terdiri dari dua aspek yaitu ritual dan devosional. Ritual diuraikan sebagai suatu ibadah yang formal, seperti menghadiri kebaktian Minggu, menerima sakramen, melangsungkan pernikahan di gereja. Secara asasi ritual adalah bentuk pengulangan sebuah pengalaman agama yang pernah terjadi pada masa awal pembentukan agama itu sendiri. Sedangkan yang dimaksudkan dengan devotional adalah ibadah yang dilakukan secara pribadi dan informal, seperti misalnya berdoa, berpuasa, membaca Alkitab.
  3. Dimensi pengalaman (experience), yaitu pengalaman berjumpa secara langsung dan subyektif dengan Allah. Atau dengan kata lain, mengalami kehadiran dan karya Allah dalam kehidupannya. Pengalaman keagamaan ini (religious experience) bisa menjadi awal dari keimanan seseorang, tetapi juga bisa terjadi setelah seseorang mengimani suatu agama tertentu. Entahkah pengalaman itu berada di awal ataupun di tengah-tengah, pengalaman ini berfungsi untuk semakin meneguhkan iman percaya seseorang.
  4. Dimensi pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan tentang elemen-elemen pokok dalam iman keyakinannya, atau yang sering kita kenal dengan dogma, doktrin atau ajaran gereja. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan dimensi pertama (kepercayaan). Seseorang akan terbantu untuk menjadi semakin yakin dan percaya apabila ia mengetahui apa yang dipercayainya.
  5. Dimensi etis, di mana umat mewujudkan tindakan imannya (act of faith) dalam kehidupan sehari-harinya. Dimensi etis ini mencakup perilaku, tutur kata, sikap dan orientasi hidupnya. Dan hal ini tentu saja dilandasi pada pengenalan atau pengetahuan tentang ajaran agamanya dan percaya bahwa apa yang diajarkan oleh agamanya adalah benar adanya.

Idealnya sebuah kehidupan spiritualitas yang baik dan dewasa adalah bila ke 5 dimensi tersebut berkembang secara seimbang. Sama seperti perkembangan kehidupan manusia. Seorang dikatakan dewasa dan matang, tentu bukan semata-mata karena ciri-ciri fisiknya (sudah tumbuh tinggi besar, keluar jenggotnya, suara yang membesar dsb), tetapi juga akan diukur dari kematangan emosionalnya, kearifannya, dan perilakunya. Oleh karena itu pembangunan spiritualitas tidak bisa hanya menekankan satu aspek saja. Kelima dimensi spiritualitas itu harus mendapatkan perhatian yang sama.
Semoga saja! Soli Deo Gratia...!



Bacaan:
  • Eka Darmaputera: "Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar", dalam Jurnal Teologi dan Gereja PENUNTUN, vol. 3, no. 12 (Juli), Jakarta: Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, 1997.
READ MORE - SPRITUALITAS

soul for earth

0 comments

....kekuatan cinta terletak tidak pada arti cinta itu sendiri, melainkan wujud dari cinta itu di tengah hiruk pikuk kehidupan yang cenderung tidak mengenal sentuhan kasih....

....bukankah itu yang dibutuhkan kelamnya kehidupan di saat jiwa menjerit oleh beringasnya kungkungan raga yang menjadikan butanya ruh yang tak mau lagi mendengar...

....lihat, Alam kini menangis dan mulai memberontak oleh kekejian "sentuhan kasih" ciptaanNya yang semula mulia kini tak lagi "ber-Tuan"...

let's saving our earth...
READ MORE - soul for earth

rakyat sudah capek...

0 comments
alkisah di dunia binatang...
....kekacauan terus terjadi dengan tanpa malu lagi para punggawa kerajaan terus saling "bercumbu" dengan melupakan tugas utamanya untuk memberikan keadilan bagi para penghuni rimba. sungguh memalukan di mata para penghuni hutan seantero jagat. sedangkan si raja singa, seakan tidak mau tahu dan tidak tahu malu terus melakukan tatap muka (padahal sudah korengan) dengan pimpinan rimba lainnya meskipun sering mengeksploitasi kekayaan rimbanya...penghuni rimba yang tidak tahu apa-apa selain bekerja keras untuk memenuhi rasa lapar dan hausnya beserta keluarga mereka tidak lagi dihiraukan, di tengah pelpagai pakan semakin sulit "ditemukan"...

di tempat yang sama, si tikus bersorak-sorai melihat keadaan ini. di tempat yang aman si tikus senantiasa memantau lewat si kucing (yang seharusnya menjadi algojo mewakili penghuni rimba, oleh karena segempal tulang-tulang ikan kini menjadi para pengawal setianya) prilaku para punggawa yang semakin asyik masyuk layaknya seperti si monyet yang sedang "masturbasi" di atas dahan pohon tua...

demikianlah, hari ini kondisi rimba raya yang oleh raja rimba menjanjikan keadilan dan kesejahteraan bagi segenap penghuni rimba...semua saling menyalahkan seperti anak penyu yang terus mencari kambing hitam mengapa jalannya lambaaaan....

sedangkan, keadaan ini menjadi bahan yang tak habis-habisnya untuk mengorek pundi-pundi emas oleh si burung gagak dengan tinta di ujung paruhnya...

rakyat sudah capek....

sampai kapan kah keadaan ini terus berlangsung, akankah ketika hujan akan kembali melanda isi rimba?
READ MORE - rakyat sudah capek...

ketertarikan para sobat